Tentang sebuah perjalanan mengitari dan memaknai perhelatan ArtJog 2024.
Melihat kesaktiannya, bisa jadi Peramal adalah penguping yang canggih ketika Tuhan dan Malaikat sedang rapat kebijakan. Mereka pura-pura membersihkan meja, mengantar makanan, atau membetulkan genteng agar bisa mendengarkan kejadian apa yang akan muncul di Bumi keesokan hari. Setelah sukses mendapatkan kabar tersebut, mereka lalu menyiarkannya dengan bermacam bentuk. Bisa lewat puisi, lukisan, patung, atau hanya coretan di dinding. Entah ramalan itu manjur atau tidak, setidaknya ramalan itu telah mengubah dunia kita sekarang ini.
Impresi tersebut muncul di kala saya masuk ke dalam lorong-lorong ArtJog 2024 Motif: Ramalan. Bangunan Jogja National Museum (JNM) pada Senin 29 Juli 2024 tak ubahnya adalah wahana untuk menyelami segala nujum yang pernah didapat oleh para pemilik ilham. Seperti menonton sebuah film, tapi yang muncul bukanlah visual yang menampilkan gambar gerak. Kekuatan narasilah yang membuat cerita ini berjalan.
Ketika masuk, saya secara mendadak berdiri di atas pematang sawah yang sangat subur dan luas. Pemandangan alam yang hijau dengan burung yang terus berkicau dan doa-doa yang berkumandang menambah elok suasana. Sajian ini tak hanya menyegarkan mata. Telinga kalau bisa senyum pun dia pasti tersenyum lebar atas anugerah Tuhan yang dikelola manusia ini. Kuping menjadi diberi pengalaman akan makna apa itu sejatinya hening.
Beras sebagai makanan pokok utama masyarakat Indonesia dihormati dengan sangat baik selayaknya manusia. Tanaman padi di sana dirawat, dipupuk, disiram, dan dimuliakan. Dalam kebudayaan yang tumbuh di sana, muncul cerita ihwal Nyi Pohaci Sanghyang Asri yang memuliakan tanaman padi. Spiritualitas akan menghormati makanan menjadi dijunjung tinggi. Menjadi sebuah pesan bijak agar manusia tidak buang-buang makanan dan makan secukupnya saja.
“Semua tumbuhan yang berguna bagi manusia berasal dari tubuh Dewi Padi: pohon kelapa dari kepala, rempah-rempah dari telinga, bunga-bunga dari rambut, buah-buahan dari payudara, pohon jati dan cendana dari lengan, aren serta enau dari alat kelamin, bambu dari paha, dari kaki tumbuh umbi-umbian dan ketela, dan dari pusaranya tumbuh padi,” begitu bunyi mitosnya.
Merenung di tengah pematang sawah, secara tiba-tiba saya langsung teringat akan krisis pangan yang mungkin akan dihadapi manusia di era ke depan. Perang Ukraina yang menghancurkan lumbung gandum, kegagalan food estate yang dibuat Pemerintah, hingga krisis ekologi yang terus-terusan terjadi membuat tanaman penghasil pangan enggan untuk tumbuh. Sebagai manusia yang membutuhkan makan untuk hidup, muncul kekhawatiran akan kehidupan macam apa manusia selanjutnya. Tapi saya tidak boleh hanya mengeluh saja, saya pun melanjutkan perjalanan dengan kepala tegak.
Tibalah saya pada sebuah ranjang, di mana sepasang kekasih sedang berdiri berhadapan. Mereka hanya berhadapan tanpa melakukan sanggama. Tirai tertutup tidak menjadi alasan untuk birahi terbuka. Mereka hanya saling melakukan cengkerama pada malam-malam kebersamaan pengantin baru itu. Saya sedikit menguping pembicaraan yang dilangsungkan selama 40 malam dan satunya hujan itu. Percakapan itu bisa dibilang cukup Islami dengan cara spiritualisme Jawa. Memberi pesan-pesan agar tidak lupa akan Shalat: karena sesungguhnya Shalat bisa menjauhkan manusia dari tindakan maksiat.
Beralih di sisi yang lain, saya melihat merah yang menyala. Warna itu menyinari nama-nama yang terpampang di dinding. Nama-nama tak berwajah tersebut adalah nama korban atas sejarah kelam Bangsa Indonesia. Pemerintah yang mestinya menjadi penanggung jawab atas semua perbuatannya hingga saat ini belum menyampaikan permintaan maafnya. Seorang aktivis yang berniat sekolah ke luar negeri untuk belajar mencari solusi mengenai tragedi ini justru malah mati diracun di udara. Merah yang kerap menjadi perlambang akan amarah, bisa jadi merupakan suara dari alam kubur atas kematian mereka yang sampai saat ini belum mendapat perhatian serius. Mungkin, dengan banyaknya nama-nama itu dibangkitkan dari kubur—seperti zombie—bisa jadi mereka bisa mengguncangkan Istana.
Saya pun terus melanjutkan perjalanan dengan menyusuri labirin-labirin isi kepala para peramal di ArtJog 2024. Saya sadar perjalanan ini tentu sangat rumit dan melelahkan. Mencoba merapikan dan menyederhanakan pikiran sendiri saja sulitnya bukan main. Apalagi merangkai bermacam-macam gagasan yang muncul pada setiap langkah yang dipijak. Setiap menoleh ke kiri dan ke kanan, depan maupun belakang, atas dan juga bawah terdapat berbagai macam kemungkinan yang bisa terjadi. Saya pun mengencangkan tali sepatu dan bersiap dengan kejutan apa saja yang bisa muncul di ArtJog 2024.
Suara-suara dari setiap yang disajikan di ArtJog 2024 pun beragam, bahkan mungkin tidak sepenuhnya bertautan dengan tema ramalan. Pemberi jalan sepertinya ingin membuat sebuah trip yang memunculkan interpretasi beragam kepada semua hadirin. Ramalan sebagai sebuah tema, seolah hanya menjadi pemantik akan narasi yang hendak disampaikan oleh para pencipta karya. Daripada terus berkutat mencari benang merahnya, alangkah bijak untuk terus saja menyusuri alur perjalanannya.
Dan tibalah saya pada sebuah warisan agung yang diberikan oleh Eko Prawoto. Pada salah satu ruangan, saya seperti menyaksikan bagaimana kamar dari arsitek dan pengajar yang meninggal pada September 2023 lalu ini bekerja. Bagaimana sosok bersahaja ini tidak pernah berhenti menggali akar budaya untuk diterapkan pada objek arsitektur yang ia buat. Ia seperti mencampur ilmu arsitektur yang eksak dengan ilmu sosial yang susah diprediksi.
Percampuran keilmuan dari karya almarhum Eko Prawoto inilah yang saya rasa bukan main harumnya. Saya selalu suka dengan orang-orang yang dalam belajar suka meloncat-loncat dari satu disiplin ilmu ke keilmuan yang lain. Karena dari sana kita jadi bisa belajar banyak tentang banyak hal dan tidak menjadi orang yang kaku. “Hidup harus dirayakan. Daya hidup harus diwartakan. Jejak panjang hidup adalah suka cita keindahan.” Begitu ucapan Eko Prawoto yang menggambarkan betapa bestarinya beliau.
Dalam perjalanan yang lain di ArtJog 2024 saya mendapati sebuah dunia yang tidak baik-baik saja. Kekejaman Israel yang menginvasi Palestina dan menyebabkan banyak anak-anak mati di Gaza, sejarah negara yang amburadul hingga perlu dibaca ulang, kesenjangan ekonomi yang tergambar dengan adanya bangunan tinggi yang berjejer dengan rumah kardus, anak-anak muda sekarang yang rapuh akan kesehatan mental, perubahan iklim yang susah diprediksi, hingga ancaman kecerdasan buatan (AI) yang bisa mendegradasikan kemanusiaan. Hal-hal tersebut membuat muram hingga membuat isi kepala menjadi kacau balau. Saat mencoba sebuah alat canggih yang berfungsi untuk melakukan screening pada otak tergambar bahwa saya sedang berantakan. Percaya tidak percaya. Toh, sepertinya saya saat itu memang sedang mumet.
Di balik sesuatu yang membuat gelisah itu, saya masih mendapati hal yang positif. Saya masih bisa mencium harum rempah-rempah yang wangi, menyaksikan pemandangan alam di dalam mobil, menonton pertunjukan musik meski yang bermain seenaknya sendiri, dan melihat gambaran tangan anak-anak dan para penyandang disabilitas penuh warna ceria. Saat mencoba sebuah alat penuh barcode yang saya kira adalah struk pembayaran, oleh salah seorang pemandu saya diramal akan mendapat seorang kekasih. Karena sedang tidak punya pujaan hati, mendengar itu hati saya senang bukan main. Perasaan saya juga senang bukan kepalang ketika melihat para Mamak-mamak menari. Bermacam tarian yang disajikan yang disajikan para Ibu-ibu itu membuat saya terbayang bagaimana kalau Ibu saya yang menari. Hahaha.
Sang pemberi jalan ini rasanya mencoba berkelakuan seperti Tuhan, yang mempunyai sifat maha membolak-balikkan perasaan. Dari tertawa hingga membuat sedih. Dari terpukau hingga mengernyitkan dahi. Semua dilakukan, sepertinya, agar para hadirin di ArtJog 2024 menjadi betah untuk berlama-lama dalam dunia yang diciptakannya. Dari karya yang hanya untuk dipelototi, hingga karya yang interaktif, semuanya menghadirkan tafsir yang menggugah alam imajinatif. Memberi warna pada kehidupan monoton manusia yang diisi dengan kesibukan sehari-hari.
Dihitung dari jam saya masuk, saya menikmati seluruh dunia buatan ArtJog 2024 itu selama 2 jam 18 menit. Setiap sudut karya yang dipamerkan seperti enggan untuk dilewatkan. Mata jadi harus menteleng, telinga bersiap siaga, hidung mesti menghirup nafas teratur, dan tangan kudu dijaga agar tidak menyentuh karya yang tidak boleh dipegang. Otak jadi harus disuruh bekerja keras untuk bisa mengerti apa yang diinginkan dan dimaui oleh para seniman.
Yah, menonton pameran ArtJog 2024 tahun ini memang harus mempunyai stamina ekstra kalau mau menontonnya dengan saksama. Bayangkan saja, dalam pameran itu terdapat 84 seniman yang turut ambil bagian. Puluhan orang yang jumlahnya hampir seratus itu melakukan presentasi dengan membawa isi kepalanya masing-masing. Penyimak seperti saya jadi harus mencoba menerka-nerka apa pesan yang hendak disampaikan oleh keseluruhan seniman itu. Menyaksikan pameran itu secara detail, tentu memunculkan daya kritis. Unek-unek akan menilai karya ini bagus, jelek, memukau, nirmakna, inspiratif, hingga biasa-biasa saja jadi muncul. Secara terbuka atau tertutup, para hadirin menjadi bisa mengungkapkan bagaimana pandangannya dalam memahami sebuah karya.
Secara keseluruhan, ArtJog 2024 – Motif: Ramalan merupakan pameran seni yang prestisius, ambisius, inspiratif, dan patut dikunjungi. Pameran yang diselenggarakan hingga 27 Agustus 2024 ini seperti menawarkan pengalaman seni yang unik dan membuka ruang untuk refleksi kritis ihwal masa depan. Mengusung tema Motif: Ramalan, kurator seperti ingin membuat motif imajiner yang menghubungkan antara waktu lampau, sekarang, dan masa depan. Sebagai motif imajiner, pemaknaan atas suatu peristiwa menjadi tidak sepenuhnya ditentukan oleh sesuatu yang mendahuluinya. Seperti hipotesis yang meramalkan berbagai implikasi dalam disiplin ilmiah tertentu. Prinsip kebebasan yang disajikan seperti memberi estetika berlebih pada setiap karya yang disajikan.
Pada imajinasi pembuat karya, ramalan merupakan daya prediksi yang menggerakkan kreativitasnya dalam proses mencipta. Pada bermacam budaya di Nusantara, ramal-meramal tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan yang sarat dengan keindahan sastrawi yang masih hidup sampai sekarang. Jangka, serat, ilmu “titen”, syair, kidung, piwulang dan sebagainya adalah contohnya. Pada sastra tutur dalam kebudayaan Nusantara muncul berbagai petunjuk mengenal peristiwa di masa depan yang dianggap sudah tertentu dalam takdir. Seorang peramal merasa tahu sebelum peristiwanya sendiri terjadi lalu disampaikan pada Raja hingga menghasilkan titah. Khasanah kebudayaan lokal yang beragam semacam ini seperti telah memberi acuan bagi motif pameran ArtJog 2024 ini.
Sebuah pesawat warna-warni penuh tulisan yang terbang seolah menjadi penanda bahwa perjalanan ini telah usai. Saya menghirup nafas dalam-dalam, lega. Meski hanya berjalan-jalan dan menyaksikan pameran, kegiatan ini memang sungguh melelahkan. Fisik dan otak seperti sudah dikuras habis energinya. Perut menjadi langsung keroncongan. Keluar dari pameran, saya jadi menatap dunia kenyataan dengan penuh kesungguhan. Saya harus sudah keluar dari dunia imajinatif yang sebetulnya membuat betah berlama-lama di sana. Tapi hidup memang harus dilanjutkan. Motif: Ramalan telah usai, upaya berjuang untuk menghadapi kebatilan mesti segera dilaksanakan.
Penulis: Ismail Noer Surendra
Editor: Aris Setyawan