“Apakah musik memiliki fungsi dan relevansi di luar dimensi esoteris yang hanya mengutuknya menjadi klangenan belaka… apakah musik berguna bagi manusia dan kemanusiaan.”
Saya harus memberi semacam disclaimer untuk mengawali tulisan ini: saya akan mengulas buku Pop Kosong Berbunyi Nyaring dengan sangat subyektif karena adanya faktor kedekatan dengan sang penulis, Taufiq Rahman.
Pertama, Secara tidak langsung Taufiq adalah mentor saya dalam belajar menulis karena posisinya sebagai editor di Jakartabeat.net. Jadi ketika saya masih rajin menulis di situs itu, Taufiq banyak memoles tulisan acak-kadut saya agar menjadi lebih baik. Kedua, bersama Elevation Records, Taufiq menjadi semacam executive producer yang membantu produksi dan penyebaran beberapa rilisan band saya, Aurette and The Polska Seeking Carnival. Ketiga, Taufiq menulis sebuah catatan penutup yang apik untuk buku saya, Pias. Maka, untuk mereka yang meyakini adanya dikotomi subyektif-obyektif dan menolak sebuah tulisan yang sangat subyektif, sila berhenti membaca di sini.
Kutipan di awal tulisan saya nukil dari catatan penutup Taufiq untuk buku saya. Perlu saya kutip karena di buku terbarunya Pop Kosong Berbunyi Nyaring (Elevation Books, 2017), Taufiq Rahman melontarkan pertanyaan yang hampir sama: kenapa sih kita tidak memaknai musik sekadar sebagai sebuah klangenan yang bisa didengarkan sekaligus diabaikan? Apa faedah musik bagi manusia dan kemanusiaan?
Bicara musik sebagai klangenan, pembaca akan menemukan bahwa 19 tulisan di buku ini membicarakan 19 fenomena musik (band, solois, album) yang benar-benar digandrungi oleh penulis. Dari puluhan subyek yang disebut, tidak semuanya populer. Kebanyakan masuk dalam kategori underrated sekaligus underdog. Taufiq seolah tidak peduli dengan penghakiman selera yang mengalir deras di pelbagai media arus utama, yang mengedepankan musikus overrated yang ‘itu-itu saja’. Taufiq memilih jalan sunyi dengan konsisten mendengarkan musik underrated, kemudian mengabarkannya melalui puluhan tulisan di buku ini.
Misalnya di tengah arus utama dan nama yang agak terkenal di kancah musik grunge, Taufiq menggambarkan bahwa di antara nihilisme Nirvana dan kegelapan destruktif Kurt Cobain, serta optimisme Pearl Jam, ia lebih memilih mendengarkan Soundgarden—terutama karena sang vokalis Chris Cornell—dengan kadar nihilisme yang lebih subtil dalam lirik impresionis (hal. 2). Contoh lainnya, di tengah pujaan melangit para khalayak kepada Bob Dylan sebagai suara murni musik perlawanan era ’60-’70an dengan lagu semacam “Times They Are A Changin’” atau “Chimes of Freedom”, Taufiq lebih memilih mendengarkan tembang “Not Dark Yet”. Dalam pandangan Taufiq, jika semua orang menganggap Dylan berhak menyandang hadiah nobel sastra karena lirik yang ditulis di dekade ’60-’70an, ia justru menganggap Dylan hanya layak diberi nobel kesusastraan karena lirik “Not Dark Yet”. Taufiq menemukan bahwa Dylan saat menulis bait-bait puisi dalam lagu ini sedang berada di kubangan keputusasaan karena digerus rasa kecewa oleh pahitnya kehidupan. Bait Dylan disebut mirip dan senafas dengan puisi “Ode to Nightingtale” karya John Keats, salah satu persembahan kepada malam yang paling baik dalam tradisi sastra barat (hal. 38-39).
Saat mendengarkan musikus Indonesia pun, Taufiq masih memilih jalan sunyi dengan mendengarkan proyek musik yang sangat underrated dan tidak terlalu terdengar gaungnya: Bandempo. Meski Anggun Priambodo, vokalis band ini cukup dikenal karena proyek-proyek audio visualnya—misalnya dari film Rocket Rain—namun nama Bandempo memang hanya dikenal oleh sedikit orang di kancah musik lokal. Taufiq memandang bahwa “Bandempo adalah band yang bisa saja menjadi seperti Naif—rekan mereka sesama IKJ—jika mereka mau, namun mereka memilih jalan lain (hal. 71).
Di luar perkara klangenan Taufiq Rahman yang mengulas puluhan musik underrated di buku barunya, lebih lanjut kita harus berbicara, apa faedah musik bagi manusia dan kemanusiaan? Di sini saya setuju dengan Budi Warsito yang dalam pengantar buku ini mengatakan “iri dengan Taufiq Rahman” (hal. v). Karena di balik esai-esai yang santai dan pendek (rata-rata tulisan Taufiq berkisar 2-3 halaman A4), ada keunggulan khas yang sulit diimbangi pengulas musik lain: kecakapan mencari hubungan intertekstual dengan hal-hal di luar musik. Musik dimaknai bukan sekadar sebagai produk kesenian. Musik adalah ilmu dan pengetahuan. Maka musik berfaedah untuk mengukur sekaligus mendongkrak bagaimana kualitas hidup manusia.
Dengan sangkil dan mangkus Taufiq mampu mendedah kelindan antara musik dengan perkara dinamika geopolitik dunia, perenungan filsafat, hingga pergumulan batinnya dengan perkara spiritualitas. Satu lagi nilai lebih yang menurut saya penting adalah, sebagai seseorang yang berlatarbelakang pendidikan ilmu politik, dan belakangan mengurusi tetek bengek warta politik di meja redaksi sebuah media, Taufiq sadar benar bahwa yang personal itu pun sangat politis. Dan politik, mau ditolak seperti apapun pasti lama-kelamaan akan memengaruhi yang personal. Taufiq menghindari pemahaman umum yang seolah menganggap yang politis itu tidak boleh personal, dan perkara personal tidak perlu bicara politik.
Bisa-bisanya Taufiq membicarakan romansa masa mudanya dengan seorang perempuan asal Swedia, lalu mengaitkannya dengan nihilisme Chris Cornell, sistem kesejahteraan sosial Swedia yang adil dan merata, serta ketakutan irasional datangnya kiamat pada 2012 silam (hal. 4).
Kisah personal lainnya muncul saat Taufiq curhat tentang bagaimana label rekamannya Elevation Records tidak menerima sepeser pun uang dari katalog beberapa artisnya yang dipajang di layanan musik iTunes atau Spotify (hal. 12). Menurut Taufiq, “Spotify menjadi pintu masuk terakhir yang melakukan segregasi, pemisahan antara ‘penikmat musik’ dan ‘pecinta musik’” (hal. 11). Tulisan Taufiq tentang Spotify setali tiga uang dengan apa yang saya pikirkan belakangan ini, yakni bagaimana Spotify akan menjadi instrumen penyetir selera bagi generasi milenial. Dengan logaritma senarai musik yang terkomputasi, Spotify menjadi pemenuh kebutuhan para penikmat musik yang gemar mendengarkan musik hanya sebagai latar belakang sekunder, sembari melakukan aktivitas yang dianggap lebih primer seperti makan, berkendara, istirahat sore, minum teh, atau tidur. Musik kemudian diciptakan untuk diabaikan.
Jika kita masih ingat selarik bait lagu “Sounds of Silence” milik Simon and Garfunkel, “People hearing without listening”, ada perbedaan kentara antara hearing dan listening. Yang pertama mendengar (dengan pasif) sementara yang kedua mendengarkan (dengan aktif). Pecinta musik cenderung mendengarkan dengan aktif, mereka mencerap jalinan nada dan irama dengan seksama, menganalisa, merasakan benar perbedaan timbre tiap instrumen, serta mencoba menangkap pesan makna dan rasa yang coba disampaikan musikus. Sementara penikmat musik mendengar musik sekaligus mengabaikannya.
Jika ditarik lebih luas, perkara Spotify dan penikmat musik merupakan pengejawantahan dari sesuatu yang lebih besar: betapa beberapa dari kita sangat membenci kapitalisme, tapi terlanjur sangat bergantung pada sistem itu. Atau dalam pengamatan Taufiq, manusia zaman sekarang sudah beranggapan seperti ini, “hidup sudah cukup direpotkan dengan jam kerja, komitmen keluarga, tagihan kartu kredit dan kemacetan. Jadi kenapa harus mendengarkan musik Homicide yang tidak hanya tidak nyaman dinikmati namun juga memaksa kita berpikir tentang politik, tirani, dan perjuangan kelas.” (hal. 11).
Bak nasib manusia-manusia yang dieksploitasi sebagai baterai bagi mesin dalam film The Matrix, yang dijaga tetap tenang dalam sebuah dunia simulasi penuh kedamaian, kita sudah lelah bukan kepalang menjadi sekrup bagi mesin kapitalisme yang harus terus berputar. Jadi kenapa harus menambah keruwetan hidup dengan mendengarkan musik “yang mikir”? Jadikan hidup damai dengan musik yang bisa diabaikan sebagai latar belakang. Cukup.
Kelindan personal dan politis juga dapat dilihat dari bagaimana Taufiq menggambarkan band asal Minneapolis, Amerika Serikat, The Replacements, sebagai salah satu band kegemarannya, yang ternyata juga merupakan band kegemaran Tim Kaine, kandidat wakil presiden bagi Hillary Clinton. Dalam pandangan Taufiq, “Di tengah riuh-rendah kampanye [pemilu] yang banyak menjerumuskan jutaan orang Amerika ke kubangan rasisme, seksisme, dan nativisme, Kaine adalah penawar racun yang tepat. Mantan gubernur Virginia ini tidak hanya ramah, folksy, dan fasih berbahasa Spanyol, namun juga dapat dikatakan sebagai personifikasi dari hal-hal klise tentang orang kulit putih yang ramah dan tidak rasis,” (hal. 80).
Tidak hanya mengidolakan The Replacements, tampaknya Taufiq juga mengidolakan Tim Kaine sebagai sosok politisi ideal. Sosok baik di antara ketiga politisi lain yang berada di kompetisi pemilu Amerika: Donald Trump dan Mike Pence yang konservatif, rasis, dan fasis, serta rekan Kaine sendiri, Hillary Clinton yang sesungguhnya sangat-sangat neoliberal. Semacam reinkarnasi Margaret Thatcher di era milenial.
Ini menarik. Jika sekadar berkaca pada tulisan mengenai Tim Kaine dan The Replacements, kita lantas akan bisa menyimpulkan bahwa Taufiq, sebagai seseorang yang ikut menggaungkan kembali nama Homicide—kolektif yang sangat dikenal dengan kredo anarkisme, artinya tidak percaya dengan konsep elektoral dan kekuasaan tersentral—terlihat masih meyakini bahwa demokrasi (pemilu) masih merupakan pilihan paling masuk akal, dan akan ada seorang politisi baik dan jujur menjadi mesias bagi manusia-manusia malang di dunia yang makin suram.
Namun pada tulisan lain bertajuk “This Heat, Deceit dan Penyakit Demokrasi” (hal. 87), Taufiq juga tampak sebagai seorang anarkis. Lewat ulasan album Deceit (1981) karya band avant-garde asal London bernama This Heat, Taufiq kemudian menggambarkan kebobrokan demokrasi dan konsep welfare state.
Dengan runut Taufiq menjabarkan bagaimana Amerika Serikat adalah sebuah paradoks: “Negara maju yang sudah mendarat di bulan, namun masih hidup dengan norma zaman batu,” (hal. 87). Negara adidaya ini habis dirongrong rasisme. Belum lagi sistem electoral college dalam pemilu AS yang menurut Taufiq sangat purba saat diterapkan negara—yang konon merupakan—kampiun demokrasi dunia. Purba karena sebenarnya tak ada konsep “one man one vote” di sini. Yang terjadi adalah sejumlah orang perwakilan di tiap negara bagian akan memilihkan presiden bagi warga Amerika. Maka, jadilah Donald Trump presiden terpilih karena menang suara di electoral college, meski Clinton sesungguhnya menang banyak dalam pemilihan langsung dari pemilih (popular vote).
Lebih lanjut menurut Taufiq, siapapun yang menang menjadi presiden, pada akhirnya masyarakat kelas bawah yang kalah. Sebagai biang dari keberlangsungan kapitalisme, letupan-letupan konflik antarkelas kerap terjadi di AS. “Sistem demokrasi elektoral Amerika Serikat sukses menangkal terjadinya konflik kelas soal keberhasilannya membangun kesadaran palsu tentang kesetaraan derajat,” (hal. 91-92). Di sini, Taufiq terdengar seperti seorang anarkis yang tidak percaya konsep kekuasaan tersentral, bukan?
Dunia memang sedang tidak baik-baik saja. Tahun 2017 adalah tahun yang berat. Seolah tak ada lagi harapan akan hidup yang indah dan baik di hari esok. Imperium adidaya Amerika Serikat sedang harap-harap cemas karena dipimpin dua white supremacist, salah satunya tidak percaya dengan climate change dan bagaimana dunia kita akan hancur jika tidak segera diurusi dengan benar. Ditarik ke nasib kita di Indonesia, Trump dan Amerika punya andil bagaimana arah nasib Indonesia di masa depan. Sebagai contoh, salah satu ajang pilkada (sebut saja inisialnya JKT) dimenangkan oleh calon yang menggaungkan isu rasisme dan sektarian sepanjang kampanye. Walau lawan politiknya sang petahana sesungguhnya juga bukannya tidak punya masalah karena ia dan orang-orang di sekelilingnya adalah utilitarian yang gemar menggusur kaum papa dan terpinggirkan.
Tidak bisa dimungkiri, ini akan menjadi role mode untuk pemilihan-pemilihan lain berikutnya di Indonesia. Kita patut cemas, di hari esok akan lebih banyak isu rasisme dan sektarian merebak di Nusantara. Menjadikan rakyat kalang kabut bertengkar. Isu rasisme dan sektarian ini menutupi dengan rapi agenda sebenarnya di baliknya: neoliberalisme. Agenda yang menjadikan Orang Papua tercerabut dari kehidupannya, petani digusur demi tambang, pabrik semen, dan bandara.
Dengan memutuskan menulis tentang musik-musik underrated dan underdog, serta mengaitkannya dengan bermacam isu manusia dan kemanusiaan, jelas Taufiq telah memilih jalan sunyi sebagai penulis musik. Walau ia tak berjalan sendiri. Karena sebenarnya memang masih ada orang-orang yang memaknai musik tak hanya sekadar klangenan yang bisa didengar sembari diabaikan saat sibuk berjibaku dengan kesibukan lain. Bahwa musik adalah ilmu pengetahuan, maka ia harus ditulis dan dijelaskan kadar ilmu pengetahuannya. Buku ini penting untuk menambah pembicaraan tentang musik sebagai ilmu pengetahuan tersebut.
Dengan begitu banyak kisah nelangsa di dunia, kita rawan didera depresi dan kegilaan. Maka, buku dan musik adalah penawar yang cukup manjur untuk menjaga kewarasan. Meski barangkali tak mampu menjadi obat yang benar-benar mengobati akar penyakit, setidaknya buku dan musik bisa menjadi symptoms healing, penyembuh gejala. Bagi saya pribadi, Pop Kosong Berbunyi Nyaring berhasil menjadi penyembuh gejala. Saat kepala hampir meledak memikirkan segala benang kusut manusia dan kemanusiaan, saat jidat berkerut karena mencerna A Companion to Marx’s Capital karya David Harvey, buku baru Taufiq Rahman datang sebagai penyelamat.
Buku dan musik adalah penawar manjur untuk menjaga kewarasan. Dan saya memilih membaca Pop Kosong Berbunyi Nyaring, serta mendengarkan secara runut diskografi Radiohead, Ólafur Arnalds, The Mars Volta, serta Homicide. Anda bisa mengikuti pilihan saya, atau anda bisa memilih sendiri senarai buku dan musik sebagai obat menjaga kewarasan anda. Sila memilih! The choice is yours.
Judul : Pop Kosong Berbunyi Nyaring: 19 Hal yang Tidak Perlu Diketahui tentang Musik
Penulis : Taufiq Rahman
Penerbit : Elevation Books
Halaman : 141 halaman
Tahun terbit : 2017 (cetakan pertama)
1 komentar
[…] dusta dan presiden cukup mesra. Ambil contoh, pada bangsa yang lebih baik dalam mengarsip, sejarah Amerika Serikat adalah sejarah kebohongan […]