Ada satu dikotomi yang cukup menarik untuk dibahas: sunyi dan bunyi. Pertanyaan yang sempat dilontarkan oleh komponis avant-garde John Cage yang lantas memicunya untuk menggubah karya bertajuk “4:33”. Dalam karya tersebut John Cage dan para pemainnya benar-benar diam, tidak memainkan alat musik. Maka, hasilnya adalah, alih-alih muncul hingar bingar orkestrasi, yang ada adalah kesunyian yang begitu intens. Bunyi terkadang hadir dari suara gesekan kertas saat para pemain membalikkan partitur, suara hela nafas, hingga cekikikan tertahan para penonton.
Premis dari konsep karya itu cukup sederhana, ia mempertanyakan apakah sunyi itu benar-benar ada? Karena sesungguhnya sunyi yang benar-benar sunyi itu tidak pernah ada. Bunyi selalu hadir dalam setiap sisi kehidupan kita. Bahkan detak jantung kita pun adalah bunyi.
Barangkali sunyi total hanya ada di saat kita, manusia berbasis darah daging dan protein ini mati. Sunyi yang sebenarnya hanya ada di alam kubur.
Berdasarkan premis bahwa sunyi tidak pernah ada tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa dalam musik, sunyi memiliki porsi yang tidak kalah penting dari bunyi. Sunyi adalah pelengkap. Ibarat Batman sebagai superhero yang tidak akan eksis jika tidak ada Joker sebagai super villain, musik tidak akan berbentuk sebagai musik jika bunyi selalu hadir dengan hingar bingar tanpa diimbangi hadirnya sunyi.
Tanda tacet dalam partitur musik yang berarti diam, rupanya adalah salah satu instrumen untuk memunculkan dinamika dalam sebuah musik.
Dinamika bunyi dan sunyi dalam musik inilah yang dihadirkan oleh kugiran asal Yogyakarta, Airportradio dalam pertunjukan mereka yang bertajuk Selepas Pendar Nyalang Berbayang. Pertunjukan yang dihelat di Auditorium IFI-LIP Yogyakarta pada rabu (24/10) ini merupakan perayaan atas hadirnya anak kedua mereka, sebuah album yang memiliki judul sama dengan judul pertunjukan tersebut. Album kedua ini merupakan kelanjutan dari kisah album pertama mereka Turun dalam Rupa Cahaya yang dirilis pada 2010 silam.
Airportradio adalah sebuah anomali, dalam artian positif. Setelah masing-masing personel terpisah dan tidak berjumpa selama lebih kurang delapan tahun, band yang beranggotakan Prihatmoko Moki (drum), Benedicta R Kirana (vokal), Deon Manunggal (Synth), dan Ign Ade (Bass) ini tiba-tiba berkumpul kembali dan ujug-ujug merilis album baru. Kuartet yang pernah memenangkan penghargaan di LA Lights Indiefest 2009 ini memainkan musik yang sungguh terdengar asing. Terkadang begitu riuh, namun terkadang terasa sunyi yang tak tepermanai. Setali tiga uang dengan karya Roby Dwi Antono yang dijadikan sampul album baru ini, musik Airportradio dapat juga disebut sureal. In a good way. Surreal but nice.
Malam itu, begitu masuk ke ruang pertunjukan, para hadirin langsung disambut oleh kesunyian yang menyeramkan. Lorong tempat masuk ke venue dipenuhi oleh asap yang mengepul tebal, dengan banyak lilin dinyalakan, dan tampak terpajang di sudut lorong, sebuah karya instalasi yang teramat sureal.
Masuk ke ruangan pertunjukan, rasa sepi dan sunyi pun masih terasa. Panggung itu terkesan minimalis, tanpa terlalu banyak dekorasi yang berarti. Justru ini sangat menguatkan musik yang dimainkan Airportradio: kesepian itu abadi.
Dan dimulailah pertunjukan Selepas Pendar Nyalang Berbayang malam itu. Mereka memainkan keseluruhan lagu dari album kedua, dan tiga lagu dari album debut. Tidak hanya empat personel asli, pertunjukan malam itu juga dibantu oleh pemain tambahan yang memainkan kibor, dan tiga cello.
Didukung oleh tata cahaya yang memesona, di bagian belakang panggung juga terdapat slideshow yang menampilkan visualisasi dari masing-masing lagu. Satu yang patut disoroti adalah saat mereka memainkan repertoar berjudul “Jagal”, visualisasi yang muncul adalah adegan di mana beberapa hewan seperti sapi, babi, dan kambing disembelih. Saat di mana hewan tersebut meregang nyawa dengan darah mengucur deras dari leher. Barangkali, pascamelihat visualisasi tersebut beberapa orang kemudian memutuskan menjadi vegan. Karena adegan penyembelihan dan musik yang dimainkan Airportradio tersebut membuat kita memikirkan ulang posisi kita sebagai manusia antroposentris: apakah manusia memiliki harkat paling tinggi dari makhluk lain dan memiliki kekuasaan absolut untuk menentukan hidup mati hewan-hewan tersebut?
Bayangkan jika dirimu mengidap depresi, merasa sangat kesepian dalam sunyi yang kian menjadi-jadi, berharap ada seberkas cahaya berpendar sebagai sebuah bentuk harapan. Begitulah kira-kira yang bisa ditangkap dari apa yang dipertunjukkan Airportradio malam itu. Di satu waktu mereka terdengar begitu sunyi. Musik mereka mengawang-awang dan menciptakan ruang imajinasi bagi para pendengar. Sunyi yang mengawang-awang itu disokong misalnya oleh gaya bermain drum Moki yang lebih banyak mengeksekusi cymbal. Bahkan suara vokal Benedicta pun terdengar dengan sengaja dibuat tidak terlalu jelas alias inaudible. Kesunyian ini makin kental dengan sorotan lampu panggung yang temaram
Namun, di satu waktu lain, tiba-tiba tensi musik mereka memuncak, pendar lampu panggung menjadi begitu penuh dan berwarna-warni, bangunan musik mereka terdengar begitu riuh dengan tandem ritme yang dipasok Moki sang drummer dan Ign sang bassist, suara eksperimen synth, gesekan tiga cello, dan dentingan piano dari Ayu Saraswati. Mungkin ini adalah saat di mana secercah harapan muncul, bahwa sunyi dan kesepian hanyalah sebuah fase atau episode yang akan terlewati. Airportradio bak mengajak manusia-manusia yang—nyaris—terbunuh sepi untuk merenungkan bahwa di satu waktu, cahaya akan kembali berpendar, harapan akan muncul.
Airportradio adalah jenis band dengan musik yang tidak bisa dinyanyikan bersama oleh para pendengar seperti lazimnya band pada umumnya. Musik mereka sangat tidak ramah singalong. Tidak ada reffrain yang bisa dihafalkan lalu dinyanyikan bersama oleh penonton. Benedicta sebagai pelantun lagu juga tidak terlalu banyak melontarkan gimmick ke penonton.
Tetapi, bukankah memang itu tujuan mereka? Airportradio tidak bermaksud mengajak para penonton untuk bernyanyi bersama. Alih-alih mereka mengajak penonton untuk menyelami ruang imajinasi masing-masing. Setali tiga uang dengan musik Portishead yang sangat tidak ramah singalong, musik downtempo yang dimainkan Airportradio tidak akan bikin para penonton bergoyang, atau sekadar bergumam mencoba menirukan suara vokal. Musik mereka bikin para penonton terdiam, tenggelam dalam ruang imajinasi masing-masing.
Kembali ke dikotomi bunyi dan sunyi, pertunjukan Airportradio malam itu telah membuktikan premis yang sama: bahwa sunyi sebenarnya tidak pernah ada. Bahwa sunyi adalah persepsi yang kita ciptakan sebagai upaya mengimbangi bunyi. Pertunjukan Selepas Pendar Nyalang Berbayang malam itu tentu saja berhasil menggetok batok kepala para penonton yang hadir: alih-alih denial atau menolak adanya kesunyian dan kesepian, kenapa tidak merangkulnya saja? Menjadikannya bagian tak terpisahkan dari hidup dan kemudian menjalani hidup tersebut dengan penuh rasa syukur.