Rakib (Kevin Ardilova) di Autobiography (2022) mungkin sudah berusia 18 atau 19 tahun di film yang berlatar tahun 2017. Ia lahir sesaat setelah Orde Baru tumbang. Tetapi satu-satunya orang dewasa yang film tunjukkan hadir di hidupnya adalah Purna (Arswendy Bening Swara), seorang purnawirawan yang masih memegang pengaruh besar di kampung halamannya.
Purna bukan orangtua kandung Rakib. Tetapi selain dirinya, tak ada figur dewasa lain di hidup Rakib. Bapaknya (Rukman Rosadi) ada di penjara, hanya muncul di layar film dua kali, dari balik jeruji. Sementara ibunya tak pernah disebut sama sekali. Fotonya pun tak ada. Dan kakaknya yang sedang jadi pekerja migran hanya muncul di percakapan.
Dan Purna, yang baru hadir di hidup Rakib menjelang ia dewasa, memastikan bahwa ia memegang kuasa penuh atas hidup anak muda itu.
Autobiography, meski tagarnya adalah #SeramTanpaSetan, sebenarnya adalah film horor. Seram. Dan ada setannya. Film ini menggambarkan secara teliti sosok hantu yang sedang menggentayangi Indonesia. Orde Baru bisa jadi telah mati, tetapi hantunya sedang bangkit dari kubur, bahkan tak pernah benar-benar mendekam di liang lahat. Mengancam setiap orang yang berani melawannya.
Dalam film ini, hantu Orde Baru itu diwakili oleh sosok Purna. Ia menganggap hidup layaknya permainan catur. Semua pion lawan di hadapannya hendak ia libas. Salah satunya adalah Rakib.
Rakib bisa jadi juga adalah pemain catur, tetapi Purna tahu betul bahwa Rakib mudah panik. Kelemahannya itu membuat Purna merasa ia bisa menundukkan Rakib.
Cengkraman Purna begitu tajam di hidup Rakib, sampai-sampai kita baru tahu nama anak muda itu lewat mulut Purna. Nama ‘Rakib’ tak terucap di awal film, meski protagonis utama ini telah muncul sejak adegan awal. Namanya baru terucap setelah Purna memperkenalkannya ke Soewito (Lukman Sardi), seorang polisi, bisa jadi kapolda, yang juga anak buah Purna, di acara makan-makan setelah Purna berkampanye sebagai calon bupati.
Di adegan-adegan sebelumnya, Rakib bukan siapa-siapa.
Di sebuah klub malam khas Pantura dekat tempat tinggalnya, misalnya, Rakib yang sedang mencari kawannya, dipandang sebelah mata. Ia kena cegat dan diinspeksi oleh seorang penjaga. Perlakuan itu langsung berubah 180 derajat ketika Rakib hadir untuk kedua kalinya ke sana mengenakan seragam militer bekas Purna. Tak ada yang berani menghalangi jalannya. Orang-orang menatap dan menyapanya dengan segan. Atau hormat. Atau takut.
Rakib, berlindung di bayang Purna, ikut menjadi sosok yang dihormati. Sebagai pekerja domestik —atau bahasa Purna, “pembantu” — yang umumnya tak dianggap bahkan diperlakukan sebagai warga kelas kedua, nama Purna membuat Rakib ikut dianggap penting. Ia hadir di percakapan meja makan di antara para polisi berpengaruh. Bahkan disebut mirip sekali dengan Purna muda hingga nyaris dipercaya sebagai anaknya. Di adegan lain, Rakib tak diizinkan makan nasi kotak bersama masyarakat jelata lain, tetapi naik ke tingkat atas, bergabung dengan Purna dan orang-orang yang dianggap penting lainnya, makan di buffet.
Sebagaimana Vishy Anand, pemain catur profesional yang namanya muncul sejak awal film, punya pengaruh besar di dunia percaturan sejak 80-an, Autobiography juga menggambarkan bahwa pengaruh Purna menembus zaman, dari masa Orde Baru hingga pasca-Reformasi.
Untuk menunjukkan ini, pertama-tama Autobiography membawa penonton seperti kembali lagi ke masa Orde Baru. Adegan pertama film ada di dalam ruangan. Di rumah Purna (Arswendy Bening Swara) tepatnya — yang bangunan serta furnitur-furnitur rumahnya khas bangunan tahun 80–90an, bukan minimalis berwarna serba putih, monoton, dan minim barang.
Latar tempat Autobiography juga bukan di perkotaan atau di tengah peradaban modern, tetapi di sebuah desa (di Jawa Tengah?) yang agak di pelosok — sebab pasokan listrik belum sampai ke desa itu. Narasinya, khas narasi Orde Baru, desa itu masih terbelakang dan perlu dibangun. PLTA perlu hadir, tak peduli jika pembangunan berimbas pada hilangnya ruang hidup masyarakat — sebagaimana ibu Agus melalui surat yang disampaikan Agus (Yusuf Mahardika) memohon kepada Purna agar tanah tempatnya berkebun kopi tak digusur demi proyek PLTA.
Lalu, film menunjukkan bahwa pola-pola kekuasaan semasa Orde Baru juga masih dilanggengkan hingga kini. Gerakan-gerakan kamera dengan cerdik, bahkan tengil, menggambarkan sebesar apa pengaruh Purna di desa itu. Salah satunya: kuasa Purna lebih besar dari imam yang sedang memimpin salat. Berselang beberapa detik setelah seorang imam laki-laki selesai memimpin salat jenazah, kamera yang tadinya fokus menyorot si imam menggeser fokusnya ke Purna yang posisinya ada di belakang. Imam yang ada di depan tak lagi berpengaruh, semua mata berbalik ke belakang, tertuju pada Purna, “imam” yang sebenarnya.
Autobiography juga mengambarkan kekuasaan layaknya sebuah piramida. Ada jenjang kuasa, dan Purna ada di rantai teratas. Meski Purna adalah seorang pensiunan dan tak pernah memakai seragam militernya lagi, tetapi orang-orang berseragam ciut di hadapannya, termasuk Soewito ataupun tentara-tentara Kodim yang masih menjabat.
Anak-anak buah Purna bisa saja intimidatif kepada masyarakat biasa. Seperti momen mereka mengintimidasi Nala (Yudi Ahmad Tajudin), agen penyalur pekerja migran ilegal, dengan memojokkannya di bus yang hendak mengantarkan pekerja-pekerja ilegal itu ke Surabaya. Di momen itu, mereka berkuasa. Tetapi, di adegan setelahnya, mereka tampak kecil dan tak berarti ketika berhadapan dengan Purna — yang diposisikan lebih tinggi dan lebih besar oleh kamera. Meski Purna hanya memakai piyama, sementara mereka berseragam lengkap.
Dan dinamika ini berlaku juga bagi Rakib. Di hadapan orang lain, bisa jadi ia disegani. Tetapi, di hadapan Purna, ia kembali ada di genggamannya. Purna memakai teknik intimidasi halus kepada Rakib untuk menunjukkan kuasanya. Ada adegan Purna berada persis di belakang Rakib, hanya beberapa inci di belakang tengkuknya, mengendalikan senjata yang sedang dipegang Rakib untuk menembak burung di hutan.
Lalu, ada adegan Purna bersikukuh menyaksikan dan memandikan Rakib yang dalam keadaan telanjang bulat. Bisa jadi penonton merasa ada sexual tension pada adegan-adegan itu. Tetapi, sebagaimana tidak ada yang seksual dalam kekerasan seksual, adegan-adegan itu juga menunjukkan cara orang berkuasa seperti Purna menundukkan orang lain: dengan menempatkan pihak yang hendak ditundukkan di posisi tak berdaya, bahkan secara seksual. Teknik yang juga dipakai film untuk menunjukkan bagaimana perempuan ditundukkan di film ini: tak pernah benar-benar hadir, tetapi jelas ada di bawah ancaman karena hanya jadi bulan-bulanan seksual Purna melalui omongannya.
Dan, dari Purna pula, Rakib belajar bahwa kuasa lekat dengan penyelewengan. Yang berarti lekat juga dengan kekerasan.
Purna ingin menundukkan semua yang ada di hadapannya. Manusia-manusia. Maupun alam. Kedatangannya kembali ke desa adalah untuk menguasai wilayah itu dengan jabatan bupati, lalu mengeksploitasi sumber daya alamnya. Kedatangannya ke lapas tempat bapak Rakib dipenjara adalah untuk memberitahunya bahwa Rakib kini ada di dalam genggamannya. Kedatangannya ke hutan adalah untuk membunuh burung-burung liar. Setiap langkah kakinya mengeksploitasi.
Jika ada yang berani melawan, ia tak segan untuk menumpahkan darah. Dan, sepanjang film, desa itu tunduk kepada rezim negara yang diwakili oleh Purna. Bahkan sejak dalam pikiran. Ini adalah sebuah desa di pelosok Jawa, tetapi semua orang berbicara bahasa Indonesia. Tidak keluar sama sekali bahasa Jawa halus, ataupun ngapak, ataupun bahasa lokal lainnya. Logat lokal pun tak ada. Tercerabut hingga ke akar-akarnya.
Dengan nuansa Orde Baru itu — arsitektur dan desain interior bangunan yang lawas, kentalnya pembangunan, masyarakat yang mesti menunduk-nunduk di hadapan aparat, penculikan dan pembunuhan — membuat penonton (alias saya) seperti kerap lupa bahwa bukan, film ini bukan sedang berlatar masa Orde Baru. Ini 2017.
Dan Autobiography sepertinya sadar kita perlu sesekali diingatkan, maka ada penanda zaman yang kentara: Purna beberapa kali meminjam kabel USB type-C milik Rakib yang mungkin baru marak di Indonesia sejak 2017-an. Atau mobil Pajero keluaran terbaru milik Purna yang kontras dengan mobil khas 80–90an yang biasanya Kijang.
Pengingat yang jadi tamparan keras karena sekaligus membuat kita sadar bahwa situasi saat ini — yang disebut lebih demokratis, egaliter — bisa jadi hanya ilusi.
Rakib bisa jadi terlena dengan sepercik kekuasaan yang ia cicip. Tetapi, bagi orang seperti dirinya yang tak benar-benar berkuasa — hanya berlindung di bawah ketiak Purna — ia juga menyadari bahwa kekuasaan itu dapat berbalik mengancamnya. Momen Rakib sadar secara utuh seberapa berbahayanya Purna juga adalah momen yang nyaris jenaka: Rakib lebih memilih menyerahkan diri menjadi korban human trafficking dibanding mesti tinggal lebih lama dengan Purna di rumahnya.
Film ini hadir bagai sebuah mimpi buruk. Tanpa ada yang membantu dan mendukungnya, Rakib tak pernah bisa benar-benar lepas dari cengkraman Orde Baru. Apakah ia berhasil kabur dari Purna? Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Apakah kabur dari Purna, dengan mengadopsi cara-cara penuh kekerasan jenderal purnawirawan itu sendiri, membuatnya betul-betul bebas? Atau Purna baru saja membesarkan Purna yang baru? Ucapan “saya mau kopi” dan kemeja merah bekas Purna yang kembali dipakai Rakib bisa jadi membangunkan kita dari mimpi buruk film, untuk kembali menghadapi mimpi buruk di dunia nyata.
Catatan: Tulisan ini merupakan republikasi dari tulisan yang penulis muat di situs Medium. Dimuat di Serunai atas seizin dari Permata Adinda.