Serunai.co
Kolom

Widodo, Jembatan Petani Pesisir Kulon Progo

Koordinator Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) Widodo (kiri) bersama Tukijo (kanan). Foto diambil dari akun media sosial almarhum Widodo.
Koordinator Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) Widodo (kiri) bersama Tukijo (kanan). Foto diambil dari akun media sosial almarhum Widodo.

“Dia beneran petani?”

Saya mendapat pertanyaan itu dari seorang kenalan ketika kami sedang bersama-sama mengikuti diskusi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada yang menghadirkan Trisno Widodo, yang akrab disapa Widodo, sebagai salah satu pembicara pada 2010 silam.

Pertanyaan itu muncul barangkali karena bagi kenalan saya itu, Widodo yang bertubuh besar, berambut gondrong, dan tampak percaya diri dengan mengeluarkan kalimat-kalimat tajam di hadapan forum akademis itu tidak merepresentasikan sosok petani yang biasa ia temui. Terlebih, sebagai rangkaian dari diskusi itu, Widodo juga tampil sebagai aktor teater tentang konflik di kawasan pesisir yang naskahnya turut ia tulis.

Untuk menghapus keraguannya akan status ke-petani-an Widodo, saya menjawab: “Iya, dia beneran petani.”

Sebelum melihatnya di forum itu, saya sudah mengenal Widodo, sehingga saya percaya bahwa ia sungguh-sungguh petani. Pertemuan pertama kami terjadi pada sekitar tahun 2009 silam. Waktu itu, saya masih menjadi jurnalis muda di sebuah media cetak nasional. Saya yang biasanya meliput isu-isu ekonomi dan budaya waktu itu mendapat tugas untuk meliput wilayah Kulon Progo. Sebelum menyambangi lokasi liputan, salah satu cerita yang kerap saya dengar soal Kulon Progo adalah adanya situasi menegangkan di pesisir selatan akibat penolakan petani terhadap rencana penambangan pasir besi. Dengan penugasan baru itu, perkembangan konflik menjadi salah satu topik yang harus saya ikuti.

Berbekal informasi dan nomor kontak dari rekan jurnalis yang sebelumnya bertugas di Kulon Progo, saya mengontak Widodo sebagai salah satu petani yang kerap diwawancarai media terkait penolakan terhadap rencana tambang pasir besi. Lalu, pada suatu siang menjelang sore, kami bertemu di dekat rumahnya yang berada di Desa Garongan, Kecamatan Panjatan, Kulon Progo. Ia langsung membawa saya ke ladangnya di tengah-tengah area pertanian lahan pasir yang berbatasan langsung dengan pantai laut Selatan Jawa. Di ladang itu, ia menunjukkan tanaman cabe keriting yang harus rutin ia siram setiap pagi dan sore. Di pinggiran ladang, ia menanam aneka sayur seperti terong, gambas dan kelor yang sekaligus berfungsi sebagai pagar. Di samping kiri, kanan dan belakang ladang Widodo, petak-petak ladang milik petani lainnya yang dibatasi pagar tanaman hidup tampak hijau sejauh mata memandang.

Sore itu, saya tidak melakukan liputan. Saya hanya ingin berkenalan dengannya karena dari yang saya tahu ia adalah salah satu pintu masuk untuk mengetahui perkembangan situasi di wilayah pesisir. Saya tahu saya akan sering menghubunginya.

Sepulang dari ladang cabe Widodo, saya memacu motor saya pelan-pelan ke arah Kota Yogyakarta. Sepanjang jalan di area pesisir selatan itu, berbagai pelang dan spanduk berisi kata-kata penolakan terhadap rencana penambangan pasir besi saya jumpai di pohon, dinding rumah, hingga area ladang.

Setelah perjumpaan itu, saya semakin kerap berkomunikasi dengan Widodo. Berawal dari urusan liputan, lama-kelamaan saya mengenal keluarganya. Ketika saya tak lagi menjadi jurnalis, saya masih terus berkomunikasi dengannya baik untuk mengetahui kondisi petani pesisir atau sekadar berbagi kabar sebagai teman.

Wong Cubung

Jauh sebelum berkenalan dengan Widodo, saya pernah membaca ulasan panjang tentang pertanian cabe di lahan pasir di Kulon Progo di media tempat saya kemudian bekerja. Oleh karena itu, ketika ditugaskan meliput Kulon Progo, ingatan tentang liputan lahan pertanian di atas pasir itu kembali melintas.

Baca Juga:  Musik dan Kecerdasan Buatan

Dalam pertemuan pertama kami, Widodo pun menyinggung soal liputan panjang itu. Katanya, wartawan yang melakukan liputan waktu itu merasa sangat takjub saat melihat ada lahan pertanian yang demikian subur di atas lahan pasir. Ketakjuban itu juga saya rasakan.

Di pesisir selatan Kulon Progo, keajaiban itu memang nyata. Lahan pasir di pinggir pantai disulap menjadi lahan pertanian yang mengubah kehidupan warga, termasuk Widodo. Ia merekam perubahan itu dalam bukunya berjudul “Menanam adalan Melawan” yang terbit perdana pada 2013. Di situ, ia menulis bahwa sebelum seorang petani bernama Sukarman menemukan metode bertani di lahan pasir, pesisir selatan Kulon Progo adalah kawasan miskin. Saking miskinnya, penduduk di kawasan itu kerap disebut sebagai “wong cubung”, yakni sebutan bagi orang yang kotor, jelek, miskin, mengidap penyakit dan tidak berpendidikan. Tak ada banyak pilihan ekonomi bagi warga di kawasan itu karena lahan pasir bukanlah lahan produktif yang bisa menghasilkan panen besar. Banyak dari warga yang akhirnya memutuskan merantau keluar daerah untuk mencari penghasilan. Widodo tak terkecuali. Ia bahkan sempat menjadi buruh di Malaysia.

Temuan Sukarman, bahwa lahan pasir bisa ditanami cabe mengubah semua itu. Warga yang semula mencemooh percobaannya, menanam cabe satu per satu mengikuti jejaknya menjadi petani cabe dan sayuran. Pelan namun pasti, penghasilan warga mulai naik. Kabar itu mengundang para perantau pulang kampung untuk bertani, termasuk Widodo. Berbagai inovasi dalam bertani di lahan pasir pun terus mereka kembangkan. Mulai dari perubahan sistem pengairan yang semakin efektif melalui penerapan model sumur renteng, hingga kesepakatan untuk membangun pasar lelang cabe guna mengendalikan harga panen agar tidak tergantung pada tengkulak.

Akan tetapi, di tengah perubahan yang dirasa baik bagi para petani itu, muncul rencana penambangan pasir besi di lahan yang mereka garap oleh pihak Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, didukung Kraton Yogyakarta dengan investor dari Australia. Pertambangan itu dioperasikan PT Jogja Magasa Iron yang mengantongi izin kontrak karya hingga tahun 2038, dengan wilayah konsesi tak kurang dari 2.900 hektar. Dalam bukunya, Widodo menulis bahwa kabar rencana penambangan pasir besi yang melibatkan keluarga Kraton Yogyakarta itu adalah hal yang membuat petani kecil sepertinya sangat terkejut dan hampir-hampir pingsan.

Situasi itu menjadi alasan dibentuknya Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo atau PPLP-KP pada 1 April 2007. Ribuan petani di kawasan pesisir selatan Kulon Progo menjadi anggotanya. Widodo sebagai petani muda yang pernah merantau ke sejumlah tempat kemudian menjadi koordinatornya.

Simpul solidaritas

Bagi banyak orang di luar PPLP-KP, Widodo adalah pintu masuk untuk mengenal dan mengetahui apa yang dialami para petani di pesisir selatan Kulon Progo. Widodo menjadi semacam petugas humas (hubungan masyarakat) yang menghubungkan PPLP-KP dengan dunia luar dan sebaliknya. Dan ia menjalankan peran itu dengan baik.

Ia hadir dalam berbagai pertemuan dan diskusi sebagai wakil PPLP-KP. Tak hanya di forum petani, namun juga di forum-forum akademis di berbagai kampus baik di Yogyakarta maupun kota-kota lain, sehingga kemampuannya berbicara di depan beragam forum kian terasah. Ia juga sempat mewakili PPLP-KP dalam pertemuan petani di Filipina.

Baca Juga:  Meneroka Festival

Kata-kata tajam menjadi ciri khas Widodo saat berbicara di berbagai forum diskusi dan orasi. Ia tidak ragu sama sekali untuk menunjuk hidung siapapun yang menurutnya punya andil dalam mempersulit kehidupan petani baik di Kulon Progo maupun daerah lain. Termasuk menyindir para intelektual, aktivis maupun seniman yang menurutnya hanya memanfaatkan kesulitan petani untuk mendapatkan proyek ataupun nama tanpa benar-benar peduli apa yang dibutuhkan dan dimaui petani. Di depan forum, Widodo menjadi sosok yang tampak garang dan keras.

Namun, sikap yang keras itu bukan tanpa alasan. Sebagai petani yang menjadi bagian dari PPLP-KP, Widodo merasakan betul bagaimana petani disandera oleh banyak kepentingan. Petani yang melek dan mau merdeka akan dihadapkan pada berbagai ancaman. Berbagai teror sudah biasa ia dan penggerak PPLP-KP lain rasakan, dan salah satu puncaknya adalah ketika sejumlah petani anggota PPLP-KP dikriminalisasi dan dipenjara.

Berbagai peristiwa itu membuat Widodo menjadi sosok yang sangat berhati-hati dalam membuka pintu. Ia terbuka pada siapapun yang datang untuk bersolidaritas bagi PPLP-KP, sembari mengamati betul motif setiap orang yang datang. Ia tidak mudah percaya. Namun ketika ia sudah mempercayai seseorang, ia akan menjaga hubungan tersebut.

Suatu kali setelah tidak lagi menjadi jurnalis, saya mengundang PPLP-KP mengisi diskusi di Jogja National Museum. Widodo mengaku sebenarnya merasa enggan karena gedung tersebut dimiliki keluarga Kraton Yogyakarta. Namun, karena kenal siapa yang mengundang, akhirnya ia mau hadir sebagai pembicara dan tetap setia dengan kata-kata tajamnya. Entah kebetulan atau tidak, ketika diskusi berlangsung, listrik di kawasan gedung mati sehingga mic pembicara tidak berfungsi.

Selain menjadi semacam juru bicara, Widodo juga mewakili PPLP-KP dalam menyampaikan ungkapan solidaritas. Suatu hari pada 2010, ketika Gunung Merapi sedang mengalami erupsi besar, Widodo mengontak saya. Ia menanyakan ke area mana saja PPLP-KP bisa mengirim pasokan sayur bagi pengungsi. Saya menghubungkannya dengan relawan yang berhubungan dengan pengungsi di UGM, selain bertanya langsung ke perwakilan pengungsi yang saya temui saat liputan. Akhirnya pada suatu siang, saya menemani Widodo dan beberapa petani lain yang menggunakan mobil bak terbuka mengantar sayur dari lahan pantai ke lokasi pengungsian di daerah Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Sejumlah pengungsi yang menerima sayur mengaku senang karena sudah berhari-hari merasa seret akibat hanya makan nasi dan mie instan.

Ungkapan solidaritas oleh PPLP-KP itu dilakukan dalam berbagai kesempatan, khususnya bagi para petani, buruh dan orang-orang kecil yang sedang menderita di sejumlah wilayah. Widodo menjadi sosok penting dalam penyampaian ungkapan solidaritas semacam itu.

Widodo sadar betul tugasnya sebagai jembatan penghubung. Meski bersikap keras dan hati-hati, ia tetap selalu mencari celah untuk menjalin dan menjaga hubungan dengan berbagai pihak. Oleh karena itu, kenalannya tidak terbatas di kalangan sesama petani yang juga mengalami konflik di sejumlah wilayah, namun juga akademisi, aktivis, serta pegiat seni. Seperti ia tulis dalam bukunya, petani butuh solidaritas sebanyak-banyaknya.

Petani

Di antara semua aktivitas yang berhubungan dengan PPLP-KP, tugas utama Widodo adalah menjadi petani, suami dan bapak. Ini juga berlaku bagi anggota PPLK-KP lainnya. Menjadi petani yang sungguh-sungguh adalah kunci untuk merdeka, sehingga mereka tidak akan tergantung secara ekonomi kepada pihak lain. Oleh karena itu, setiap pagi dan sore, Widodo bergelut dengan tanamannya di ladang. Di siang hari, terik matahari di kawasan pesisir menjadi tak tertahankan sehingga ia dan para petani lainnya pulang untuk istirahat.

Baca Juga:  Soundscape Islami: Memori dan Literasi Auditori Azan di Indonesia

Menjadi petani, bahkan tanpa ancaman tambang pun, adalah aktivitas yang penuh tantangan. Selain perubahan iklim dan serangan hama, kerap kali harga cabe sangat rendah hingga petani tidak bisa balik modal. Pengembangan pasar lelang cabe lumayan membantu. Akan tetapi, ketika harga capai secara nasional memang rendah, petani tidak bisa berbuat apa-apa. Beberapa kali Widodo mengungkapkan ide untuk mengatasi rendahnya harga panen, misalnya dengan mengolah cabe yang harganya jatuh itu menjadi cabe kering, sehingga bisa disimpan hingga harga di pasar berangsur pulih. Namun, ide itu belum sempat terealisasi.

Widodo juga mencoba menjadi pengepul sayur dan buah. Ia pernah menjual semangka dari lahan pasir secara eceran menggunakan mobil bak terbuka di Ungaran, Jawa Tengah. Tidak semua usahanya lancar dan sukses. Tetapi itu adalah bagian dari hidupnya sebagai petani.

Di rumahnya yang berada di pinggir Jalur Lintas Selatan (JLS) Jawa, istri Widodo, Tri Mulyani, membuka toko kelontong. Mbak Tri, demikian teman-teman dekat Widodo memanggilnya, lebih kerap berada di rumah untuk merawat anak tunggal mereka sembari menjaga toko, ketika Widodo sibuk di luar rumah. Saat mereka sama-sama berada di rumah, Mbak Tri menjadi seksi sibuk yang menyiapkan minuman dan makanan untuk menjamu tamu Widodo. Ini karena rumah mereka kerap menjadi tempat berkumpul petani dan para sahabat yang menyampaikan solidaritas.

Dalam pertemuan-pertemuan santai bersama para sahabat di rumahnya, atau di manapun, Widodo bukan lagi sosok yang garang dan keras. Ia sangat suka bercanda. Ia bisa bertukar berbagai jenis umpatan dan ejekan yang menghibur dengan lawan bicaranya, yang lalu akan diikuti derai tawa menggelegar.

Gelegar tawa itu masih terngiang setiap kali saya mengingat sosoknya. Di antara penampilannya yang garang, kata-katanya yang tajam dan menyindir, serta sikapnya yang keras tanpa kompromi, ia adalah sosok penuh tawa yang sangat mencintai keluarganya. Demikian saya akan mengenangnya.

Kepergian Widodo pada 9 Maret 2022 lalu, di usia 44 tahun, telah membuat banyak orang merasa kehilangan. Namun, ia telah meninggalkan warisan yang besar berupa teladan sikap dan komitmen pada perjuangan, serta rajutan solidaritas dengan berbagai pihak. Selain itu, ia adalah petani yang menulis. Buku yang ia tulis telah dan akan terus menginspirasi banyak orang.

Barangkali, sejumlah pihak yang mengikuti perkembangan di kawasan pesisir Kulon Progo sempat bertanya-tanya perihal bagaimana PPLP-KP ke depan tanpa sosok Widodo, terlebih ketika rencana tambang pasir besi masih terus mengancam mereka. Akan tetapi, ketika mengingat hal yang selalu ia sampaikan, saya merasa lega. Semua keputusan PPLP-KP, kata dia, adalah keputusan kolektif. Bukan keputusan Widodo.

Terima kasih dan selamat jalan, Mas Wid.

(Mengenang 100 hari kepergian Trisno Widodo, Koordinator Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo)

Tulisan yang dimuat dalam rubrik Kolom adalah opini pribadi penulis. Opini ini menjadi tanggung jawab pribadi penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi serunai.co

Related posts

Pemblokiran PSE dan Hal-hal yang Melampauinya

Ayu Welirang

Mencari Perempuan dalam Kritik Musik Kiwari

Idha Saraswati

Turba

Aris Setyawan

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy