Serunai.co
Kolom

New Panbers, Bapak, dan Kenangan Masa Kecil

new panbers
Konser Panbers (Foto: Isma Swastiningrum)

Kisah personal dan kenangan masa kecil tentang kugiran rock legendaris Indonesia, Panbers, dan bagaimana band lawas ini nge-rock lagi dengan nama New Panbers.

Bapak sudah memperkenalkan saya dengan dunia seni sejak saya lahir pada awal 1990-an. Beliau seorang pensiunan pegawai negeri yang berjiwa rebel dan doyan belajar seni secara otodidak. Seni yang Bapak geluti lintas sektor seperti musik, patung, kolase, hingga lukisan. Paling kentara musik. Ia bisa main gitar dan organ, bahkan pernah jadi pianis di sebuah gereja. Dulu saya ingin sekali belajar musik padanya, tapi entah mengapa, hubungan kami berjarak jauh. Saya sekadar jadi pengamatnya, sembari iri dengan anak-anak lain yang berhubungan akrab dengan ayahnya.

Seiring laju waktu yang mendewasakan, saya telah berdamai dengan kondisi tersebut. Berkat Bapak yang sering menyetel cakram padat (Compact Disc) dengan suara keras hingga didengar tetangga, saya jadi kenal para musisi pada zamannya seperti Koes Plus, Panbers, D’Lloyd, Rinto Harahap, Alfian, Iwan Fals, Gombloh, Nia Daniaty, Tetty Kadi, Betharia Sonata, Erni Djohan, Meriam Bellina, Pance F. Pondaag, Rhoma Irama, Broery Marantika, hingga Manthous yang terkenal dengan campur sari-nya.

Tentu saja waktu itu bapak memutar lagu-lagu tersebut hanya untuk ia nikmati sendiri. Saya cuma ikut mendengar, mau tak mau. Usia bapak kini 76 tahun, klop dengan merek rokok kretek kesukaannya. Ia masih aktif merokok sampai detik ini. Katanya, rokok dan kopi-lah resep panjang umurnya. Saya tak sepakat. Saya lebih percaya ia panjang umur karena hidupnya selalu penuh seni.

Berdomisili di sebuah desa di Cepu, Blora, Jawa Tengah, para tetangga sebenarnya lebih menyukai lagu-lagu campur sari ala Didi Kempot, dangdut, atau kasidah. Tetangga di samping rumah kami lebih sering menyetel ceramah KH Zainuddin MZ. Tak mau kalah, bapak membalasnya dengan ceramah KH Anwar Zahid yang gaya dan materinya lebih “urakan”. Tetangga lain sesekali menyetel gending dan karawitan khas Jawa. Kadang ada yang mendengarkan tayub dari radio saat jam tidur siang.

Saya rasa, saya turut menikmati selera musik bapak. Saya masih fasih menyanyikan lagu-lagu lama yang dulu sering bapak nyanyikan. Beberapa di antaranya “Demi Kau dan Si Buah Hati” atau “Tak Ingin Sendiri” karya Pance Frans Pondaag. Lagu lainnya adalah “Gereja Tua” milik Panbers yang juga sering bapak mainkan dengan gitar bolongnya. Saya betul-betul hafal liriknya.

Sejujurnya, saya baru tahu kalau konsep Panbers mirip Koes Bersaudara. Band yang disebut terakhir kemudian berubah nama menjadi Koes Plus karena salah satu personelnya meninggal dunia dan digantikan personel baru yang bukan saudara kandung. Konsepnya yakni saudara kandung yang membentuk grup band. Panbers sendiri singkatan dari “Panjaitan Bersaudara” dengan tambahan ‘s’ untuk menandakan jamak dalam bahasa Inggris. Mirip The Beatles, The Rolling Stones, atau Everly Brothers. Personel inti Panbers terdiri dari Benny, Hans, Doan, dan Asido Panjaitan.

Yang kini masih hidup hanya Asido “Sido” Panjaitan dengan usia 74 tahun. Sosoknya mudah dikenali di antara personel Panbers wajah baru. Rambutnya memutih, pembawaannya ceria dan penuh canda. Beliau bungsu dari empat bersaudara pasangan Jansen Mangira Marulak Panjaitan dan Basani Sinta Oeli Sitompul. Sebelum meninggal, Benny Panjaitan sempat berpesan pada Sido untuk melanjutkan perjuangan tanpa menghilangkan ciri khas Panbers.

Baca Juga:  Mengetengahkan Kisah Arus Pinggir

Saya kagum dengan kumpulan saudara kandung yang berhubungan baik dan akrab, bahkan membentuk band. Panbers dan Koes Plus mengingatkan saya dengan keluarga besar bapak di Bojonegoro, Jawa Timur. Bapak anak pertama dari sembilan bersaudara. Ia dan saudara-saudaranya sangat suka nyanyi dan main musik, meski momen kebersamaan mereka hanya hadir saat Lebaran. Ketika berkumpul, mereka “konser” di halaman rumah Mbah Kung (kakek) dan Mbah Yi (nenek), di antara pepohonan dan penganan khas hari raya atau riyayan.

Kalau saja bapak dan paman-paman membentuk band, barangkali nama mereka adalah “Bambers” atau “Bambang Sunaryo Bersaudara”, seturut nama kakek saya. Lagu-lagu yang sering mereka mainkan tentu saja Koes Plus dan Panbers. Bisa dibilang mereka penggemar Koes Plus garis keras. Salah seorang paman memainkan organ sementara yang lainnya kompak bernyanyi.

Saya selalu merindukan momen kebersamaan yang hadir sepanjang 1999-2010 ini.

Kerinduan saya terobati ketika Tuhan memberi saya kesempatan menonton New Panbers pada Sabtu, 30 Agustus 2025. Panbers berganti nama menjadi New Panbers setelah mengalami bongkar pasang personel. Saat ini, New Panbers terdiri dari Asido Panjaitan (drum), Ade Panjaitan (gitar), Ucup (bass), Maxi Pandelaki (piano), Mario Reinaldo Siwabessy (vokal), dan Bijhe  (vokal). Konser berlangsung di lantai dua District 29 Coffee, Bekasi.

Inilah kali pertama saya menyaksikan langsung konser Panbers. Sudah familier dengan lagu-lagu mereka sejak masih kanak-kanak, rasa penasaran saya pun membuncah. Betapa ingin saya menyanyi bersama mereka, apalagi Opung Sido Panjaitan masih hidup. Barangkali juga semacam balas dendam karena selama ini saya tak pernah berkesempatan menonton pertunjukan mereka.

Nostalgia Bersama New Panbers

Walau musisi Panbers yang masih hidup hanya Opung Sido Panjaitan, perjumpaan dengan New Panbers akhir Agustus silam memberi saya kesempatan menziarahi masa lalu bersama bapak. Meskipun hubungan kami sengit, sendu, dan cenderung menyedihkan karena jarak yang renggang, bapak-lah yang berjasa menumbuhkan kepekaan dan kecintaan saya terhadap seni. Lewat bapak, saya berprivilese mendengarkan lagu-lagu populer era 70-an hingga 90-an.

Lagu gereja tua itu, romantisnya bener kebangetan, menurutq [sic] itu karakter musik yang instrumen utamanya cello/violin, bukan gitar.

Seorang sahabat mengirim pesan tersebut lewat WhatsApp. Ia menanggapi informasi yang saya sampaikan mengenai konser New Panbers yang pertama kali saya peroleh dari Instagram.

Iya, liriknya sederhana tapi menyentuh. Kek [sic] dibuat dari hati dan pengalaman langsung. 

Saya sepakat. Lagu “Gereja Tua” yang diciptakan Benny Panjaitan pada 1970 ini mengisahkan kenangan tak terlupakan remaja di masa lalu, meski akhirnya kedua belah pihak merintis jalan masing-masing. Saya menganggap lagu ini universal. Diksi “gereja” tak lantas merujuk agama tertentu karena kasih sayang tak memiliki agama. Menyanyikan liriknya seperti membawa saya ke suatu desa yang teduh di kala hujan bersama orang tersayang.

Baca Juga:  Sisir Tanah dan Nyanyian Eksistensial

Masihkah kau ingat waktu di desa
Bercanda bersama di samping gereja
Kala itu kita masih remaja
Yang polos hatinya bercerita

(Gereja Tua) 

Dua tahun lalu, saya memiliki kenangan yang cukup sentimental di Merauke, Papua. Ketika mau menyantap sate rusa bersama rekan kerja, seorang pengamen menyanyikan lagu Gereja Tua. Kok ya ndilalah, tempat makan kaki lima pinggir jalan itu letaknya persis di depan gereja. Mengamati pengamen yang kehidupannya terlihat bebas, saya segera teringat rumah, bapak, dan masa kecil. Mendung menggelayuti mata manakala kaset-kaset kenangan itu diputar kembali.

Kembali pada konser di Bekasi, para personel New Panbers kompak mengenakan jaket kulit hitam yang terkesan sangat maskulin. Bertajuk Malam Cinta dan Permata, mereka antara lain memainkan lagu “I’ll Be Yours Forever”, “Akhir Cinta”, “Let Us Dance Together”, “Pilu,” “Hidup Terkekang”, “Kisah Cinta Remaja”, “Terlambat Sudah”, “Gereja Tua”, “Cinta dan Permata”, “Musafir”, “Akhir Cinta”, “Cinta Abadi”, “Boasa Inkong Pajumpang”, “Mengapa Harus Jumpa”, dan “Indonesia My Lovely Country”.

Malam itu, saya duduk berdekatan dengan Pak Tugimun, seorang bapak tua yang bersahaja. Barangkali usianya sepantaran bapak di rumah. Beliau datang sendiri dengan mengenakan jas rapi. Sangat formal, mirip seorang ayah yang datang ke undangan pernikahan anaknya. Rata-rata yang datang memang seumuran orang tua saya. Sangat jarang saya menjumpai generasi Milenial seusia saya. Kalaupun ada, sepertinya mereka diajak orang tua.  

New Panbers memang keren, terutama Opung Sido. Meski sudah di atas kepala tujuh, ia masih sangat energik menggebuk drum. Saya dengar, ia malah punya riwayat stroke dan pernah mati suri. Saya juga senang melihat personel lain macam Maxi Pandaleki yang murah senyum. Pun demikian pemain bass. Suara Bijhe dan Mario punya karakter unik. Mereka berasal dari daerah yang memang terkenal dengan para penyanyi terbaik seperti Batak, Medan (Sido), Ambon (Mario), dan Padang (Bijhe).

New Panbers dan Pak Tugimun (Foto: Isma Swastiningrum)

Lagu-lagu Panbers sungguh menyayat atau didominasi kisah kasih yang tak sampai. Seperti yang saya dengar di lagu-lagu berikut:

Aku gagal kali ini
Tanpa tangis dan duka
Hanya titik air mata
Dan senyum kehancuran

(Akhir Cinta)

Pilu
Rasa hatiku
Sejak kau
Tinggalkan aku

(Pilu) 

Mengapa dulu kau tinggalkan diriku
Tanpa pesan apa pun padaku
Kala itu cintaku sedang tumbuh
Kau biarkan menjadi layu

(Terlambat Sudah) 

Harta adalah hiasan hidup semata
Kejujuran keikhlasan itu yang utama
Jangan kau taburi cinta dengan permata
Tetapi hujanilah semua dengan kasih sayang

(Cinta dan Permata)

Mereka memilih diksi-diksi sederhana dengan not-not dan sentuhan instrumen menyayat hati. Frontman sekaligus kreator lirik, Benny Panjaitan, memang sangat suka diksi-diksi seperti “pilu”, “layu”, “berlalu”, dan “terlambat”. Ia juga sekaligus sangat ekspresif. Musik mereka cenderung antihero, lebih mengakui banyak kegagalan dalam kehidupan dan percintaan dibandingkan lirik-lirik sok bijak dalam rangka memulihkan kesehatan mental seperti yang kini laris manis.

Baca Juga:  Sisir Tanah: Puitis Sejak Dalam Pikiran

Selain kisah kegagalan cinta, Panbers juga menulis lagu-lagu sosial, terutama soal menjadi manusia bebas. Barangkali, lirik-lirik bernada pemberontakan berasal dari pengalaman Benny saat merintis karier jadi musisi, dan berkomitmen bisa hidup dengan musik. Juga pengalaman Panjaitan Bersaudara berpindah-pindah rumah di Surabaya, Palembang, dan Jakarta mengikuti ayahnya bekerja sebagai bankir. Coba perhatikan lagu “Musafir” dan “Hidup Terkekang”.

Musafir
Hidupmu bebas tiada ikatan
Musafir
Berkelana sepanjang waktu
Musafir
Apakah yang kau cari oh
Musafir
Apakah arti hidupmu

(Musafir) 

Hidup bagaikan seekor burung
Dalam sangkar yang terkekang
Biar sangkarku terbuat dari emas
Lebih baik ku hidup di hutan luas

(Hidup Terkekang) 

Konser New Panbers. (Foto: Isma Swastiningrum)

Konser berdurasi sekitar dua jam ini berakhir sekitar pukul sepuluh malam. Berlokasi di lantai dua kafe yang semi-outdoor, nuansa konser cenderung lebih intim. Ada dua lagu yang dinyanyikan secara karaoke yaitu “Gereja Tua” (bersama empat bapak) serta “Cinta dan Permata” (bersama empat ibu). Sejujurnya, saya berharap lagu-lagu legendaris ini dinyanyikan langsung New Panbers, khususnya “Gereja Tua” yang sakral bagi saya – sebab inilah lagu yang paling saya sukai.

Di penghujung konser, vokalis Mario mengumumkan bahwa New Panbers akan kembali tampil di berbagai lokasi di Jakarta seperti Jalan Surabaya dan Tsnada, Cikini.

Dalam rangka memberi penghormatan pada Panbers, band rock asal Jakarta, Kelompok Penerbang Roket (KPR), pernah merilis album khusus pada 2015. Diberi judul “HAAI”, album ini berisi aransemen ulang delapan lagu legendaris Panbers yaitu “Djakarta City Sound”, “Rock and The Sea”, “Bimbang dan Ragu”, “Hujan Badai”, “Bye Bye”, “Mr. Blo’on”, “Let Us Dance Together”, dan “HAAI (feat. Benny Panjaitan)”. Panbers selalu berusaha menciptakan lagu yang nadanya tidak sama dengan lagu-lagu lain. 

Bassist sekaligus vokalis KPR, Coki, mengaku mengidolakan Panbers dan Sido Panjaitan. Dia kerap mendengarkan musik 70-an dan pernah membatasi diri dengan tidak mendengarkan musik-musik generasi 90-an ke atas. Sido pun lapang hati mengizinkan KPR membawakan lagu-lagu Panbers. Bagi Sido, KPR memang cocok merekam dan membawakan ulang lagu-lagu Panbers.

Saya sepakat. Di telinga saya, lagu-lagu Panbers dalam album ini terasa lebih segar, energik, dan nge-rock, sekalipun judul-judul yang dipilih bukan yang lebih populer seperti Gereja Tua.

Isma dan Panbers (Foto: Isma Swastiningrum)

Pada akhirnya, saya sungguh berterima kasih pada bapak, juga Panbers dan penyanyi lagu-lagu lawas lainnya yang kini lebih dikenal sebagai tembang-tembang nostalgia. Kehadiran mereka membangkitkan beribu kenangan masa kecil di rumah, terlepas dari berbagai drama keluarga yang menyertainya. Lagu-lagu ini jadi elemen penting yang mewarnai hidup, dan saya luar biasa bersyukur masih diberi kesempatan untuk bernostalgia langsung bersama para musisinya. 

Tulisan yang dimuat dalam rubrik Kolom adalah opini pribadi penulis. Opini ini menjadi tanggung jawab pribadi penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi serunai.co

Penulis: Isma Swastiningrum

Editor: Sylvie Tanaga

Related posts

Widodo, Jembatan Petani Pesisir Kulon Progo

Idha Saraswati

Meneroka Festival

Aloysius Bram

Selamat Jalan Ari Malibu

Bagus Dwi Danto

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy