Barangkali agak aneh ketika diksi “meritokrasi” saya jadikan judul untuk membicarakan musik. Tetapi Anda tidak salah baca. Pisau analisis meritrokasi inilah yang hendak saya gunakan untuk membedah konser 11 tahun berkarya produser, pencipta lagu, dan musisi yang tergabung dalam trio Laleilmanino atau LIN.
Ide ini saya dapat setelah membaca artikel jurnal yang ditulis Luca Carbone dan Jonathan Mijs berjudul, “Sounds Like Meritocracy to My Ears: Exploring the Link Between Inequality in Popular Music and Personal Culture” (2022). Inti temuan dari jurnal tersebut adalah, di dalam masyarakat dengan tingkat ketidaksetaraan dan ketimpangan ekonomi yang lebih tinggi, lagu-lagu yang menggambarkan ketimpangan sebagai persoalan struktural lebih populer dibanding lagu-lagu yang menggunakan kerangka meritokratis. Penelitian itu juga menunjukkan bahwa orang cenderung memercayai bentuk ketimpangan sesuai dengan narasi yang paling sering hadir dalam keseharian mereka. Temuan ini selaras dengan kerangka enkulturasi (enculturation framework) dari Omar Lizardo yang dirujuk oleh jurnal tersebut.
Di tulisan ini, saya mendedah konser “Laleilmanino & Friends” yang dihelat pada Kamis, 30 Oktober 2025, di Istora Senayan Jakarta, bukan sebatas sebagai konser musik, tapi juga peristiwa budaya. Terinspirasi tulisan Carbone dan Mijs, ada tiga pertanyaan di benak saya terkait konser tersebut: Pertama, apakah prinsip “meritrokasi” bekerja dalam tubuh Laleilmanino? Jika iya, bagaimana? Jika tidak, mengapa? Kedua, bagaimana Laleilmanino membongkar hierarki dan ketidaksetaraan terkait akses musik di Indonesia melalui kolaborator-kolaborator yang dipilihnya? Ketiga, bagaimana mekanisme kesetaraan akses itu bekerja lewat proses produksi, distribusi, dan konsumsi karya-karya musik yang dihasilkan Laleilmanino?
Mungkin tidak menjawab semuanya secara komprehensif, saya akan menjawab sebatas yang saya tahu dari pengalaman serta pembacaan terhadap referensi-referensi yang tersedia.
Pertanyaan Pertama
Apakah prinsip “meritrokasi” bekerja dalam tubuh Laleilmanino?
Di hari konser itu, saya mendapatkan experience di LIN Access. Akses ini diperuntukkan bagi media dan penggemar setia LIN atau yang masuk dalam LIN Community. Meskipun di luar Istora hujan cukup deras, sesi LIN Access ini menyenangkan karena kami bisa mengenal Laleilmanino secara lebih dekat. Laleilmanino menggarisbawahi jika konser ini bukan perayaan ulang tahun, tapi perayaan 11 tahun berkarya. Trio produser ini terbentuk di Bali pada 21 Januari 2014 saat perayaan ulang tahun musikus Yovie Widianto. Lale dan Ilman masing-masing adalah gitaris dan kibordis Maliq & D’Essentials, sementara Nino adalah vokalis RAN.
Di sesi sound check, ada cerita Nino yang membuat saya terenyuh. Dia bilang jika ayah dari ketiga anggota LIN telah meninggal. Namun, Nino meyakini bahwa ayah mereka dengan bangga akan menonton di dunia yang lain. Nino dalam momen itu sempat menginterogasi dua sohibnya, Ilman dan Lale terkait orangtua masing-masing.
Saya tertarik menghubungkan konsep obrolan tentang orang tua ini dengan konsep meritokrasi. Di Indonesia, konsep meritokrasi didominasi dengan tone positif. Meritokrasi diartikan sebagai sistem sosial di mana seseorang mendapatkan suatu posisi, penghargaan, prestasi, hingga promosi tertentu berdasarkan pada kemampuan, kualifikasi, dan kualitasnya. Tidak berdasarkan pada faktor lain di luar kapasitasnya seperti status sosial, kekayaan, kekerabatan, hingga koneksi. Sukses sangat erat kaitannya dengan kerja keras, kinerja, keterampilan, dan bakat individu.
Namun, Carbone dan Mijs mengatakan bahwa ketimpangan dan meritokrasi adalah dua sisi mata uang yang sama. Keduanya saling menguatkan karena meritokrasi sering menghasilkan ketimpangan. Kritik utama sistem meritokrasi adalah bagaimana ia tergantung pada privilese yang menciptakan kesenjangan sosial. Seolah semua orang memiliki kesempatan yang sama padahal tidak. Orang yang berbakat, berprestasi, dan bekerja keras akan naik, sementara yang lainnya akan tertinggal. Padahal, prestasi sering ditentukan oleh start awal yang tidak sama: bakat genetik, gender, pendidikan, jaringan, lingkungan, dan modal budaya. Terkait gender semisal, ada pertanyaan yang tiba-tiba menggelitik saya, seberapa banyak produser perempuan yang bisa sukses seperti Laleilmanino? Tapi ini sepertinya perlu sesi untuk tulisan yang lain.
Saya ingin menelisik latar belakang Laleilmanino lewat indikator-indikator yang hidup dalam tatanan masyarakat urban yang menghargai nilai meritokratis ini—meskipun agak susah. Salah satu tulisan yang bagi saya sangat representatif sudah ditulis dengan baik oleh Ardi Wilda (Awe) dalam artikelnya yang berjudul, “Nino Kayam Belajar Mencintai Jakarta dari Ayahnya: Semua Bermula dari Stasiun Jakarta”. Dalam tulisan itu, Awe menyebut bahwa Umar Kayam merupakan kakek dari Anindyo “Nino” Baskoro. Penggemar sastra Indonesia tentu kenal siapa Umar Kayam, sosok yang menganggit novel Para Priyayi dan cerpen “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan”. Latar belakang keluarga itu memberikan modal kultural bagi Nino dalam membentuk sensibilitas dan orientasi estetika. Nino juga mengaku, estetika yang dia ciptakan tidak lepas dari referensi yang diberikan orang tuanya yang memberinya kamus awal bermusik. Lalu ia meng-update diri sesuai situasi zamannya dengan notasi, lirik, dan aransemen yang kekinian.
Meskipun informasi belum banyak tersedia, kita bisa menebak latar sosial Ilman Ibrahim Isa dan Arya “Lale” Aditya Ramadhya yang juga bisa dikatakan masuk dalam kalangan keluarga “priayi”. Ilman, misalnya, sejak kecilsudah les di lembaga pendidikan musik. Pada 2007, ayahnya memberikan modal untuk membangun studio musiknya sendiri. Studio yang diberi nama “Top Art Qv” itu menjadi arena eksplorasi musiknya.
Saya hanya sedikit mendapat informasi tentang Lale. Ia tidak banyak berbicara sepanjang konser. Namun, dari perjalanan dan selera bermusiknya, kita bisa menebak dari mana Lale berasal. Sejak kecil, Lale mengaku lumayan terdoktrin oleh musik-musik dari The Carpenters, The Beatles, Bread, dan lagu-lagu dari Burt Bacharach dari orang tuanya. Nama yang disebut terakhir, misalnya, merupakan pianis dan komposer asal Amerika Serikat yang karyanya hits pada tahun 1962-1970.

Saya tidak sedang mengusik privilese Laleilmanino. Saya hanya ingin membongkar bagaimana meritokrasi bekerja. Sistem ini berpotensi menghasilkan kelompok elite baru yang lebih superior, meskipun saya yakin LIN tidak menganggap diri mereka superior. Di kenyataan, realita ketimpangan jauh lebih kejam, dan lebih parah dari yang kita bayangkan. Subjek Laleilmanino bisa Anda ganti dengan jutaan musisi lainnya, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global lewat genealogi kultural yang mereka miliki masing-masing. Memakai metafora transportasi bus, saya tidak sedang menyasar sopir, saya hanya ingin melihat bagaimana mesin bekerja. Saya tidak hendak merecoki subjek, saya hendak menghantam sistem. Narasi meriktoratis jelas menyingkirkan mereka yang terpinggirkan, dan secara daya ekosospolbud berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan.
Setelah mengintip sedikit tentang latar belakang, saya masuk pada intinya, yaitu karya-karya yang dihasilkan oleh Laleilmanino. Apakah lirik-lirik meritokratis hadir dalam total 166 karya yang dihasilkan selama kurun waktu 11 tahun?
Untuk menjawab ini, saya mengambil sampel sekitar 30 lagu yang dinyanyikan dalam konser “Laleilmanino & Friends”. Tracklist-nya sudah terdokumentasi dengan baik di Instagram maupun laman setlist.fm atau YouTube. Ada 18 kolaborator yang mewarnai konser ini. Dari penelusuran itu, kesimpulan cepatnya adalah Laleilmanino pada umumnya tidak mengkritik meritokrasi. Posisi mereka lebih tepat disebut sebagai humanisasi kehidupan modern dari tekanan emosional yang terbentuk dari sistem meritokrasi. Mereka menggambarkan kondisi emosional orang-orang yang hidup dalam sistem meritokratis, dengan tema-tema seputar cinta yang melelahkan, pertemuan, perpisahan, kesedihan, kerentanan, jatuh hati, kasmaran, hingga kekeluargaan. Bukan struktur ekonomi atau struktur sosial yang mereka bahas, tapi potret perasaan manusia sehari-hari.
Setiap tahun, Laleilmanino selalu berpikir terkait apa yang akan dihadirkan sebagai sesuatu yang berbeda. Pada tahun 2020, misalnya, selain ingin menciptakan lagu mereka juga ingin membuat soundtrack lagu. Mereka mengisi soundtrack film animasi Jumbo. Lagu “Selalu Ada di Nadimu” mengisi film yang dikarakteri oleh Don cs besutan sutradara Ryan Adriandhy. Lagu ini juga menjadi pesan seorang ayah yang disampaikan pada anaknya.
Di sisi lain, lagu berjudul “Djakarta” yang dalam konser dinyanyikan oleh Laleilmanino bersama Prince Poetiray, Quinn Salman, Reza Chandika, Rendha Rais, dan Dustin Tiffanni menjadi arsip memori tentang ibu kota. Lagu “Djakarta” dirilis bertepatan dengan hari jadi DKI Jakarta ke-497 pada tanggal 22 Juni 2024. Lagu ini semula merupakan lagu kolaborasi dengan rapper Cécil Yang, musikus tradisional Betawi Yusuf “Oeblet”, dan Diskoria. Kolaborasi ini tak lepas dari eksplorasi Laleilmanino untuk menggambarkan keberagaman dan kebhinekaan Jakarta dalam sebuah lagu. Di lagu ini, Nino juga bercerita tentang kisahnya bersama Ayah serta pengalamannya tumbuh di Jakarta.
Lirik lagu “Djakarta” bagi saya menjadi single yang paling frontal memaparkan realitas urban yang meritokratis, di balik kerasnya kota dan kerinduan akan kampung halaman yang mendera-dera. Lagu ini seolah mengonfrontasi sistem secara langsung, sekaligus merenungkannya, bahwa, “Mudah belum tentu indah / Susah belum tentu tak bahagia / Di Jakarta / Hidup berdasi tak selalu bawa tawa / Senang bukan cuma harta….”
Pertanyaan Kedua
Bagaimana Laleilmanino membongkar hierarki dan ketidaksetaraan terkait akses musik di Indonesia melalui kolaborator-kolaborator yang dipilihnya?
Asumsi dari pertanyaan ini adalah: Laleilmanino membongkar hierarki dan ketidasetaraan akses musik di Indonesia.
Kita bisa membuktikan asumsi ini melalui pemilihan kolaborator Laleilmanino dalam berkarya secara lebih luas, atau melalui konser 11 tahun ini secara lebih khusus. Secara sadar, mereka meruntuhkan batas-batas status, asal-usul, genre, hingga kelas simbolik yang melekat dalam industri musik. Laleilmanino menyajikan spektrum kolaborator yang beragam, di mana formasi ini tidak saja mengacaukan hierarki tradisional yang selama ini memisahkan antara musik serius dan musik komersial, musik label besar atau musik indie, musik megah orkestra atau musik yang sekadar pengisi jingle iklan.
Laleilmanino lewat cara kerjanya telah menantang ketimpangan akses yang sering kali menghambat musisi itu sendiri, yang terkadang mengkotak-kotakkan ekosistem mereka sendiri, kemudian bertindak secara eksklusif. Tiga serangkai ini seolah tidak membuat perbedaan antara musik kelas pertama atau kelas dua atau kelas tiga dan seterusnya yang cenderung hierarkis, tetapi melihat perspektif baru jika talenta bermusik bisa hadir dari berbagai pintu. Jika dikaitkan dengan tulisan meritokrasi Carbone dan Mijs, Laleilmanino lewat berbagai kolaborator dari latar belakang dan jalur produksi yang berbeda-beda justru mengganggu narasi meritokrasi yang lekat pada industri musik Indonesia. Kondisi ini menjadi anomali karena media cenderung memproduksi narasi bahwa kesuksesan merupakan hasil dari talenta murni dan kerja keras personal, sembari abai pada struktur dan ketimpangan akses.
Konser 11 tahun mereka kali ini, misalnya, dibagi ke dalam beberapa segmen. Menariknya, di konser ini, Laleilmanino memadukan berbagai warna musik dalam satu panggung. Tak hanya sebatas solois, band, idol group, grup musik, jingle iklan tapi juga komedian hingga artis. Daya kreatif mereka yang dalam tak disimpan mereka sendirian, tapi inklusif dibagi ke banyak kalangan.
Ketiganya saling mengisi kelemahan masing-masing. Atas kerja sama yang solid ini, Laleilmanino dinobatkan menjadi produser terlaris 2020. Saya merasa, Laleilmanino bisa jadi idealis sekaligus bisa fleksibel dengan tuntutan industri yang menghampirinya. Mereka berkompromi dengan momentum dan sumber daya tanpa harus mengorbankan “rumah awal” masing-masing, baik di RAN maupun Maliq & D’Essential.
Lagu “Sayang”, misalnya, dibuat untuk promosi produk usaha. Lagu advertorial yang lezat ini hadir saat Laleilmanino berkolaborasi dengan Mokhammad Dandi Sepsaditri selaku pemilik Baso Aci Akang. Kolaborasi Laleilmanino dengan produk Food and Beverage (F&B) lokal ini dianggap menjadi salah satu kolaborasi yang paling “gak disangka”. Dirilis pada hari Jumat, 12 Februari 2021, masih di masa COVID-19, kolaborasi ini diharapkan bisa menguatkan sektor F&B di masa pandemi.
“Sayang… bila terbuang semua detik waktuku, menikmati cintamu… Jangan pernah kau hilang pagi, siang, dan malam. Diri ini hanya selalu terbayang… Baso Aci Akang,” begitu liriknya.

Salah satu kolaborasi yang paling menarik minat saya adalah kolaborasi antara Laleilmanino dengan .Feast. Keduanya berasal dari sonik yang berbeda, dunia berbeda, hingga ideologi yang berbeda. Laleilmanino sebagaimana kita tahu, memiliki akses pada industri populer dari jaringan ke label, media, jenama, hingga artis pop mainstream. Narasi yang dibangun cenderung konstruktivis, membangun optimisme, dan universal feel-good messages. Di sisi lain, .Feast lebih berbasis skena independen yang membawa narasi kritis soal struktur, kekerasan, dan perlawanan. Narasi yang dibangun lebih ke dekonstruksi alih-alih konstruksi. .Feast juga cenderung menghindari sonik yang telalu ngepop lewat sentuhan alternatif yang mereka ciptakan.
Sebelum .Feast naik ke panggung konser LIN yang merah merona, saya berkesempatan menemui mereka di green room untuk mendengar proses kreatif di balik pembuatan single “Arteri”. Di ruangan itu ada Daniel Baskara Putra (vokal), Adnan Satyanugraha Putra (gitar), Diki Renanda Putra (gitar), dan Fadli Fikriawan Wibowo (bas).
Menurut Baskara, untuk single “Arteri” yang menjadi bagian dari album Membangun & Menghancurkan (2024), sejak awal .Feast memang memilih Laleilmanino karena ingin mencoba hal baru. Di album ini, .Feast melibatkan banyak produser, di antaranya seperti Enrico Octaviano, Iga Massardi, Lala Pratomo, dan Pandu Fathoni. “Cuman di semua jajaran produsernya pun mungkin yang paling beda sendiri adalah Laleilmanino ya, karena sepertinya mereka secara sonik beda. Terus jarang juga mengerjakan musik yang lebih alternatif mungkin ya dibandingin yang memang pop gitu,” terang Baskara.
Pertanyaan Ketiga
Bagaimana mekanisme kesetaraan akses itu bekerja lewat proses produksi, distribusi, dan konsumsi karya-karya musik yang dihasilkan Laleilmanino?
Menjawab pertanyaan ini, saya pertama-tama berpikir jika setiap jalur produksi, distribusi, dan konsumsi punya logika masing-masing yang sama validnya. Asumsi saya terkait pertanyaan ini adalah Laleilmanino memiliki praktik-praktik tertentu yang bisa memperluas akses dan mengganggu ilusi meritokrasi. Mereka memperlihatkan kepada kita bahwa kesempatan dalam bermusik bisa diproduksi tidak semata karena bakat per se, tapi juga hasil dari akses, jaringan, dan redistribusi modal. Selain itu, mereka menembus banyak kanal distribusi dari hits unggulan, playlist digital service provider (DSP) pilihan, lagu latar viral media sosial, hingga jingle iklan. Mereka menggunakan modal distribusi yang dimiliki untuk memecah batas pasar, termasuk pada genre non-dominan yang menjadi basis dari sirkuit meritokrasi.
Upaya mereka juga turut mengangkat bintang-bintang baru yang membuat kilaunya lebih bersinar. Pada tahap produksi, Laleilmanino mempertemukan berbagai produk budaya dalam satu panggung yang sama. Konser “Laleilmanino & Friends” menjadi contoh yang jelas bagaimana musisi pop, indie, idol, rock, anak, hingga orang dewasa bisa dipertemukan dalam satu panggung yang sama. Ini membawa dampak jelas pada ranah konsumsi, bagaimana Laleilmanino membuka ruang dialog antar-genre dan antar-kelas pendengar. Pola ini bagusnya juga tidak mendewakan satu jenis selera sebagai hal yang lebih “bernilai” dibandingkan yang lain.

Masing-masing personel Laleilmanino saling mengisi dan mengetahui tupoksi di pos masing-masing. Lale, Ilman, Nino sama-sama memiliki idealisme yang kuat, tapi ketiganya bisa membaur. Jika diibaratkan spektrum warna, barangkali ketiganya mewakili sisi-sisi dari warna primer (merah, kuning, dan biru); ketika ketiganya dilebur, mereka bisa menghasilkan warna-warna lain yang lebih kreatif. Warna-warna baru yang dihasilkan kemudian digunakan oleh musisi lain untuk menunjang karier bermusiknya sendiri. Kerja-kerja mereka jelas bukan berdasar ego bermusik, atau keinginan dangkal untuk terkenal dan diakui; chemistry ketiganya telah teruji ruang dan waktu. Kecocokan ketiganya tentu bukan berasal dari ruang kosong, melainkan karena pondasi nilai-nilai dan tingkat kedewasaan yang sama.
Menghadirkan gebrakan setiap tahun untuk karier mereka yang semakin berprogres, di ulang tahun ke sembilannya, misalnya, Laleilmanino merilis proyek Lagu Kami Tentang Kamu (LKTK), yang menjadi wadah bagi siapa saja untuk bercerita. Proyek ini tercipta karena banyak yang mengirimkan cerita-cerita hidup ke LIN, sehingga LIN memutuskan untuk membuat akun Instagram @lagukamitentangkamu. LIN lewat platform ini mencoba untuk mendengar dan menggali inspirasi lebih banyak. LIN memilih cerita untuk dijadikan lagu, dan dari proses itu lahir lagu berjudul “Senyum di Tanyaku” yang dinyanyikan Dustin Tiffani.
Nino bilang bahwa semangat utama membuat LKTK bukan untuk membuat lagu yang viral atau cari uang. Kata Nino sebagaimana dikutip dari Pop Hari Ini, “Kita merasa, orang-orang di luar sana pasti ada yang butuh banget untuk diademin hatinya, untuk seenggaknya ada yang dengerin cerita dia, uneg-uneg dia.”
Berkaitan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi; saya jadi teringat dengan deretan kata-kata penuh makna yang tertulis di pembuka konser Laleilmanino & Friends Live In Concert yang ditulis oleh Ardi Wilda, sebagai narasi pembuka konser.
“3 musisi, ratusan karya, ribuan memori, jutaan pendengar, 1 mimpi… Hari itu kami percaya, mimpi yang bermula dari rasa cinta akan menemui jiwa-jiwa yang seirama. Musik selalu indah karena lahir melalui banyak hati….”
Dengan jumlah penonton sekitar 6.000 orang, konser dimulai pukul 20.00 WIB.
Lagu overture dimainkan, dilanjutkan dengan tembang “Balada Insan Muda” yang dinyanyikan Laleilmanino dan dipopulerkan oleh Diskoria (Merdi Simanjuntak dan Fadli Aat) pada tahun 2019. Diskoria lewat lagu ini menceritakan romansa masa muda melalui musik pop dan disko 80an didukung dengan instrumen synthesizer. Lagu “Balada Insan Muda” yang asli disumbang vokal oleh Yassereno Omar dan Elfa Tahmila. Tentu, berkat Diskoria dunia disko Indonesia mengalami masa revivalnya. Kita tahu bahwa kolaborasi antara Laleimanino dan Diskoria sudah ada di level tertentu karena saking banyaknya karya yang dibuat bersama dan menjadi hits.

Lagu “Rapsodi” menjadi nomor lainnya yang dinyanyikan dalam konser 11 tahun. Di nomor ini, Laleilmanino, JKT48 dan Diskoria menyulap panggung menjadi ruang disko, sekaligus arena JKT48 bisa bergerak lincah saat musik berdentum. Kolaborasi Laleilmanino dengan Diskoria juga tergambar dari lagu “Badai Telah Berlalu” yang dinyanyikan oleh Bunga Citra Lestari. Lagu ini sebagai bentuk respons akan usainya pandemi COVID-19 dan rasa syukur bahwa situasi yang sulit tersebut telah berhasil terlewati. Lagu yang dirilis akhir tahun 2022 ini dan didaulat untuk menjadi lagu penutup dalam konser “laleilmanino & friends”.
Epilog
Laleilmanino menjadikan panggung konser 11 tahunnya itu sebagai arena merayakan, bukan menampilkan. Kolaborasi tak hanya melahirkan karya baru, tapi juga koneksi dan ilham-ilham baru yang bisa digarap kemudian.
Ada beberapa hal yang saya pelajari dari Laleilmanino:
Pertama, perubahan bisa diciptakan melalui kolaborasi. Klise kedengarannya, tapi kerja inilah yang Laleilmanino lakukan dengan telaten dan tekun. Dari sini saya belajar jika perubahan paling kuat terkadang tak hanya bersandar performance individual, tapi justru bagaimana membangun jembatan bagi sesama untuk tumbuh menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri.
Di konser itu, Laleilmanino memberi kesempatan pada sahabat mereka untuk melamar kekasihnya. Lamaran itu diterima dengan sambutan tepuk tangan ribuan penonton.
Momen lain yang menyentuh adalah saat Vidi Aldiano bernyanyi. Penyakit kanker ginjal yang diderita Vidi sejak tahun 2019 membuat kesehatan fisiknya menurun. Wajahnya tampak pucat dan tubuhnya mengurus. Suaranya terdengar agak melemah dibanding biasanya. Tetapi, banyak cinta yang diterimanya malam itu.
Kedua, Laleilmanino telah banyak membuka gerbang, membuat titik, meletakkan batu pertama, sampai babat alas bagi para musisi dan bukan musisi di Indonesia untuk berkarya. Kolaborasi Laleilmanino yang borderless ini terbukti mampu menghancurkan sekat-sekat yang kaku di dunia musik. Laleilmanino juga membantu banyak musisi yang mungkin terlalu nyaman ataupun yang tidak pede dengan dirinya untuk “turun gunung” menyapa pendengar potensialnya. Mereka bisa membaca situasi, memberi ruang aman bagi kolaborator, dan memahami konteks emosional pendengar.
Ketiga, bagaimana menjadi manusia yang tidak egois dalam berkarya. Laleilmanino menunjukkan arti berbagi sumber daya. Kolaborasi sebanyak itu tidak mungkin terwujud jika orang-orang di dalamnya bekerja dengan ego yang besar. Laleilmanino bekerja tak hanya membuka akses, tapi juga melebarkannya. Dalam produksi, mereka berbagi kanal. Dalam distribusi, mereka meratakan eksposur. Dalam konsumsi, mereka menyatukan pendengar lintas identitas.[]
Penulis: Isma Swastiningrum
Editor: Idha Saraswati
