Serunai.co
Kolom

Ajakan Menyimak Footsteps karya Vague untuk Gibran Rakabuming Raka

Vague - Footsteps
Vague - Footsteps

Halo Mas Gibran Rakabuming Raka,

Apa kabar?

Semoga Mas selalu dilimpahi kesehatan, keberuntungan, dan privilese.

Saya sempat insecure saat hendak mengirim surat ini. Pasalnya, saya cuma warga negara biasa. Hari-hari ini, Mas pasti dikerubungi beraneka ragam pundit—dari pundit politik sampai pundit komunikasi massa. Keberadaan mereka jelas penting. Mas tentunya haus masukan dalam proses pengambilan pelbagai keputusan strategis: pembagian jatah menteri (tandem dengan Om Prabz pastinya), susunan proker 100 hari pertama, atau, raut muka yang tepat biar vibe savage senantiasa langgeng di foto resmi Mas nanti. Di hadapan bisikan pundit-pundit ini, isi surat ini anjlok ke dasar Palung Mariana.

Untung, rasa minder itu menguap begitu ingat saya—masih—punya hak berpendapat. Bagi saya, hak berpendapat yang dibiarkan menganggur adalah bentuk kemubaziran, dan, kemubaziran adalah perilaku setan.

Astagfirullah!

Di samping itu, saya berani bertaruh tak satu pun pundit di sekitar Mas punya cukup kepekaan untuk memetakan kaitan budaya populer, lanskap politik Indonesia, serta masa depan imej seorang wapres belia.

Ya sudah. Apa boleh buat. Biar saya yang membisiki Mas masukan yang trivial tapi krusial ini: Dengarkan dan resapi Footsteps, album debut Vague, sebelum terlambat.

Belum kenal Vague? Jangan kecil hati, Mas. Ingat raihan suara Ganjar-Mahfud? Jumlah pendengar Vague jauh lebih jeblok dari itu. Galibnya, band macam Vague ini disebut band indie. Tapi buat Mas, bolehlah band ini dikategorikan sebagai band niche, cult, atau gurem.

Nasab musik Vague dapat ditelusuri sampai band-band asuhan label legendaris asal Washington D.C., Dischord Records. Sebut saja: Rites of Spring, Embrace, One Last Wish, Dag Nasty, atau Fugazi. Dalam sejarah panjang musik populer di Amerika Serikat, band-band barusan kerap dikaitkan Revolution Summer—sebuah gerakan kultural punk yang timbul lantaran makin savage dan brutalnya skena hardcore di Amerika sana. Alih-alih memainkan hardcore yang macho lagi misoginis, pionir Revolution Summer merombak hardcore jadi lebih melodius, lebih inward-looking, dan lebih terbuka terhadap anasir-anasir non-hardcore seperti post-punk, noise rock, atau college rock.

Baca Juga:  Konser Dangdut Monata: Mengapa Ekspresionisme Mengungguli Automatisme

Oh ya, misal ada terminologi yang kelewat asing buat Mas, saran saya: minta staff ahli Mas saja riset dan jelaskan nanti. Jangan tanya Bapak. Bapak Mas mentok di metal.

Ok, lanjut ya Mas Gibran.

Vague menyadur DNA band-band itu—sebuah pilihan yang heroik mengingat 1st wave emo/post-hardcore/emotional hardcore[1] kurang menjual. Tak ayal, Vague berakhir sebagai band yang critically-acclaimed-tapi-commercially-ya-gitu-deh. Padahal, andai saja Vague legowo memainkan 3rd wave emo[2], dengan segala sumber daya dan kemampuan personelnya, bukan tak mungkin kita punya opsi ex-emo-kid-turned-actor/podcaster selain Onadio Leonardo.

Commercial success be damned-lah kalau kata personel Vague. Satu-satunya urgensi yang mendesak adalah merangkum krisis seperempat baya dalam satu album penuh.

Footsteps yang dirilis satu dekade lalu mampu memapatkan aneka gejala midlife crisis dalam 40 menit. Di track pertama sekaligus title track saja, kita sudah disuguhi betapa menyesakkannya dihinggapi kecenderungan merasa kecil dan gagal (I am a mistake that repeats itself). Lalu, masa depan yang kerap terasa kelewat buram kala umur nyaris masuk 30 muncul di track “A Giant Blur” (The world rushes its way in circle/Nothing is clear, it’s all a giant blur). Ennui gara-gara hidup bak terjebak dalam cul-de-sac? tersedia di “Untitled” (I would regress, I would confess. But there is no easy access toward progress).

Bagi sebagian orang—apalagi mereka yang cenderung memaksakan menarik segala kegamangan personal ke ranah yang lebih luas, penulisan lirik di sekujur Footsteps jelas bolong di sana-sini. Vague—sengaja atau tidak—meninggalkan musabab midlife crisis yang bisa bersifat personal, interpersonal, atau malah struktural. Vague membiarkan semua itu terjadi di belakang layar dan mengikhlaskannya jadi target empuk band-band yang socially conscious.

Cacat ini, Mas Gibran, justru punya efek menarik: Footsteps melampui rancangan awalnya sebagai cuplikan midlife crisis. Ia meluas menjadi senarai anthem kegamangan lintas kelas, gender dan usia. Alhasil, langkah-langkah kaki di lagu Footsteps bisa dibaca sebagai dengungan penganjur kebebasan finansial yang tone deaf di telinga pekerja bergaji UMR. Adapun perasaan tak cukup di ujung lagu “Inadequate” mampu menghantui siapa pun, dari orang tua yang galau akan tumbuh kembang anaknya, buruh perusahaan teknologi yang nyaris digusur Artificial Intelligence (AI), hingga seorang wapres baru saat hendak menggulirkan kebijakan berskala nasional.

Baca Juga:  Salah Tompo*: Memahami Praktik dan Pemaknaan Dangdut Koplo dalam Menggoyang Kemapanan

Loh, tapi kan saya savage orangnya. masa denger album yang liriknya rapuh gini?” Mas mesti ngedumel begitu, kan?

Betul Mas. Mengajak Mas yang savage mendengarkan Footsteps terasa kontra intuitif. Cuma, percaya deh Mas, setidaknya ada dua alasan kenapa Footsteps jika didengarkan dan diresapi betul justru akan “menyelamatkan” Mas Gibran di fase hidup berikutnya.

Vague. (Foto: NME).

Pertama, mendengarkan Footsteps bisa memperluas basis pendukung Mas. Begini, asumsikan kondisi saat ini ceteris paribus. Artinya, iman pendukung Mas konstan dalam kondisi apa pun. Maka, begitu publik tahu Mas menyimak Footsteps, Mas dapat mendaku sebagai figur muda yang peka akan kesehatan mental. Mas jadi punya landasan buat ngomong “Guys, biar saya anak presiden dan punya paman yang care banget, I feel you, kok.” Ini sepintas kelewat sederhana. Cuma, tolong jangan dianggap remeh loh ya. Belajar dari pangalaman Bapak Mas yang dapat simpati anak metal berbekal referensi band metal yang, well, basic[3], saya optimis Mas bakal menyerok follower baru dalam jumlah besar dengan cara serupa.

Enak, kan? Modal satu album doang, Mas bisa tetap mengamankan dukungan PSI (Partai Savage Indonesia) sekaligus pegang kendali REM TANGAN (Relawan Emo Muda Taat Arahan Gibran) 🙂

Kedua, ini yang lebih penting. Footsteps membantu Mas menjadi pribadi yang utuh. Savage bisa, sentimentil hayuk. Kedengaran sepele? Tapi justru ini modal penting buat Mas sebelum menjabat. Dari yang sudah-sudah, kutukan jadi manusia satu dimensi kerap menimpa kebanyakan wapres sebelum Mas. Misal: Ma’ruf Amin (kyai pendulang suara) atau Budiono (antek neolib). Amit-amit kalau Mas jadi kayak gini. Sayang Mas. Soalnya kalau cuma dikenang sebagai sosok Savage, mending Mas jadi juru parkir liar saja. Ongkos politiknya nihil!

Baca Juga:  Musik, Opium bagi Massa, dan Bagaimana Mengakalinya

Jadi, selamat mendengarkan Footsteps. Semoga bisa mendapatkan manfaatnya. Misalkan, sukur-sukur nih, Footsteps memantik semangat dalam diri Mas untuk memajukan kancah hardcore lokal, tolong berkabar. Saya siap dipasrahi jabatan Staf Ahli Wapres Bidang Hilirisasi Hardcore!

Ok Gaz, Maz?

Salam hilirisasi hardcore!

Manan Rasudi

Catatan: Naskah ini pertama terbit di Go Vague Yourself–zine yang khusus disusun untuk gig 10 tahun Footsteps. Diedit dan dimuat ulang demi memastikan ~Mas Gibran~lebih banyak orang membaca surat-terbuka-cum-naskah-komedi-tunggal-yang-nggak-lucu-lucu-amat-ini.

Tulisan yang dimuat dalam rubrik Kolom adalah opini pribadi penulis. Opini ini menjadi tanggung jawab pribadi penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi serunai.co


[1] Masalah penyebutan genre ini adalah ontran-ontran tanpa ujung di kalangan music nerd. Mending Mas abaikan saja. Buang-buang umur dan kelewat remeh buat seorang wapres.

[2] Contoh bandnya: My Chemical Romance, Taking Back Sunday, atau Fall Out Boys.

[3] Saking kesengsemnya anak metal sama Bapak, belum ada tuh yang berani nanya “Pak Jokowi kan lulusan kehutanan UGM, kok nggak dengerin Wolves In The Throne Room?”

Related posts

Sebuah Ingatan tentang Banda Neira

Michael H.B. Raditya

Siberut dalam Pergulatan

Zakharia Taufan

Mengapa Kangen Band Penting bagi Perkembangan Musik Populer Indonesia?

Irfan R. Darajat

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy