Artikel tentang Archa ini ditulis dengan dukungan ArtsEquator 2024 Fellowship
SEBELUM AJAL menjemputnya, Chalvin Jems Papilaya menitipkan pesan sederhana kepada teman-temannya: “Mari antar beta pulang ke Itawaka.”
Beberapa bulan setelah kematiannya, amanah itu ditepati. Selama dua hari penuh di penghujung September 2023, desa kecil di pesisir timur pulau Saparua, Maluku, itu merayakan kepulangan putranya. Teman-teman Chalvin, yang mengenalnya sebagai seorang penyair, ramai-ramai melayat ke Itawaka.
Di sana, mereka mementaskan ulang karya teaternya, membaca puisi-puisi karyanya, dan mengadakan serangkaian lokakarya untuk merekatkan anak-anak Itawaka dengan semangat Chalvin berkesenian. Rumah keluarga Chalvin dibuka untuk umum, dan barang-barangnya dipamerkan seperti relikui. Barangkali untuk mengimbangi suasana duka yang khidmat, seorang komika populer turut datang menghibur hadirin—berbagi kelakar dan ingatan baik tentang Chalvin.
Acara itu diadakan dengan restu keluarga Chalvin dan dimaksudkan sebagai perayaan kecil untuk hidup seorang yang besar. Di luar dugaan, ribuan orang datang ke Itawaka.

Ardelony Imlabla, akrab disapa Delon, berada di antara kerumunan tersebut. Seperti banyak orang lainnya, ia datang dengan kenangan tersendiri tentang almarhum. “Chalvin itu orangnya Maluku sekali,” ucapnya sambil terkekeh. “Tajam, seperti parang. Tapi jangan salah, tajamnya parang itu juga bisa untuk potong sayur dan kasih makan orang.”
Malam itu, Delon mesti menggalang Archa untuk tampil di Itawaka. Tanpa kehadiran Chalvin, salah satu pendiri dan vokalisnya, kelompok musik itu harus meminta bantuan beberapa penyanyi cabutan yang mempelajari repertoar mereka dengan sistem kebut semalam.
Di hadapan penonton yang menyesaki halaman baileo Itawaka, mereka bernyanyi dalam bahasa leluhur dan sahut-sahutan mantra. Pada akhir konser, setelah menyanyikan ulang sebuah doa memohon hujan dan berkah, gerimis mendadak turun dari langit.
****

ARCHA adalah ekspresi persahabatan Delon dan Chalvin—namanya saja singkatan nama mereka berdua. Namun, Archa juga menjadi ekspresi dari pencarian besar dalam kehidupan artistik dan personal satu angkatan pegiat budaya Maluku. Pencarian yang tak hanya mencakup keresahan pribadi mereka tentang kondisi kebudayaan Maluku saat ini, namun juga keresahan sebuah masyarakat yang menelusuri kembali identitasnya setelah dirobek oleh konflik dan ketidakpastian.
Cerita pertemuan mereka klasik. Panas setelah menonton sebuah konser di Ambon, Delon curhat kepada temannya—penulis Theoresia Rumthe—tentang keinginannya membuat musik yang “bisa jadi semangat baru.” Pada akhir tahun 2017, Theoresia mengenalkan Delon kepada seseorang yang “sudah seperti adiknya sendiri.” Orang itu adalah Chalvin, seorang penyair dan calon pendeta Protestan.
“Chalvin menawarkan materi yang sudah dia riset sebelumnya,” kenang Delon. “Dia cerita bahwa dia sering ke kampung-kampung sendirian. Kalau di kampung itu dia lihat ada masalah, atau dia dapat cerita dari orang-orang tua, dia akan catat dalam puisi. Tapi, puisi itu selalu dia tulis dalam bahasa asli kampung itu.”
Pengembaraan ini terjadi di tengah persiapan Chalvin menjadi pendeta. Seringkali dengan modal sendiri, Chalvin akan berkelana ke desa-desa terpencil di Pulau Ambon, Saparua, dan Seram. Hampir setiap desa yang ia kunjungi berjarak dari kehidupan modern. Desa-desa ini adalah tempat di mana ritual tua masyarakat Maluku masih bertahan—mulai dari tari-tarian, upacara pemberkatan kampung, hingga nyanyian yang menyampaikan kembali pesan-pesan leluhur.
Setiap tradisi ini punya satu benang merah: bahasa tanah, istilah untuk pusparagam bahasa leluhur di berbagai wilayah kepulauan Maluku yang menjadi bahasa pengantar ritual dan upacara. Ketertarikan Chalvin sebagai penulis dan penyair berubah menjadi obsesi terhadap bahasa tanah. Dalam buku catatannya, Chalvin menghimpun frase, mantra, dan puisi dalam bahasa tempat-tempat yang ia kunjungi. Bank puisi inilah yang ia boyong ke Ambon, dan dipresentasikan pada para bakal personel Archa.

Jemy Radjabaycolle salah satunya. Seorang produser musik elektronik dan multi-instrumentalis, sejak SMA ia aktif di berbagai sanggar seni yang khatam membedah kesenian tradisional Maluku. Hanya saja, meski dikenalkan dengan berbagai instrumen tradisional, tari-tarian daerah, dan syair tua, Jemy tetap merasa berjarak sebab ia tak memahami bahasa tanah—bahasa pengantar kebanyakan repertoar kesenian Maluku.
Mulanya ia pikir jarak ini terjadi sebab ia keturunan migran asal Kalimantan yang tak familier dengan bahasa-bahasa leluhur Maluku. Baru kemudian ia sadar bahwa teman-temannya yang konon “asli Maluku” juga tidak paham dengan bahasa tanah. Maka ketika Delon, Chalvin, dan Arth Wainfitu (seorang kolaborator yang lantas undur diri sebelum memulai proses rekaman) membentuk Archa pada Oktober 2021, Jemy tak ragu bergabung sebagai produser.
“Kami tidak seperti orang Jawa yang setiap hari bicara bahasa daerahnya. Di Ambon, yang tersisa hanya dialek Melayu Ambon,” ujar Jemy. “Sehingga ada keresahan leluhur di bahasa tanah yang tak tersampaikan pada kami, generasi muda.”
Weslly Johannes, seorang penulis dan salah satu kolaborator rutin Archa, menilai bahwa keberjarakan ini sudah dimulai sejak masa kolonial. Ketika pedagang Portugis, Melaka, dan Belanda singgah di Ambon untuk mengakses himpunan pulau rempah-rempah di gugus kepulauan Maluku, mereka memboyong bahasa Melayu sebagai lingua franca di pasar dan pelabuhan.
Perlahan, ujar Weslly, bahasa Melayu dan penuturnya dianggap “punya status sosial yang tinggi”, sebab ia lekat dengan pemain-pemain besar dalam politik rempah dan kolonialisme. Memasuki era modern, dialek Melayu Ambon—sebuah bahasa creole yang mencomot pengaruh beragam bahasa di Ambon—berangsur muncul sebagai bahasa tutur utama.
“Faktor kedua adalah gereja,” kata Weslly. “Ketika gereja mulai masuk ke kampung-kampung di Maluku, mereka mempromosikan pendidikan dalam bahasa Melayu. Gereja tidak percaya pada orang Ambon dan Saparua yang sudah masuk Kristen tapi masih bicara bahasa tanah, karena mereka dicurigai berkaitan dengan kepercayaan lama.”
Hubungan antagonistik antara gereja dengan penutur bahasa tanah ini berujung pada anekdot yang ganjil. “Terutama di Maluku Tengah, kampung-kampung Kristen umumnya sudah tidak menguasai bahasa aslinya,” tutur Weslly. “Sementara kampung yang Islam rata-rata masih kuasai bahasa aslinya, karena dulu Belanda tidak pernah kasih pendidikan khusus untuk masyarakat yang Muslim.”
“Seharusnya ada momentum di mana semua orang bisa mendengar dan mengenal bahasa tanah, tapi momentum itu biasanya berupa upacara seperti cuci kampung, cuci perigi, atau pemotongan pohon untuk bikin perahu,” ungkap Theoresia Rumthe, penulis dan salah satu kolaborator Archa. Ketika Ambon bertumbuh dari pelabuhan rempah menjadi kota yang kosmopolitan, ruang untuk mengamati, mengalami, dan mengamalkan bahasa tanah semakin berkurang.
“Kami seolah tidak punya kepentingan dan kedekatan dengan ritual-ritual tersebut,” lanjut Theoresia. “Akhirnya masyarakat cukup menggunakan bahasa yang dipakai di pasar-pasar.” Tari-tarian, syair, dan nyanyian lama masih lestari di sanggar-sanggar perkotaan. Namun, tanpa pemahaman tentang bahasa tanah, filosofinya kerap tidak dimengerti masyarakat.
Usai digusur dari perkotaan, dipermalukan di perkampungan, dan dipudarkan dari sanubari masyarakat, bahasa tanah seolah sungguh-sungguh kembali mengubur diri dalam tanah. “Narasi-narasi tua ini hidup secara sporadis. Dia masih ada di kampung-kampung tertentu, tapi ceritanya dijaga dengan tabu,” tutur Weslly. “Cerita-cerita lama ini dianggap sejarah suci, jadi baru pada momen-momen tertentu dia bisa diceritakan. Itu pun tidak mengalami proses pendokumentasian dan pencatatan.”
Barangkali muak diperlakukan seperti pariah, penutur bahasa tanah balas memperlakukan orang-orang Maluku modern dengan curiga. “Saya enggak otomatis bisa duduk di ritual kampung-kampung itu, karena saya bukan orang asli kampung sana,” ucap Weslly. “Perlu prosedur agak panjang dulu. Harus bicara dulu sama Dewan Adat di sana, harus minta izin.”
Bahasa tanah, kisah Weslly, berlindung di balik “sekat-sekat” sosial yang membatasi akses kepada orang-orang di luar kampung tersebut. Perlahan, pesan-pesan leluhur yang dibalut dalam bahasa tanah memudar menjadi semata mitos dan folklor.

Berhubung gereja turut menumpas kedigdayaan bahasa tanah, ada ironi tersendiri bahwa proses ini justru diretas oleh Chalvin, seorang calon pendeta. Selagi menunggu menjalani masa vikariat—masa pendidikan dan pengabdian sebelum seseorang ditahbiskan menjadi pendeta—Chalvin memutuskan untuk mengembara ke kampung-kampung dan mempelajari bahasa tanah secara mendalam.
Seorang kawan mengajaknya tinggal di kampungnya di negeri Ulahahan, pulau Seram, Maluku. Di sana, Chalvin mengembangkan pola kerja yang ia ulangi di kampung-kampung lainnya. Ia akan datang, berkenalan dengan orang-orang, lantas mengendap di sana selama berbulan-bulan.
“Modelnya jodoh-jodohan juga, karena Chalvin bukan tipe orang yang suka nyosor begitu saja,” kenang Weslly. “Caranya pelan-pelan, dan ada kelihaian tertentu dari pendekatannya. Dia tinggal di kampung-kampung itu beberapa bulan dan kalau tidak jodoh, dia tidak paksa. Tidak ada target juga, toh?”
Pengembaraannya menghasilkan sehimpun puisi dan lirik, yang kerap kali terinspirasi, atau bahkan mengutip secara terang-terangan dari syair lama, petuah tetua adat, dan potret kehidupan di kampung-kampung terasing itu. Dari negeri Ulahahan, misalnya, ia memperoleh “Ten” (Tangis). Ditulis dalam bahasa Teuwa, bahasa tanah dari Ulahahan, “Ten” adalah ratapan dari tetua adat yang menyesali keberjarakan masyarakat dengan leluhur dan kepercayaan-kepercayaan lama.
Sebelum berangkat untuk masa vikariat, Delon meminta Chalvin datang ke studio di Ambon untuk merekam vokal. Ketika syair-syairnya beralih matra menjadi musik, Archa menantang diri untuk tidak berperilaku terlalu ortodoks tentang pendekatan kekaryaannya.
“Ten” memang dari pulau Seram, tapi bukan berarti kami ambil mentah-mentah cara bernyanyi dari daerah sana,” tutur Delon. “Kami tidak mewajibkan harus pakai instrumen khas wilayah sana. Rasanya kami pertahankan, tapi kami coba bikin ritme sendiri.”
Dalam hal ini, Delon dan Jemy membujuk Chalvin untuk bertentangan dengan pakem. “Kami ingin Archa jadi sesuatu yang baru. Kami sepakat bahwa ini soal bahasanya,” ucap Delon. Alih-alih memboyong segudang alat tradisional dari Ulahahan dan menjiplak gaya menyanyi pulau Seram, Delon dan Jemy justru bereksperimen dengan bebunyian elektronik, perkusi, dan alat musik tiup yang terbuat dari taring babi.
Sebagai produser dan multi-instrumentalis, Delon juga berperan memboyong Chalvin keluar dari zona aman musikal. “Awalnya, Chalvin mau bikin lagu sesuai kampungnya, dan karena lirik “Ten” bersedih, dia bernyanyi dengan nada-nada minor,” kenang Delon. “Saya coba arahkan dia untuk mementahkan teori bahwa lagu sedih itu harus nada minor. Dalam banyak ruang, dia harus berani berteriak, atau bermain dengan nada-nada mayor.”
Secara musikal, Archa berkelana ke wilayah genre yang jarang diusik oleh musisi lainnya di Ambon. Tak seperti stereotip musik Ambon yang rancak dan mengajak berdansa, mendengarkan Archa justru menuntut kita untuk bersabar. Dentum downtempo, sahut-sahutan mantra yang khidmat, dan soundscape mereka yang lapang menyentuh teritori ambient, post rock, dengan sedikit bumbu trip hop. Pertunjukan mereka, yang kadang dipadukan dengan olah tubuh dan pembacaan mantra, lebih mirip ritual yang diboyong ke konteks modern ketimbang penampilan musisi kontemporer pada umumnya.
Setelah rekaman dan tampil perdana di Rempah Gunung—serial konser mandiri yang selalu diadakan di tempat tak terduga, misalnya di halaman katedral—layar mulai terkembang untuk Archa. Namun, belum juga “Ten” rampung dikerjakan di studio, kabar buruk datang dari Saparua. Chalvin sakit keras, dan sepertinya ia tak akan selamat.
Pada pertengahan tahun 2023, Chalvin wafat. Usianya baru 31 tahun.
****

SETELAH kematian Chalvin, Archa kehilangan separuh jiwanya. Kegelisahan Jemy dan Delon tentang makna yang terputus dalam musik Ambon tidak lagi disokong oleh gunungan riset dan pemahaman intim Chalvin tentang bahasa tanah. Namun, mereka tidak pernah mempertimbangkan untuk bubar. Justru, seniman-seniman lainnya di Maluku bersepakat secara tidak langsung untuk mewarisi dan memperluas semangat Chalvin.
Archa seolah berubah menjadi rumah yang disinggahi banyak orang. Pengkarya dari berbagai matra kesenian, mulai dari musisi hingga sastrawan seperti Theoresia dan Weslly, mulai merapat sebagai musisi cabutan, kolaborator di satu-dua lagu, bahkan personel permanen. Archa berevolusi menjadi lebih serupa kolektif seni, ketimbang sebuah band yang berkibar sendiri.
Evolusi ini selaras dengan bangkitnya ketertarikan seniman-seniman Maluku terhadap budayanya sendiri. “Teman-teman lain, terutama di ranah sastra, mulai mencoba mengkomunikasikan karyanya lewat dialek Melayu Ambon sembari menyisipkan beberapa istilah dari bahasa tanah,” ungkap Theoresia. “Di antara teman-teman seniman, ada upaya mencari titik putus antara bahasa tanah dengan bahasa yang ada di kota ini sekarang.”
Tak sedikit dari seniman tersebut yang menggali pada tradisi untuk menggugat identitas orang Maluku. Setelah robohnya Orde Baru, Ambon menjadi titik nol konflik sektarian yang menewaskan ribuan orang. Selama tiga tahun, kampung dan saudara baku bunuh dalam pertempuran yang tak mengenal jeda. Masa kecil Chalvin, Weslly, Delon, Theoresia, Jemy, dan seniman muda lain di angkatan mereka dibentuk oleh tahun-tahun pembunuhan itu. Sedangkan masa muda mereka dinaungi oleh bayang-bayang warisan konflik dan perdamaian yang perih.
“Memang ada kebangkitan kesadaran budaya pascakonflik,” ujar Weslly. “Setelah dibawa masuk ke dalam kekacauan, orang mencari-cari siapa dirinya dan untuk apa dia ada di dunia. Kami kembali ke kebudayaan dan berharap bisa menemukan sesuatu.”

Pencarian ini tidak sekadar didorong oleh romantisme tentang masa lampau yang berjarak, di mana Maluku damai sejahtera dan semua orang saling akrab. “Kami sebenarnya mempertanyakan orang Maluku itu kayak apa,” ucap Weslly. “Pernah terjadi konflik besar, dan di dalamnya orang-orang Maluku sendiri yang melakukan. Kok bisa kami bunuh-bunuhan? Jadi ada pertanyaan besar terhadap kami sebagai orang Maluku, dan bagaimana kami seharusnya memperlakukan satu sama lain.”
Gelombang baru riset dan ketertarikan terhadap instrumen musik tradisi, ritual-ritual kuno, dan belakangan bahasa tanah, didorong oleh pencarian bersama tentang apa yang “seharusnya mereka pegang sebagai jati diri.” Namun, meski generasi mereka adalah generasi pertama yang memiliki privilese untuk membedah traumanya melalui lensa kebudayaan, bukan berarti mereka nyaman mengkonfrontir luka batinnya sendiri.
Theoresia membagikan anekdot seorang seniman dan kolaborator yang susah payah melawan gangguan stress pascatrauma (Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)) dalam kehidupannya sehari-hari. Seniman yang tak ingin disebutkan namanya ini masih hampir saban malam bermimpi buruk tentang “orang-orang kampung yang ia bunuh”, dan hal itu memengaruhi praktik kesenian maupun kehidupan pribadinya. Ambon, menurut Theoresia, tinggal di antara ekses trauma yang “tidak pernah betul-betul sembuh.”
“Ambon adalah teluk. Ia kota yang menghisap. Lalu ketika air pasang tiba, teluk akan memuntahkan semua sampah yang selama ini ia simpan,” tutur Theoresia. “Tubuh kami ini juga tubuh yang seperti teluk, yang menghisap luka, duka dan trauma. Kami cuma menanti air pasang. Nanti pada masanya, semua sampah-sampah dalam diri kami ini akan keluar.”
Energi, optimisme, dan keceriaan meluap-luap yang tampak di permukaan kota Ambon sebetulnya menyembunyikan trauma mendalam. “Ruang katarsis kami adalah hidup ugal-ugalan,” kata Theoresia. “Di kota ini kamu bisa merasakan ada kekosongan di dalam diri orang-orang. Apalagi ketika kamu berjalan dan kamu menemui mereka sedang beramai-ramai minum, berjoget-joget di depan jalan, atau membunyikan knalpot motor kencang-kencang.”
Tak sedikit yang menganggap ini bentuk dari sifat ekspresif orang Ambon atau perangai wajar darah muda. “Tapi aku justru melihatnya sebagai penanda bahwa ada sesuatu yang tidak pada porosnya. Kami pikir kami baik-baik saja, tapi ternyata tidak. Ada suara dan luka yang selama ini sengaja kami timbun dan tutupi, dan itu muncul secara tidak sadar dalam diri orang-orang,” ucap Theoresia. “Orang-orang di kota pascakonflik memang begitu. Seolah ada yang tercerabut dalam diri kami, dan kami mencoba mencari hal itu lagi dalam bentuk apapun.”
****

SEDIKIT banyak, cerita Archa adalah cerminan dari cerita Ambon itu sendiri. Kematian, sesuatu yang sebenarnya tidak dapat dihindari, memaksa mereka untuk bertransformasi. Tantangan mereka adalah untuk berubah dan menanggalkan kulit lama, tanpa meninggalkan hal-hal yang baik dari masa silam.
“Di lagu “Ten”, kami bernyanyi sebagai manusia yang menangisi sesuatu yang dulu ada, namun kini ditinggalkan,” ucap Jemy. “Orang Maluku itu dulu kalau makan selalu sambil duduk bareng-bareng, dan di sana nasihat tetua disampaikan dalam bahasa tanah. Sekarang orang sibuk makan sendiri-sendiri. Momen saling berhadapan dan interaksi itu sudah hilang.”
Setelah meratapi yang telah hilang, kini Archa ingin menantang narasi kekerasan yang merenggut perdamaian mereka. Pada karya terbaru mereka yang masih dalam proses rekaman, mereka meramu lagu dari puisi karya Weslly. Lagu tersebut, yang masih belum diberi judul, menggunakan simbol-simbol dalam sajian tarian perang Cakalele sebagai metafora untuk relasi manusia dengan kekerasan dan konflik.
“Cakalele adalah contoh bagaimana kesenian menjadi jalan untuk mentransformasi kekerasan,” tutur Weslly. Melalui lagu terbaru ini, Archa membedah makna dari simbol “ofensif dan defensif” yang digunakan dalam ritual tarian Cakalele—mulai dari sahut-sahutannya yang agresif, hingga azimat gigi anjing dan bulu ayam yang digunakan para pemimpin perang.
“Makna yang ingin kami sampaikan adalah kapan kita sebagai manusia harus defensif—harus bertahan dan punya sikap—dan kapan kita harus ofensif, harus mendorong sesuatu dan gencar,” pungkas Weslly.

Setelah merampungkan lagu bersama Weslly, mereka berniat untuk sowan ke kampung halaman Delon di kampung Tela-Tepa, pulau Babar, Maluku Barat Daya. Di sana, mereka akan mendekam selama beberapa bulan untuk meresapi tradisi-tradisi bahasa tanah. Istilah yang mereka gunakan saat menggambarkan rencana ini—riset wawancara, pendalaman—lebih mirip rancangan penelitian antropolog ketimbang agenda bermusik sebuah band. Tetapi metode inilah yang mereka warisi dari Chalvin, meski kini mereka mulai mengeksplorasi repertoar baru.
Archa, tutur Delon, menghubungkan kembali masyarakat Maluku dengan “pesan leluhur yang hilang dari musik dan kehidupan” mereka. Namun, lebih dari itu, Archa memberikan ruang bagi duka dan keresahan identitas yang bersemayam dalam hati setiap orang Maluku untuk tumbuh dan gugur secara alamiah. Ia berkembang menjadi ruang katarsis yang melegakan, dan ruang perenungan yang langka.
Penulis: Raka Ibrahim
Editor: Idha Saraswati