“Baby….. baby Corona”, seorang laki-laki Afrika berteriak sambil menunjuk jari ke arah dua orang perempuan Indonesia yang sedang mengantre kebab di sudut kota Humburg.
Pekan kemarin, suasana sore di kota Humburg, Jerman, mulai ramai. Kebijakan pembatasan sosial untuk mengurangi penyebaran Covid-19 di Jerman mulai dilonggarkan. Beberapa aktivitas di negara bagian kembali normal. Dua teman saya, pekerja Indonesia di Jerman, segera memanfaatkan kondisi ini untuk menikmati keindahan Humburg.
Sejak sampai di Jerman medio Februari 2020, mereka berdua belum sempat menikmati suasana Jerman. Setelah berkeliling ke beberapa taman kota, dan jalanan, menikmati keindahan “kota harapan” Humburg. Sore itu, dua perempuan Indonesia memutuskan mengekor antrean di kedai Kebab, milik seorang Turkish.
Mayoritas antrean dijejali orang kulit putih. Di antara antrean, posisi dua perempuan Indonesia itu jelas sangat mencolok. Mereka berdua datang dari negara berkembang, berkulit berwarna, berpostur tubuh berbeda dengan pengantre mayoritas kulit putih lainnya.
Mendekati antrean, sesuatu yang tak terduga terjadi. Laki-laki Afrika di seberang jalan itu berteriak sambil menunjuk dua perempuan Indonesia “ baby…baby Corona”. Sontak kedua perempuan itu terkejut.
Terdiam beberapa saat, sempat muncul amarah. Lalu, beberapa menit kemudian laki-laki Afrika itu mengarahkan telunjuknya ke dirinya sendiri. Sambil berjoget lelaki Afrika itu berteriak “ I am Ebola…ebola”.
Dua perempuan Indonesia yang tadi menahan amarah, kini tertawa terpingkal-pingkal. Beberapa laki-laki dan perempuan kulit putih yang sedang antre memesan kebab memandang dengan mata kosong. Adegan sesama orang kulit berwana dari negara bekas jajahan ini, bisa jadi amat asing bagi sekelompok orang kulit putih.
Corona yang mengglobal bersama sentimen rasial
Kisah di atas adalah kejadian nyata yang terjadi beberapa hari lalu. Dua teman saya, pekerja Indonesia di Jerman menceritakan kejadian itu saat kami bertukar kabar lewat sambungan video.
Hidup terasing di negara orang lain pada masa pandemi Covid-19 tidak mudah. Bayangan dua orang teman saya menjajaki kemungkinan pekerjaan lebih baik di negeri orang, tiba-tiba buyar. Dua minggu setelah sampai di Jerman, mengurus berkas tinggal, dan pekerjaan, Jerman menetapkan lockdown di hampir semua negara bagian. Pekerjaan yang mereka dambakan untuk sementara waktu ditunda. Semua harus berdiam diri di rumah masing-masing.
Peribahasa “lebih baik hujan batu di negeri sendiri, daripada hujan emas di negeri orang lain”, tidak berlaku. Semua negara sedang “hujan batu” akibat Covid-19.
Para pekerja migran harus merasakan cemas yang berlapis-lapis. Mereka mengahawatirkan kondisinya sendiri, terasing di tengah Pandemi. Tetapi, juga terpikir kondisi keluarga dan sanak di Indonesia.
Selama di Jerman, mereka mengamati lamban dan sembrononya pemerintah Indonesia mencegah persebaran Covid-19. Mereka mencemaskan keluarga, teman dan saudara yang ada di Indonesia.
Di tengah pandemi Covid-19, tinggal di negara maju mapun negara berkembang, hampir sama saja rasanya. Orang Eropa mungkin bisa sedikit tenang sebab pemerintahnya merespon cepat kondisi pandemi global Covid-19.
Ketenangan orang Eropa tidak lantas membuat hidup orang lain (the others), mereka yang bukan Eropa, tetapi hidup di Eropa, merasa tenang juga. Kita terlanjur hidup di dunia yang serba baur. Di situlah, ketakutan yang berlebihan bisa menghasilkan tindakan rasial, semacam mengidentikkan orang Asia sebagai pembawa virus Covid-19.
Ada proses rasialisasi terhadap virus. Gumpalan DNA/RNA bersalut protein itu kini harus ditempeli kategori politik tertentu. Singkatnya Covid-19, harus memiliki warna kulit. Sialnya, sebagaimana kemunculan pertamanya di China, kini virus ini diberi warna kulit berwarna khas orang Asia.
Lain dari dua teman saya yang tinggal di Jerman, satu orang Asia lain yang tinggal di Eropa bercerita pada saya. Dia pernah dipanggil Corona, oleh seorang kulit putih, ketika sedang berada di apotek.
Para eksil ini hidup di antara dua kaki. Satu kaki menapak di daratan Eropa yang menjanjikan, sementara kaki satunya menapak di antara kecemasan orang Indonesia.
Corona telah diidentikkan dengan orang Asia. Sebagaimana, beberapa tahun sebelumnya Ebola identik dengan orang Afrika. Superioritas Europesentris, adalah akar sentimen rasial yang tumbuh dan menjadi masalah umat manusia selama berabad-abad.
Sejak abad pertengahan orang Eropa pernah dengan bangga menganggap dirinya paling istimewa. Kebanggaan inilah yang nanti di kemudian hari melahirkan kolonialisme. Filsuf Immanuel Kant pernah menulis begini dalam salah satu risalahnya tentang kebangsaan, “bangsa terbaik adalah bangsa Prusia”.
Bukan kebetulan juga ketika 1784 Kant menulis risalah What is Enlightenment? Saat itu beberapa kilometer dari rumahnya, budak-budak kulit hitam dari Afrika mulai masuk ke Eropa. Benedict Anderson mencatat momen historis ini sebagai jejak pertama kali migrasi budak kulit hitam ke Eropa.
Bagaimana mungkin orang sekelas Immanuel Kant, penganjur awal kosmopolitanisme—walaupun dalam versi sangat elitis—secara serempak adalah seorang yang rasis? Tetapi, begitulah peradaban kita berusaha dimonopoli narasi Europesentris.
Walaupun virus corona dan penyakit Covid-19 mengancam siapa saja, tidak peduli warna kulit, status sosial, kemampuan ekonomi, jenis kelamin, kewarganegaraan, dan lain-lain. Tapi, manusia sepanjang sejarah terlanjur memberi makna rasial pada bentuk-bentuk fenomena biologis.
Selama perang dunia kedua, Nazi melakukan riset eugenik. Tujuannya untuk menyeleksi dan mengelompokkan bentuk biologis manusia unggul ras Arya. Dan kemudian melegitimasi kekerasan rasial terhadap manusia non-arya.
Di Indonesia, kolonialisme Belanda membagi martabat manusia beradasarkan tiga ketegori ras; Eropa, Timur Jauh, Pribumi. Sentimen anti Tionghoa hari ini juga masih berurat dan mengakar dalam kehidupan orang Indonesia.
Ironis, di satu sisi globalisasi memampatkan jarak spasial. Mengaburkan definisi tempat dan geografi. Akan tetapi, di sisi lain, globalisasi tetap kukuh mengkategorikan manusia dalam kotak-kotak stigma rasial, agama, jenis kelamin, dan lain sebagainya.
Kita mewarisi sirkulasi hidup global bersama arus pekat godaan-godaan untuk menjadi rasis.
Melawan corona, menaklukkan globalisasi yang rasialis
Hari ini globalisasi muncul dan dirasakan dalam pengalaman keseharian melalui dua bentuk. Pertama, globalisasi sering diutarakan oleh berbagai rezim nasional maupun global dalam nada yang positif. Perkembangan ekonomi multinasional, bonus demografi, akses pada pekerjaan yang semakin luas, perkembangan teknologi, digitalisasi, dan otomasi yang memudahkan manusia, sampai demokratisasi politik lintas kawasan.
Kedua, globalisasi memunculkan lema-lema yang bernada mengancam. Global terrorism, global refuges, global economic risk and crisis, global capitalism, global inequality, dan lain-lain. Setiap dekade punya ketakutan globalnya masing-masing; kini kita di hadapan Global Covid Pandemic.
Tipikal pertama dari pengalaman globalisasi yang positif jarang hadir bagi mayoritas orang di dunia selatan (global south), negara nasional bekas jajahan. Bagi mereka yang kalah di negara berkembang: orang miskin, minoritas politik, seksual, pengangguran urban, penduduk rural, dan lain-lain. Perasaan menjadi warga global justru semakin nyata sejak hidup harian mereka diancam berbagai malapetaka yang disirkulasikan secara global, termasuk corona.
Kita yang belum pernah, atau minim melakukan perjalanan lintas wilayah, mungkin tidak akan mengenal kota Wuhan di China. Tidak tahu sistem perumahan orang-orang di Italia ketika masa karantina. Tidak paham gejolak politik bertahun-tahun di Lebanon, sementara mereka juga harus menghadapi pandemi global corona.
Virus ini memperluas imajinasi global kita. Tapi, sebagaimana ditegaskan teoretikus globalisasi Arjun Appadurai, imajinasi dan angan-angan saja tidak pernah cukup. Ia harus dipahami dan diaktulisasikan sebagai praktik sosial, sebab hanya imajinasi as social practice itulah satu-satunya alat bagi orang kalah di dunia ketiga untuk mengalami dan membajak globalisasi yang terlanjur bias Eropasentris.
Bagaimana imajinasi sebagai praktik sosial mampu menyemaikan bibit solidaritas di tengah pandemi? Mungkin ini pertanyaan yang terlalu abstrak,tapi bukan berarti tidak bisa diterjemahkan dalam level tindakan.
Kini ketika kita tahu bagian-bagian terkecil dunia yang semuanya diancam Covid-19. Kini juga saat yang tepat untuk mengasah rasa merasa kita bahwa; semua orang saja saja, dan virus corona, atau ebola sekalipun tidak punya warna kulit.
Kini, setiap ras terancam oleh pandemi corona. Solidaritas lintas ras,bangsa, etnis, agama dll, justru ditantang untuk bisa terus eksis. Orang Afrika yang memanggil teman saya Baby Corona, dan menunjukkan dirinya sendiri sebagai Ebola, adalah potret ironis sentimen rasial yang selama ini dialami orang kulit berwarna.
Kejadian yang dialami teman saya itu adalah sebuah humor politik. Gabungan antara diskriminasi yang sudah dialami bertahun-tahun, kekecewaan atas keadaan hari ini, berpadu dengan sensitivitas rasa merasa dan kecerdasan politik yang mumpuni. Humor semacam ini tidak akan lahir dari orang yang selama hidupnya berada dalam posisi kelas sosial-politik dominan.
Saya tidak bisa menebak kerumunan orang kulit putih yang melihat adegan cerita ini berpikir seperti apa. Mungkinkah mereka merasa bersalah? Bertahun-tahun secara tidak sadar mereka mendefinisikan dan mengobjekkan orang-orang kulit berwarna dari negara bekas jajahan.
Berbagai pemerintahan nasional, termasuk Indonesia sering menyatakan globalisasi adalah peluang ekonomi, politik, dan budaya. Jika di tengah kondisi normal kita kesulitan membongkar busuknya berbagai slogan di atas. Kini dalam kondisi Covid-19, kebusukan slogan globalisasi yang elitis itu terbongkar pelan-pelan.
Globalitas corona sudah seharusnya menjadi tunjuk ajar untuk berpikir ulang betapa rapuhnya, konsep-konsep tentang keunggulan rasial, kedaulatan wilayah, kedaulatan politik, keunikan identitas, dan lain-lain. Dalam kondisi normal, negara mungkin memang bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk dari globalisasi. Akan tetapi, dalam kondisi pandemi Covid-19 ini pilihan itu tidak ada.
Investasi multi-nasional yang kita bayangkan akan mampu membuka peluang kerja, kini bisa jadi transmisi virus lintas kawasan. Nasionalisme yang sering kita terjemahkan dalam slogan-slogan politik tentang ketahanan kawasan, kebanggan rasial, kemandirian nasional, ternyata kosong belaka. Keunggulan rasial orang Eropa, mau dipertahankan dengan cara apalagi ketika Italia, Jerman, Inggris dan negara Eropa lainnya kewalahan menghadapi virus corona yang tidak punya warna kulit ini.
Di tengah kekalutan global paling gampang memang memanggil kembali sentimen rasial. Merasialisasi virus identik dengan sekelompok orang dari wilayah tertentu. Tapi cara seperti ini jelas adalah bentuk kemassalan berpikir yang tanpa tedeng aling-aling.
Globalisasi dan pertukaran lintas kawasan sejak semula memungkinkan kehidupan dunia abad ini tidak bisa diisolasi dalam batas-batas politik tradisional. Tanpa kolaborasi lintas ras, kelas dan kawasan, tanpa komitmen politik bagi mereka yang rentan, globalisasi akan hadir dalam keseharian kita lewat wajah ketakutan yang mengancam siapa saja.
Sudah bukan waktunya berpikir bertahan dalam kondisi krisis global Covid-19 ini untuk diri sendiri dan kelompok kita. Sebagimana seorang Afrika yang memanggil solidaritas dua perempuan Indonesia di Jerman lewat humor politik yang tajam.
Langkah pertama mungkin kita harus mencari celah politik untuk menertawakan segala konsep tradisional kebanggaan rasial, agama, etnis, negara, bangsa, dan lain-lain yang pernah tinggal lama dalam benak kita. Bahwa itu semua kosong belakang sebenarnya.
Jika mereka yang miskin dan kelompok rentan terjangkit virus ini, segala kebanggan rasial, kekayaan, kedaulatan bisa habis ditelan ancaman ketakutan. Ketika Covid-19 menyebar dan mengancam siapa saja, apapun warna kulit kita bisa dibajak oleh virus ini.
Jika kita ibaratkan virus ini akan memiliki banyak warna kulit. Lalu akankah kita masih mengategorikan Covid-19 berkulit putih lebih ganas dari Covid-19 berkulit berwarna?
Tulisan yang dimuat dalam rubrik Kolom adalah opini pribadi penulis. Opini ini menjadi tanggungjawab pribadi penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi serunai.co