Serunai.co
Ulasan

Orang-Orang Gembel Perumahan dan Pujian atas Karya DOM 65

dom 65
Album Gembel Perumahan Karya Dom 65 (Foto: Tokopedia)

Tentang grup band punk DOM 65 dan EP mereka Gembel Perumahan

Prakata

Marie, this station is playing every sad song, I remember like we were alive,” terdengar ketika laptop saya mulai memutar lagu acak. Saya tidak asing dengan liriknya, tetapi dinyanyikan dengan format akustik ternyata membuat saya setidaknya pangling.

Lagu akustik, saya pikir, memiliki kekuatan yang berbeda dengan lagu-lagu lain yang dimainkan dalam format penuh. Saya rasa akan membutuhkan tulisan yang lebih panjang untuk menguraikan keistimewaan yang dimiliki oleh lagu-lagu akustik. Saya malah jadi teringat salah satu tulisan Soni Triantoro dalam bukunya Musik Protes: Kilas Sejarah dan Studi Pendengar (2022)  yang menggambarkan semangat partisipatoris gerakan pekerja Amerika Serikat medio ‘60an. Lagu-lagu dalam format akustik menemani gerakan tersebut.

Tulisan ini juga berhubungan dengan proses eksplorasi saya akhir-akhir ini, terlebih saya dipertemukan dengan rilisan-rilisan menarik dalam proses ini, termasuk lagu yang dimainkan secara akustik. Saya pun mulai mencari rilisan (dalam dan luar negeri) yang baru atau telah direndisi dalam format akustik.

Ketertarikan saya pada format akustik –juga yang mendorong saya untuk membuat tulisan ini– dipicu oleh satu pengalaman spesifik dengan pemutar musik digital saya. Dalam sebuah rangkaian trek acak yang mayoritas diisi oleh lagu-lagu berformat penuh, muncul satu trek akustik yang buat saya memiliki nuansa distinct. Vokalnya menggema, liriknya satir tanpa tedeng aling. Trek tersebut adalah “Orang-orang” oleh DOM 65, trek pembuka dalam EP Gembel Perumahan.

Format akustik semacam ini–yang dilekatkan di tengah koleksi instrumen penuh–bisa memberikan sentuhan yang lebih personal dan introspektif. Dan melalui perspektif ini, saya mendapati adanya keinginan untuk menggali trek ini lebih dalam. “Orang-orang”, tidak hanya berhasil dalam menyampaikan esensi akustik, tetapi juga memberi sorotan pada kondisi-kondisi sosial-ekonomi yang terjadi di Yogyakarta secara tajam. 

Penelusuran

Penelusuran ini menempatkan saya kepada beberapa band merendisi lagu yang sudah ada ke dalam bentuk akustik, lalu menyertakannya pada album yang berbeda. Bad Religion melakukan hal ini pada lagu “Sorrow” (2002), rendisi akustik dari lagu tersebut dimasukkan dalam album New Maps of Hell: Deluxe (2007).  Hal semacam ini juga dilakukan oleh band lain, seperti The Gaslight Anthem yang malah menyertakan rendisi akustik mereka pada album khusus. Oh, saya hampir saja menulis “Good Riddance” (1997), ketika justru Green Day sudah melakukannya di album pertama mereka; pada lagu “One For the Razorbacks” di album 1,039/Smoothed out Slappy Hours (1991).

Sejauh yang saya ketahui juga, pembawaan lagu secara akustik dalam sebuah album punk telah ada setidaknya sejak Hüsker Dü “Hardly Getting Over It” dan “Too Far Down” dalam album Candy Apple Grey (1986). Kedua lagu itu mereka sematkan di tengah-tengah album, diapit oleh lagu lain yang dimainkan dengan sound penuh khas Hüsker Dü. Menarik untuk disimak, album ini memiliki tiga lagu akustik, satunya lagi adalah lagu dengan instrumen latar piano berjudul “No Promise Have I Made”.

Baca Juga:  Membaca Setelah Boombox Usai Menyalak

Rendisi akustik kerap disematkan di tengah maupun menjadi penutup sebuah album (malah ada yang dijadikan sebagai trek tersembunyi di album versi deluxe), namun menjadikan komposisi akustik sebagai pembuka album (punk)? Ini pertama kali saya menemukannya, dan pilihan menjadikan lagu akustik sebagai pembuka adalah penyumbang lain bagi saya untuk semakin menyukainya.

Setelah mengamati bagaimana band-band lain (luar) menghadirkan rendisi akustik, saya merasa perlu membawa eksplorasi ini kembali ke ranah lokal. Semua yang ditawarkan oleh rilisan-rilisan akustik ini menjadi salah satu motivasi saya untuk mendalami kembali diskografi musisi lokal. Yang di dalamnya termasuk DOM 65, yang buat saya memiliki relevansi yang signifikan dalam menggambarkan dinamika di Kota Yogyakarta.

Mendengarkan secara retrospektif

Tiga bulan belakangan, saya mulai mencoba menggali lagi rilisan dari kota saya, Yogyakarta, yang belum pernah saya temui, atau barangkali saya coba dengarkan ulang sebagai media retrospektif. Barangkali terdapat pemaknaan-pemaknaan baru terhadap lagu lama yang saya dengarkan ulang. Terlebih, cukup banyak yang terjadi selama kurun 3–5 bulan ke belakang, sehingga sangat mungkin bagi saya untuk mengalami atau mendapati pemaknaan lain atas sebuah karya ketika ia didengarkan di waktu yang berbeda, pula dengan bagasi pengalaman yang lebih kompleks.

Satu di antara rilisan yang secara berulang saya dengarkan adalah Gembel Perumahan oleh DOM 65.

“Orang-orang”Gembel Perumahan

Gembel Perumahan berisi 4 trek yang dirilis dalam bentuk kaset pita dan format digital bersama label Sinar Suara Records. Resmi rilis pada tanggal 30 September 2022, dirayakan secara penuh di Boogie Down Bar sebulan setelahnya.

Gembel Perumahan merupakan rilisan DOM 65 setelah sebelumnya mengeluarkan all time personal favorite, “Tiga Puluh Tahun Pengangguran” (single) di tahun 2020.

EP ini dibuka dengan trek berjudul “Orang-orang”, trek akustik berdurasi 2:26 menit yang membawa saya pada lagu akustik lain yang pada waktu-waktu tertentu saya dengarkan. Instrumen yang digunakan dalam trek ini pun tidak dapat membedakannya dengan lagu akustik lain. Terdapat dua gitar yang di-pan kiri dan kanan, dengan kunci yang secara garis besar sama (hanya saja gitar kiri memainkan satu lick yang berbeda di bagian tertentu) dan vokal diberikan ruang di tengah dengan vokal latar beberapa kali menyahut ketika memasuki verse kedua. Liriknya “mengerikan”.

Trek “Orang-orang” berisikan dua verse dan bercerita tentang dua kelompok masyarakat yang berada dalam setting krisis. Golongan pertama diceritakan dalam bait pertama, sedangkan golongan kedua diceritakan di bait kedua.

“Orang-orang di rumah, mencari pilihan

Orang-orang di rumah, mentaati peraturan

Orang-orang di rumah, sekedar bertahan

Orang-orang di rumah, seperti tahanan

Orang-orang di rumah takut sakit

Orang-orang di luar, tak punya pilihan

Orang-orang di luar, ditekan peraturan

Orang-orang di luar, nyaris tak bertahan

Orang-orang di luar, menuai makian

Orang-orang di luar takut lapar”

Dom 65 – Orang-orang

Melihat liriknya, tentu mudah mengorelasikannya pada situasi genting COVID-19, meskipun kita tetap bisa untuk membuatnya fit di kondisi lain.

Baca Juga:  Jazz dan Basis Komunitas: Catatan dari Jazz Camp 2024

Saya berpikir bahwa penekanan lagu ini tidak terletak di pemilihan sound yang baru atau lirik perlawanan yang sebegitu marahnya, tetapi pada bineritas yang terjadi di depan mata. Sekilas kita bisa melihat bahwa terdapat satu tembok besar yang membuat masyarakat terbagi dalam dua golongan besar, “orang-orang di rumah” dan “orang-orang di luar”. Lebih dalam daripada itu, kita dapat melihat bagaimana kedua golongan tersebut merespons dan bereaksi terhadap krisis yang terjadi. Keduanya memang ingin bertahan dalam krisis, tetapi yang membedakan adalah mana di antara keduanya yang “sekedar bertahan” dan mana yang “nyaris tak bertahan”. Bineritas kala krisis pandemi inilah yang coba untuk diteruskan DOM 65 sebagai sebuah masalah besar.

Tentu, lebih dari itu, kita dapat melihat bahwa kelindan di antara kedua golongan masyarakat yang DOM 65 coba katakan berasal dari golongan dengan akses material yang sama sekali berbeda, tidak ada yang berada di zona abu-abu. Masyarakat yang cukup privileged untuk setidaknya bisa di rumah dalam rangka menghindari pandemi, memiliki ketakutan yang berbeda dengan masyarakat yang berada di sisi seberang; yakni, mereka yang perlu mengusahakan lebih untuk setidaknya bertahan–itu juga dengan regulasi yang teramat mengimpit. Trek “Orang-orang” memaksa audiens untuk menentukan titik pijak, sedangkan Gembel Perumahan membawakan gambaran menyeluruh yang pas dalam proses tersebut.

Salah satu wartawan Tirto.id pernah membahas Gembel Perumahan, disampaikan oleh Imam Senoaji (vokalis dan gitaris DOM 65), “[…]Gembel Perumahan ini tidak menjual kemiskinan, tetapi mengenai cara seseorang bertahan dalam situasi yang belum pernah ia alami,” Imam lanjut menceritakan berbagai pekerjaan yang ia sempat geluti untuk tetap bertahan ketika pandemi.  Dalam tulisan tersebut Imam juga menjelaskan bahwa EP ini memang dibuat sebagai karya yang menangkap kondisi sosial-ekonomi yang terjadi di Yogyakarta.

Sebagai seseorang yang menyaksikan secara langsung dinamika Kota Yogyakarta di tengah pandemi, trek “Orang-orang” hadir selayaknya cermin dari yang saya amati. Saya teringat bagaimana orang-orang harus bekerja di tempat yang rentan terpapar penyebaran virus, sedangkan di sisi lain terdapat mereka yang berkesempatan bekerja secara remote dan dalam kondisi yang lebih aman. Lagu ini membangkitkan lagi kenangan akan obrolan di warung kopi, tempat di mana ketakutan akan paparan virus dan lapar saling bersilangan.

Lirik yang dimuat di situ memberikan penggambaran yang, bagi saya, teramat jujur. Brutally honest kalau boleh bilang. Tidak ada diksi maupun istilah yang jarang didengar, semuanya secara harfiah disampaikan selayaknya cara bertutur sehari-hari. Dan mengetahui bahwa pengkarya merupakan subjek yang mengalami keseluruhan krisis ini (alih-alih sedang bercerita), merupakan momen yang pas (lebih tepat menggunakan kata ‘menampar’) untuk sadar bahwa rentetan kejadian ini nyata, sedang terjadi, dan belum diputuskan kapan berakhirnya. Cukup mengerikan untuk mengetahui bahwa semuanya terjadi di balik begitu banyak pelabelan positif yang media sematkan atas kota ini.

Baca Juga:  Paralaks Fiksi: Sebuah Usaha Memperkenalkan “Origami Tubuh”

Sebagai pendengar, lirik ini mengantarkan saya ke situasi yang DOM 65 coba sampaikan–seakan menjadi subjek langsung perbedaan mencolok antara mereka yang “sekedar bertahan” dan “nyaris tak bertahan”. Dalam lapisan tertentu, “Orang-orang” tidak hanya merefleksikan realitas Yogyakarta secara luas, namun juga mengajak saya untuk merefleksikan keterlibatan saya sebagai bagian dari kota ini. Bagaimana DOM 65 memotret situasi aktual saat itu adalah kejujuran brutal yang menghantui. Buat saya, lirik dalam trek “Orang-orang” berhasil dalam menguliti kota ini secara menyeluruh, selayaknya keseluruhan diskografi mereka… that’s all what DOM 65 trynna say.

Penutup dan kekaguman saya

Mendengarkan kembali lagu-lagu DOM 65–dalam “Orang-orang”–dengan titik pijak retrospektif membuka dimensi baru yang sebelumnya barangkali terlewat. Begitu pula dengan trek lain di Gembel Perumahan, kembali menjadi pengingat saya bahwa musik merupakan instrumen dokumentasi masyarakat. Dalam konteks waktu 2020an, semua yang ada pada EP ini masih sangat relevan. Titik pijak retrospektif inilah juga yang memperlihatkan bagaimana estetika akustik mereka bukan hanya sekedar pilihan musikal, namun juga sebuah pendekatan naratif untuk menyampaikan pengalaman yang raw dan apa adanya.

Trek ini memperlihatkan saya bahwa pengalihwahanaan dari instrumen penuh ke dalam cara bermain akustik masih tetap bisa dilakukan, bahkan dihadirkan sebagai penegasan terhadap keseluruhan pesan dalam album. Sebelumnya, saya sudah beberapa kali mendengar rilisan mereka, cukup banyak di antara rilisan tersebut menggunakan “langgam” sound khas Inggris: progresi mayor, pemilihan chord, termasuk fill in menggunakan tom roll (apabila itu termasuk) sangat british! Buat saya, menarik untuk mengetahui bahwa di lagu ini mereka tetap menggunakan progresi yang sama seperti mereka memainkan lagu dengan instrumen penuh.

Namun begitu, Gembel Perumahan membawa sound yang lebih tebal, gritty, penuh, seakan mereka lebih menggunakan pedal fuzz alih-alih menggunakan distorsi. DOM 65 menawarkan kebaruan dalam EP ini, termasuk topik yang coba disampaikan melalui keempat lagunya.

Sebagai trek pembuka, “Orang-orang” tidak hanya memperkenalkan tema besar dari Gembel Perumahan, tetapi juga membangun ekspektasi terhadap keseluruhan EP ini. Trek ini menyiapkan pendengar untuk pengalaman yang intens, secara musikal maupun secara naratif. Ditambah, melalui tiga lagu lainnya yang membawa tema krisis kota, DOM 65 mengisyaratkan bahwa EP ini adalah perjalanan mengenai hidup dalam ketidakpastian.

Shout out untuk perupa yang merancang cover sampul Gembel Perumahan, Redi Murti, salah satu nyawa yang ikut membuat EP ini paripurna.

“Orang-orang” merupakan gambaran yang brutal akan situasi yang sempat atau sedang terjadi. Disampaikan dengan cara yang sederhana, haunting, ditempatkan sebagai pembuka, dipangku oleh desain sampul yang sebegitu keren. Sebuah pembuka yang kuat untuk rilisan ini. Tepuk tangan untuk semuanya yang terlibat dalam penggarapan ini.

Daftar Pustaka

Surendra, Ismail Noer. (2022, November 11). Gembel Perumahan, Respons Kemarahan DOM 65 Atas Kotanya. tirto.id. https://tirto.id/gembel-perumahan-respons-kemarahan-dom-65-atas-kotanya-gyrx

Triantoro, Soni. (2022). Musik Protes: Kilas Sejarah dan Studi Pendengar. Warning! Books.

Penulis: Falah Rahmanda

Editor: Ferdhi Putra

Related posts

Yang Terungkap Lewat Ratapan

Idha Saraswati

Autobiography: Rakib Anak Kandung Orde Baru

Permata Adinda

Teater yang ‘Bukan-Bukan’ ala Teater Garasi

Robertus Rony Setiawan

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy