Penghujung 2023, saya menemukan sonic/panic, album kompilasi dari 13 musisi lintas genre yang tergabung dalam IKLIM. Pada tahun yang sama, sejumlah kolektif musisi dan seniman mendirikan The Indonesian Climate Communications, Arts & Music Lab (IKLIM) untuk mendiskusikan isu-isu iklim melalui musik, bahasa universal yang dipahami semua orang. Akhir 2024, IKLIM bersama Music Declares Emergency yang kerap menyerukan gagasan “tidak ada musik di planet mati” kembali merilis sekuel album tersebut dengan tajuk sonic/panic vol.2.
Saya menikmati sonic/panic edisi pertama, album kompilasi perdana di Indonesia yang lantang menyerukan ajakan mengatasi krisis iklim yang kian mengkhawatirkan. Setelah mendengarkan album tersebut, saya bisa menyimpulkan keterkaitan sonic/panic dan kegentingan krisis iklim (climate crisis) serta urgensi mengubah gaya hidup jika manusia masih ingin bertahan di bumi yang makin tak kuasa menampung ledakan pertumbuhan populasi dengan segala kebutuhannya.
Setali tiga uang dengan sonic/panic pertama, sonic/panic vol.2 dirilis oleh label rekaman sadar iklim pertama di Indonesia yakni Alarm Records lewat kanal-kanal musik streaming utama pada 9 November 2024. Tak butuh waktu lama bagi saya untuk segera menyukai sonic/panic vol.2. Setelah mendengar dengan saksama, saya menemukan benang merahnya dengan kegentingan krisis iklim. Benang merah tersebut tercermin dalam satu kata: marah.
Ya, marah.
Saya, kita, kalian, dan 15 musisi kolaborator sonic/panic vol.2 memang patut marah besar terhadap siapa pun yang tak kunjung sadar bahwa krisis iklim itu nyata, makin berbahaya dan mengancam keberlanjutan hidup umat manusia di bumi yang makin renta. Mengapa kita patut marah? Karena ada banyak variabel yang bisa membuat kita marah. Salah satunya adalah minimnya media yang mengangkat isu tentang lingkungan dan krisis iklim. Jangankan mengangkat krisis iklim, membuat tulisan mendalam tentang lingkungan saja terbentur kepentingan bisnis media.
Krisis iklim bukan lagi isu global yang jauh dari kenyataan melainkan sebuah fakta keseharian yang mau tak mau harus dihadapi, termasuk oleh masyarakat Indonesia.
Meningkatnya suhu bumi, permukaan air laut, dan frekuensi bencana alam menjadikan Indonesia salah satu negara yang paling rentan terdampak krisis iklim. Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tahun 2022 menunjukkan bahwa sejak 1982 suhu rerata di Indonesia meningkat sekitar 0,3°C tiap tahun sehingga memengaruhi ekosistem dan kehidupan masyarakat secara signifikan.
Setelah memantau worldometers.info, kita mungkin akan kian marah menyaksikan perubahan kondisi lingkungan dunia secara real time. Sampai tulisan ini dibuat, 5.158.415 hektar hutan habis karena pembalakan, manusia memproduksi 39.070.219.249 ton CO2 ke atmosfer serta melepaskan 9.713.140 ton bahan kimia berbahaya ke alam. Deretan angka ini terus bertumbuh. Lima tahun silam, The Guardian menganjurkan penggantian istilah climate change (perubahan iklim) menjadi climate crisis (krisis iklim) untuk menegaskan gentingnya persoalan iklim.
Lalu pada siapa kita harus meluapkan amarah terkait krisis iklim yang kian menjadi-jadi ini? Tentu kepada mereka yang sebenarnya punya kuasa mengubah atau merevisi kebijakan namun memilih tetap diam demi mengamankan kepentingan elite: pemerintah dunia, pemangku kebijakan, pemilik modal, oligarki, atau penyangkal krisis iklim yang kerap merundung Greta Thunberg sebagai “anak kecil yang rewel tentang mitos krisis iklim yang sebenarnya tidak ada”.
Lima belas musisi yang tergabung dalam sonic/panic vol.2 juga (tampaknya) marah besar pada manusia yang memperburuk kondisi alam. Namun, alih-alih melontarkan banyak F Word layaknya band rock politis asal Amerika, Rage Against The Machine, kemarahan mereka lebih elegan, subtil, dan menyentil. Genre dari lima belas musisi ini sangat luas – merentang dari rock, pop, hip-hop, elektronika, metal, hingga folk. Dengan ciri musikal masing-masing yang mengombinasikan lirik berbahasa Indonesia dengan Inggris, benang merahnya tetap muncul yakni kemarahan terkait krisis iklim.
Sebelum menelurkan sonic/panic vol.2, 15 musisi kolaborator terlebih dahulu berkumpul di Bali pada Juli 2024 untuk menyatakan komitmen bersama menyuarakan krisis iklim lewat musik. Para musisi ini mengikuti lokakarya bertajuk “Aktivisme Musik dan Lingkungan” yang diadakan IKLIM. Mereka berpartisipasi lima hari dalam sesi interaktif bersama organisasi dan pakar lingkungan serta para musisi yang tergabung dalam inisiatif IKLIM sejak tahun sebelumnya. Hari kelima, partisipan melakukan penanaman pohon jambu, alpukat, rambutan, dan mangga di daerah Gianyar, Bali, sebagai upaya aksi nyata mengatasi krisis iklim.
IKLIM Fest yang digelar pada 9 November 2024 di Ubud, Gianyar, Bali, menjadi momentum peluncuran album sonic/panic vol.2. IKLIM Fest merupakan festival musik yang bertujuan meningkatkan kesadaran tentang krisis iklim melalui musik, seni, dan komunitas, sekaligus membangun praktik industri musik ramah lingkungan. Sebanyak 15 musisi ragam genre dari seluruh Indonesia yang karyanya masuk dalam sonic/panic vol.2 tampil dalam IKLIM Fest yang turut menampilkan pameran seni bertajuk TITIK KRITIS.
Festival ini berkomitmen mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, mendaur ulang limbah organik seperti sisa makanan menjadi kompos melalui Magi Farm (perusahaan sosial yang berbasis di Bali yang berfokus pada produksi pakan alternatif yang berkelanjutan dan berprotein tinggi untuk hewan ternak dengan mengolah limbah makanan menggunakan biokonversi lalat tentara hitam), serta membagi bibit tanaman pada para pengunjung sebagai ajakan berkontribusi melestarikan lingkungan.
Menilik sonic/panic vol.2
Sonic/panic vol.2 dibuka dengan lagu “Blind to Our Plight” karya Asteriska. Vokalis Barasuara ini menghadirkan karya yang kental unsur alternative-rock, dengan beat yang mengentak dan distorsi gitar yang mengingatkan kita pada Barasuara. Asteriska mengajak pendengarnya merenungkan tanggung jawab terhadap planet ini. Bait “Clean energy, a brighter way / Rejected by the powers that sway / Their interests blind them to our plight / As we descend into the night” menyentil penguasa yang demi agenda ekonominya tega menolak pengembangan energi bersih dan terbarukan, meninggalkan kita dalam nestapa tak berkesudahan.
Lagu kedua berjudul “Pengusik” diusung oleh dedengkot hip-hop asal Jakarta, Matter Mos. Kekuatan lagu ini adalah flow rap yang mengalir lancar. Saking lancarnya, saya berpikir Matter Mos terkadang menabrak titik dan koma. Diiringi beat-beat hip-hop yang menawan, Matter Mos bicara tentang ibu bumi lewat ujaran “Ibuku marah / B’ri peringatan / Lihat ke atas ‘ku / Dis’limuti asap / Ibuku marah / Tapi bisa apa / Ibuku marah / Tapi bisa apa”. Ibu bumi sungguh merana dan marah karena ulah manusia. Namun, ia tak kuasa berbuat apa-apa.
Lagu ketiga, “Tiada Tuhan Selain Pemilik Kapital”, dibawakan oleh Efek Rumah Kaca. Musiknya tipikal ERK, percampuran minimalis pop dengan balutan rock dan synth-wave. Liriknya pun berciri ERK yang bernas, lugas, dan tegas. Di lagu ini, ERK secara subtil menginterpretasikan salah satu gagasan terpenting Karl Marx, yaitu bahwa pemilik (baca: penguasa) kapital itu ibarat Tuhan. Ia sangat adidaya, tak tertandingi, dan harus disembah di bawah dunia kapitalisme yang tidak memberikan kesempatan bagi alternatif lain.
Pemikir mutakhir Marxisme, Mark Fisher, mengistilahkan kondisi ini sebagai “capitalist realism”. Keniscayaan dalam jagat capitalist realism adalah TINA: There Is No Alternative. Perputaran kapital harus selalu dijaga demi akumulasi surplus lebih yang dinikmati pemodal. Tuhan baru yaitu sang penguasa kapital membuat “Orang utan terdesak tambang, hutan hanya milik orang” serta memaksa “Harimau turun ke dusun-dusun, mungkin kesal patungnya culun”.
“Harimau culun” adalah istilah yang cerdas. Sepintas kita akan membayangkan banyak meme patung harimau culun di tangsi-tangsi militer yang sempat viral di media sosial beberapa tahun silam. Namun, istilah ini sesungguhnya berupaya membangkitkan kesadaran kolektif kita tentang bagaimana militer selaku aparatus negara kerap menjadi alat penguasa untuk mengamankan surplus kapital. Bait berikutnya berbunyi “Tiada tuhan selain pemilik kapital / Kepada laba menghamba setia / Merawat alam dan seluruh isinya adalah kriminal”. Kurang Marxist bagaimana coba?
Lagu berikutnya yakni “Tiny Blue Dot” dari LAS! juga gamblang melantangkan “kapital” dalam liriknya. Sebagai band yang mengusung kosmologi Dayak, LAS! sangat cerdas memadukan lirik bahasa Indonesia dan Inggris untuk mengisahkan bumi sebagai satu-satunya planet yang bisa ditinggali manusia. Bagian chorus “This is earth / It is our planet / In this tiny blue dot / If we don’t coexist there’s no Planet B” menggambarkan betapa berharganya bumi ini. “Isyarat Jubata, ambil jaga, rawat secukupnya” menjabarkan kosmologi Dayak yang percaya Jubata –tuhan dalam kepercayaan Dayak—sudah mewanti-wanti manusia agar menjaga, merawat, dan memanfaatkan alam secukupnya.
Judul lagu ini mengingatkan saya pada Carl Sagan dan Pale Blue Dot, foto bumi yang diambil pada 14 Februari 1990 oleh wahana antariksa Voyager 1, sekitar enam miliar kilometer dari planet bumi. Dari titik terjauh tata surya kita, bumi tampak sebagai titik kecil berwarna biru pucat, menunjukkan betapa mungilnya kita di tengah semesta luas. Pantaskah kita jemawa?
Lagu kelima “Rumah Tanah Tidak Dijual” merupakan karya all female metal band yang belakangan hangat diperbincangkan karena prestasi gemilang mereka di kancah internasional: Voice of Baceprot. Mengusung Garut Pride, VoB wara-wiri ke berbagai festival musik prestisius dunia dan menjadi satu-satunya musisi Indonesia yang pernah tampil di Festival Glastonbury. Lagu ini ditingkahi riff gitar berat, pola gitar khas djent, betotan bass dengan teknik slapping, dan tingkah drum double bass. Aliran rap terkadang hadir, menegaskan metal khas VoB yang bisa digolongkan nu-metal. VoB dengan gaya metal gahar berseru: “Rumah tanah tak dijual, ini alamku, ini taman bermainku, / Selamatkanlah, jangan dijual, jangan dijual, jangan dijual…”.
Lagu keenam, “Harapan”, merupakan karya Petra Sihombing yang bernuansa pop. Lagu ini mengajak pendengar berkontemplasi sejenak bahwa di tengah krisis iklim yang tak terhindarkan, harapan itu masih ada. “Masih ada harapan / Masih ada harapan / Jika saling menjaga / Semua yang kita bisa”. Di tengah kapital sebagai panglima, harapan dan saling jaga harus tetap ada.
Lagu ketujuh dan kedelapan merupakan salah dua lagu favorit saya karena kontribusi orang Papua di dalamnya. Pada lagu “Trap Hard”, Rhosy Snap menjadi “juru bicara” hip-hop Indonesia timur yang beberapa tahun terakhir menggeliat dengan ciri berbeda dengan Indonesia barat, terutama Jawa. Kelebihan Rhosy Snap adalah flow rap yang mengalir lancar tanpa cela, pengucapan rima yang cepat bak laju kereta api, serta penggunaan multisyllabic words yang menandakan penguasaan terhadap kompleksitas penulisan dan penggubahan rima rap. Saya merasa kemampuan Rhosy Snap setara atau bahkan melampaui Eminem dalam Kamikaze.
Papua memang harus selalu dibicarakan.
Kawasan paling timur ini telah lama jadi bulan-bulanan penguasa kapital dan negara dalam rangka menjaga “keutuhan NKRI”. Mereka digusur paksa, alam dan satwa mereka pun dihancurkan demi “ketahanan pangan” bertopeng Food Estate. Rhosy Snap memberondongkan amarahnya: “Hutan yang kini hampir habis dan apa yang kan terjadi… / Satu persatu bencana alam kan muncul bertubi tubi… / Sementara pelaku hanya butuh uang saku / Yang paling penting pendapatan negara t’rus maju / Semoga ada hari baik nanti kita kan bersatu”.
Lainnya adalah Daniel Rumbekwan, penyanyi berdarah Papua kelahiran Balikpapan yang kini menetap di Madiun. Ia menggubah lagu berjudul “Natural Disaster” yang mengeksplorasi hubungan mendalam bumi dengan manusia, menekankan koneksi spiritual yang dikutip dari Alkitab Kejadian 1:1, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.” Daniel merefleksikan bagaimana bumi dan manusia seharusnya hidup berdampingan secara harmonis seperti semula. Lagu ini menyoroti krisis lingkungan disertai seruan untuk kembali terhubung dengan alam.
Beranjak ke tembang selanjutnya, saya suka sekali mendengarkan “Asap dan Api” dari band stoner rock asal Bali yang saya idolakan, Jangar. “Asap dan Api” adalah lagu stoner rock berat berbirama tiga perempat yang menguliti ketergantungan manusia pada energi tak terbarukan yang terejawantah dalam bait berikut: “Asapku Asapmu / Bersatu di langit biru jadikan kelabu / Apiku Apimu / Membakar ruang masa depan / anakku dan anakmu makin abu-abu”.
Lagu kesepuluh, “Era”, disajikan salah satu band folk asal Malang favorit saya, Wake Up, Iris! Saya dan band saya, Auretté and The Polska Seeking Carnival, pernah berbagi panggung bersama mereka di Malang pada perhelatan Folk Music Festival 2016. Di situlah saya terpukau dengan penampilan suami-istri Vania Marisca dan Bie Paksi ini.
Musik Wake Up, Iris! merupakan padu-padan apik epic-folk, orkestra, dan ambient. “Era” terinspirasi kebijaksanaan lawas dan ajaran adat yang mengajak pendengar kembali terhubung dengan alam dan mengaktivasi kekuatan alami untuk menyelaraskan diri dengan alam. Dalam lagu ini, Wake Up, Iris! menampilkan soundscape alam karya Martyn Stewart dari Biophonica, juga menyertakan suara satwa dan bumi untuk menggema seruan alam: “Give back the energy in a cosmic bond / Your heart and mind, the magic wand / For what you give, you’ll understand”.
Lagu paling cadas dari kompilasi sonic/panic vol.2 adalah “Prahara Jenggala” karya Down for Life. Melalui technical-death-metal yang gahar ini, pasukan babi neraka Down for Life bicara tentang keserakahan, perusakan lingkungan, dan eksploitasi sumber daya alam oleh oligarki. Band metal kebanggaan Solo ini bertutur gamblang “Atas nama daulat jelata / rampas kuasa hutan raya / tipu daya rekayasa / jarah harta belantara / rakus.. serakah / kau lumat rimba / marah.. melawan / balas akan tiba”. Seakan kurang puas, Down for Life memungkasi luapan amarahnya dengan sumpah serapah pada para oligarki kapital: “Semesta bersabda / NERAKAMU TELAH TIBA”.
Empat lagu terakhir sonic/panic vol.2 masih menggaungkan amarah serupa.
Dalam lagu “Folk Culture”, band asal Makassar The Vondallz menekankan pentingnya menyelaraskan perilaku manusia dengan alam, mendesak pendengar merenungkan praktik berkelanjutan dan pengelolaan lingkungan melalui selarik bait “Negeri tercinta / Menjerit derita / Bergerak bersama / Selamatkan dunia”.
Musisi Bali, Alvin Jefry, hadir dengan moniker atau julukan Poker Mustache menciptakan lagu yang terinspirasi dari film Interstellar bertajuk “Last Voyager”. Alvin berujar “They’ve been talking about the earth, how it won’t last anymore / Elon Musk says pack your bags, and jump on the rockets to get away”. Bait pertama menarasikan film Interstellar tentang bumi yang tak selamanya lestari sehingga harus ditinggalkan. Bait kedua tentang Elon Musk, megalomaniac narsistik yang membeli Twitter hanya demi melebarkan politik kanan mentoknya. Melalui SpaceX, Elon mewacanakan manusia harus mulai memikirkan cara meninggalkan bumi dan tinggal di Mars. Sebuah konsep eskapisme yang sangat konyol. Alih-alih mengupayakan terraform rumit di Mars agar bisa ditinggali manusia, mengapa tak menjaga bumi saja dengan energi terbarukan dan reduksi emisi karbon?
Melalui “Kepala Batu yang Membara”, DJ Bachoxs memadukan trip-hop dan psikedelia dengan kemarahan membuncah: “Kekuasaan hancurkan isi bumi / Raja tuli kayakan diri”.
Band rock asal Bali, BSAR, memungkasi album ini dengan lagu “Manusia”. Lagu yang tepat sebagai pamungkas: “Jangan tunggu bencana baru kita berubah / Jangan tunggu bencana baru kita bergerak!”. Chorus lagu ini menyimpulkan seluruh pesan yang termaktub dalam lagu-lagu lainnya pada album ini: “Hey manusia ….. SADARILAH!!”. Di tengah kerusakan lingkungan, seluruh umat manusia harus sadar bahwa masih ada kesempatan untuk berubah dan mengubah.
Seruan Amarah Kolektif
Usai mencermati seluruh lagu secara saksama, saya pun mendalami artwork yang menjadi sampul album. Artwork ini adalah karya vokalis/gitaris Navicula, I Gede Robi Supriyanto. Ia mengibaratkan bumi sebuah celengan besar yang menampung kekayaan berbentuk koin-koin emas. Lantas sebuah kuasa besar yang disimbolkan dalam wujud palu mengetuk celengan, memecah dan merusaknya demi memanen koin-koin tersebut. Sebuah ilustrasi yang tepat menggambarkan kerakusan para penguasa kapital yang sama sekali tak peduli bumi hancur lebur asalkan akumulasi surplus terus bergulir mengisi pundi-pundi pribadi mereka.
Dari artwork ini pula saya simpulkan bahwa sonic/panic vol.2 banyak bicara mengenai keserakahan. “Greed is Good”, ujar Gordon Gecko dalam film Wallstreet. Bagi penguasa kapital, keserakahan adalah hal yang baik. Mengutip Mark Fisher tentang TINA: There Is No Alternative, celakanya kapitalisme telah eksis menjadi sistem politik-ekonomi yang paling digdaya. Kita semua mur dan baut untuk mesin kapitalisme ini sehingga rasanya jauh lebih mudah membayangkan akhir dunia ketimbang akhir kapitalisme.
Namun, harapan perlu dijaga, seredup apa pun. Semoga gejolak amarah lima belas musisi dalam album sonic/panic vol.2 ini pun bisa kembali menyalakan api harapan agar manusia tetap berupaya mencari alternatif sistem demi keberlangsungan hidup bumi, alam, dan lingkungan.
Ya, marahlah pada penguasa kapital!
Mari negasikan kekuasaan super para penguasa kapital dengan segala daya upaya seperti menolak pembalakan hutan di Papua, mendesak pemerintah mengkaji ulang izin konsesi tambang dan hilirisasi nikel yang kerap mengabaikan kelestarian lingkungan, menggenjot transisi energi seperti panel surya, angin, dan ombak yang dilakukan secara berkeadilan, juga menerapkan gaya hidup ramah lingkungan seperti hemat air-listrik dan mengurangi kantong plastik sekali pakai.
IKLIM, Music Declares Emergency, Alarm Records, dan 15 musisi yang berkolaborasi dalam sonic/panic vol.2 telah menjalankan perannya dalam hal penyadaran publik terkait krisis iklim. Kini menjadi tugas kita, para pendengar album ini, untuk melawan penguasa kapital sembari menjaga kelestarian bumi.
Jika bukan kita, siapa lagi? Jika bukan sekarang, kapan lagi? Krisis iklim sudah kian genting. Kita harus menganggapnya penting sebelum akhirnya bersama-sama memikirkan langkah yang tepat untuk menghadapi dampak panjang yang ditimbulkannya.
Mencuplik lirik The Vondallz “Kultur dalam tangan budayalah menjaga iklim / Untuk norma demi umur yang panjang / Jangan biarkan, keindahan lenyap / Bersama kembali berseri / Berjuang memelihara ciptaannya”, bumi hanyalah titipan. Sudah seharusnya kita pelihara dengan segala daya yang kita miliki demi masa depan yang lebih baik bagi anak-cucu kita.
—
Album: sonic/panic vol.2
Musisi: Various Artists dan IKLIM
Tahun rilis: 9 November 2024
Label: Alarm Records
Jumlah lagu: 15
Durasi album: 60 menit
Medium rilisan: Digital, dapat didengarkan lewat layanan streaming seperti Spotify, YouTube Music, Apple Music, Deezer, YouTube, dan lain-lain
Penulis: Aris Setyawan
Editor: Sylvie Tanaga