Serunai.co
Kolom

Sriwijaya dan Swarnabhumi: Upaya Membangun Kembali Ekosistem dan Infrastruktur Budaya

sriwijaya
Candi Kedaton, Muara Jambi. (Foto: Chusnul C)

Tentang Swarnabhumi, Sriwijaya, Borobudur Writers and Cultural Festival ke-13, dan upaya mengingatkan bahwa pusat kebudayaan tak hanya di Jawa, tapi juga ada di Sumatra.

Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) ke-13 baru saja dihelat pada tanggal 19-23 November 2024 lalu. Acara ini untuk pertama kalinya dilaksanakan di luar Jawa, tepatnya di Candi Muara Jambi dan menjadi yang kedua kalinya dilaksanakan di luar Candi Borobudur setelah BWCF ke-12 tahun lalu di Kota Malang. Dengan mengusung tema “Membaca Ulang Hubungan Muara Jambi-Nalanda & Arca-Arca Sumatera”, BWCF menghadirkan banyak pembicara dengan latar belakang arkeolog, filolog, praktisi budaya, sejarawan, penyair, sastrawan dan juga kritikus sastra. Selain pembicara dari Indonesia, mereka dihadirkan dari berbagai belahan dunia seperti India, Malaysia, Singapura, Brunei, Hawaii, Belanda, Swedia, dan Jepang.

Berbagai isu mutakhir dan sekaligus lintas-sejarah didedah-diskusikan bersama-sama dalam bentuk simposium dari mulai tema-tema tentang penemuan arca, manuskrip, jalur perdagangan tempo dulu hingga kondisi masyarakat Sumatra di zaman Sriwijaya. Melengkapi pembahasan lintas zaman dalam kacamata arkeologi dan filologi, diskusi-diskusi sastra dan film juga dihadirkan dengan konsep pembacaan masa lalu dan masa kini seperti misalnya tema sastra di dunia digital dan sastra modern di Sumatra. Sementara itu, sesi podium sastra diisi oleh penyair-penyair melayu baik penyair lintas Sumatra maupun lintas negara.

Tak terhenti dengan simposium dan podium, BWCF juga diramaikan dengan seni pertunjukan tari, pidato kebudayaan, pertunjukan musik, serta launching buku. Pada agenda BWCF kali ini, seni pertunjukan tari yang ditampilkan merupakan hasil koreografi dari seniman tari Sardono W. Kusumo. Ia menciptakan tari bertemakan migrasi burung-burung, dan ditampilkan di Candi Koto Mahligai Muara Jambi. Agenda BWCF ke-13, kemudian ditutup dengan melakukan meditasi bersama, dipimpin oleh Bhante Ditthisampano Thera PhD., salah satu dari penasihat BWCF.

Menggali Prasasti dan Arca, Menjejak akar Hingga ke Sriwijaya

Pameran Foto Pemugaran Candi Muara Jambi. (Foto: Chusnul C)

Pelaksanaan BWCF di Candi Muara Jambi menjadi salah satu bentuk dukungan penting bagi upaya menjejak akar peradaban di Pulau Sumatra – Kedatuan Sriwijaya. Masyarakat Indonesia di masa sekarang dan masa depan perlu tahu bahwa sejarah peradaban nusantara tidak sekadar Majapahit dan Mataram yang terpusat di Jawa, tetapi tak kalah kuat dengan mereka, ada kerajaan atau Kedatuan Sriwijaya di Pulau Sumatra atau yang saat itu disebut dengan Swarnabhumi. Keberadaannya tidak hanya sebatas dongeng, tapi dibuktikan eksistensinya dengan penemuan-penemuan arca, manuskrip, situs dan berbagai peninggalan sejarah lainnya termasuk penemuan reruntuhan Candi Muara Jambi. Sejak penemuannya, Candi Muara Jambi kini masih terus dikaji oleh para ahli dan dipercaya merupakan universitas besar bagi para intelektual Buddhis di zaman Sriwijaya. Mereka datang dari berbagai tempat termasuk para biksu dari Nepal. Karena itu, Candi Muara Jambi juga disebut sebagai Mahavihara bagi umat Buddha.

Sejarah Kedatuan Sriwijaya, kendati telah tertulis dalam sejarah bangsa, bukti eksistensinya tidak cukup untuk sekadar ditulis, dimasukkan ke kurikulum sekolah, atau menjadi bahan ajar di prodi-prodi sejarah. Eksistensi Kedatuan Sriwijaya, karenanya perlu untuk direka-hidupkan dengan berbagai cara: menjadikannya wacana seksi untuk menjadi bahan diskusi para intelektual nasional maupun internasional, membukakan jalan kemunculannya melalui kebijakan pemerintah yang tepat, menjadikannya sebagai living museum yang menarik untuk dikunjungi, serta memvisualisasikannya dengan berbagai cara. Dengan menjadikan Candi Muara Jambi sebagai latar belakang festival, juga menjadi salah satu cara untuk mengenalkan Sriwijaya ke publik nusantara dan Negara Melayu tetangga yang pernah memiliki hubungan erat di masa Sriwijaya.  

Candi Muara Jambi, yang kini tengah dipugar, adalah pintu masuk untuk mengenal Sriwijaya sekaligus menjadi salah satu tujuannya. Dalam simposium BWCF yang dilakukan selama empat hari, pembahasan tidak saja tentang Candi Muara Jambi. Keberadaannya, sebagai salah satu peninggalan nyata dari Sriwijaya, divalidasi dengan adanya temuan-temuan lainnya di tanah Melayu dan negara-negara lain yang berkaitan erat dengannya seperti Nalanda India atau Lembah Bujang Malaysia. Penemuan-penemuan arca, manuskrip, logam, keramik dan berbagai peninggalan lainnya didedah, menjadi bukti valid kebesaran Sriwijaya. Pun, kekuatan literasi sejak zaman Sriwijaya masih menjejak dan menjadi infrastruktur budaya yang kokoh di tanah Sumatra.

Baca Juga:  Noise Nan Khusyuk

Berbagai arca dan prasasti yang ditemukan, merupakan kepingan-kepingan sejarah yang terus dikaji ulang. Banyak arca ditemukan dalam kondisi tak utuh, tanpa kepala atau tanpa lengan. Kondisi tersebut memunculkan indikasi adanya pergeseran kekuasaan dan zaman dari Sriwijaya yang bercorak Hindu-Buddha, menuju kekuasaan bercorak Islam yang mulai berkembang di Sumatra Selatan, Jambi dan Kepulauan Bangka-Belitung. Perusakan-perusakan yang terjadi, dimungkinkan karena ketakutan akan perilaku syirik warga yang sebelumnya beragama Hindu-Buddha dan kemudian memeluk Islam. Ada kemungkinan bahwa kerusakan yang terjadi juga disebabkan faktor alam karena ada arca yang terbuat dari tanah liat sehingga mudah mengalami kerusakan atau pelapukan. Kerusakan-kerusakan pada arca diperkirakan mulai terjadi pada awal abad ke-17. (Retno Purwanti, 2024).

Selain arca, Sumatra juga tidak kalah kaya dengan temuan-temuan berbagai prasasti. Kata ‘prasasti’ diambil dari bahasa sanskerta yang berarti memuji atau maklumat dan umumnya ditulis di atas batu, ragam jenis logam, tanah liat, dan berbagai benda keras lainnya seperti tanduk kerbau. Prasasti umumnya menyimpan rekaman tentang berbagai aspek kehidupan di masa lalu seperti sosial, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, kesenian atau sistem kepercayaan, hukum undang-undang atau bahkan berupa kutukan. Prasasti umumnya dikeluarkan oleh seseorang yang memiliki jabatan seperti raja atau pejabat (Ni Ketut Puji Astiti Laksmi, 2024).

Salah satu contoh prasasti yang ditemukan di Sumatra yakni Prasasti Timah yang berisikan tentang doa, aturan, kutukan (sapatha), atau semacam ornamen yang melambangkan rajah atau yantra. Prasasti Timah di Sumatra ini memiliki jumlah lebih dari 100 buah dan dari sebagian yang bisa dianalisis, ditemukan menggunakan tiga aksara yakni aksara Sumatra Kuno atau Adityawarman, aksara Proto Ulu, dan aksara Ulu. Aksara tersebut diduga digunakan mulai abad ke-14 Masehi, dan merupakan aksara turunan dari aksara Pallawa. Kemudian bahasa yang digunakan pada prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno atau bahasa Sanskerta (Andhifani, 2018: 62-63 dalam Ni Ketut Puji Astiti Laksmi, 2024).

Prasasti yang berisikan kutukan atau sapatha juga ditemukan pada Prasasti Baturaja. Prasasti ini bahkan disebut sebagai prasasti kutukan pertama yang dikeluarkan oleh Datu Sriwijaya. Hal tersebut didasarkan pada angka 06 yang merupakan angka 606 Saka. Prasasti Baturaja ditulis secara melingkar terdiri dari enam baris dan beraksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno. Sebagaimana arca yang banyak ditemukan di Sumatra, Prasasti Baturaja juga ditemukan dalam kondisi terbelah menjadi tiga, dan masih menyisakan bagian tengahnya. Namun, jika ditilik dari material batu yang digunakan yakni batu andesit, sangat tidak mungkin jika keterbelahannya dikarenakan oleh faktor alam tetapi lebih besar kemungkinan ada faktor kesengajaan dihancurkan untuk kemudian dibuang ke sungai. (Wahyu Rizky Andhifani, 2024).

Pada masa dahulu, kemampuan menulis dan membaca merupakan kemampuan yang hanya dimiliki oleh golongan elite seperti raja, pejabat atau brahmana. Karena itu, banyak prasasti ditemukan di sekitar tanah bekas kerajaan dan sedikit sekali prasasti ditemukan di pedalaman. Namun, masyarakat yang jauh dari kerajaan atau yang tinggal di pedalaman Sumatra antara lain Batak, Rejang, Lampung dan Kerinci, bukannya tidak memiliki kemampuan literasi sebagaimana kaum elite di sekitar kerajaan tetapi mereka memiliki aksara sendiri sebagaimana laporan Marsden di abad ke 19 Masehi. (Marsden 1811, 200-201 dalam Hafiful Hadi Sunliensyar, 2024). Aksara lokal yang berkembang di pedalaman Sumatera disebut dengan aksara Incung yang merupakan adaptasi dari aksara rumpun pascapallawa dari masa Hindu-Buddha. Beberapa dekade setelah laporan Marsden, E. Jacobson menemukan 27 prasasti beraksara Incung yang digores di tanduk kerbau pada tahun 1915. (Iskandar 1999 dalam Hafiful Hadi Sunliensyar, 2024).

Selain berbagai arca, dan prasasti, ada banyak artefak maupun ekofak yang ditemukan dan masih terus digali dan dikaji. Semua itu, termasuk banyaknya situs purbakala yang banyak ditemukan di tepi-tepi sungai, mengindikasikan kebesaran Kedatuan Sriwijaya. Arca-arca yang ditemukan menunjukkan situasi ekonomi, sosial, teknologi, budaya, dan agama masa lampau. Reruntuhan Candi Muara Jambi mengarahkan pada universitas atau Mahavihara besar yang pada masanya menjadi tempat belajar Agama Buddha dari berbagai mancanegara. Situs-situs yang ditemukan, sebagaimana Situs Barus mengindikasikan interaksi dagang internasional seperti halnya Kawasan Asia Barat, India, Teluk Benggala, hingga ke Asia Timur seperti China. (Guillot dkk. 2008, 54-59 dalam Ery Soedewo, 2024).

Baca Juga:  Dewi Sri dan Beras yang Artsy

Sementara berbagai prasasti, baik yang bertuliskan aksara Pallawa dan ditemukan di sekitar Pesisir Sumatra sebagai pusat kekuasaan Sriwijaya, atau prasasti yang beraksara Incung yang ditemukan di pedalaman Sumatra, mengindikasikan bahwa masyarakat zaman dahulu sudah melek literasi. Temuan-temuan tersebut menjadi puzzle-puzzle yang mengerucut pada sebuah peradaban besar yakni Kedatuan Sriwijaya, Kerajaan maritim terbesar yang pernah ada di Nusantara selain Majapahit.

Dunia Literasi Swarnabhumi Hingga Kini

Dari serangkaian penemuan benda-benda bersejarah di Sumatra baik dalam bentuk arca, prasasti, situs dan lain sebagainya menjadi bukti kuatnya literasi Sumatra di masa pra-kolonial. Hingga kini, Sumatra juga masih lekat dengan literasi. Dalam khazanah sastra Indonesia, beragam produk susastra seperti pantun, syair, gurindam, hikayat dan lain sebagainya banyak terlahir dari Bumi Sumatra. Bahkan ada anggapan bahwa tradisi perpuisian Indonesia bersumber dari pantun, disebut berasal dari puisi Melayu. Sedangkan berbagai tradisi pantun di wilayah lainnya seperti Jawa, Sunda, Betawi, bisa jadi berasal dari pantun Melayu yang penyebarannya terjadi beriringan dengan penyebaran bahasa Melayu sebagai lingua franca di Kepulauan Nusantara. (Maman S. Mahayana, 2024).

Sastra, dalam bentuk apa pun pada hakikatnya merupakan produk budaya yang eksistensinya, hidup-matinya, tergantung pada dukungan masyarakat itu sendiri. Jika kemudian Sumatra dianggap sebagai pusat atau cikal bakal literasi sastra Indonesia, infrastruktur tersebut masih terjaga dengan rapi hingga kini. Berbagai karya sastra dalam bentuk puisi, cerpen atau bahkan novel, dari zaman Balai Pustaka, era majalah sastra Horison dan media massa nasional, hingga masuk ke masa digital hari ini, tidak dimungkiri banyak diisi oleh para sastrawan Sumatra.

Pada kesempatan BWCF kali ini, eksistensi mereka diberikan wadah dalam bentuk podium sastra yang dihadirkan secara berturut-turut dari awal setelah pembukaan hingga ke penutupannya. Berbagai pertunjukan, dari pembacaan puisi dan cerpen, atau dalam bentuk musikalisasi puisi dihadirkan. Podium sastra tersebut juga diramaikan dengan pembacaan puisi dari sastrawan melayu lainnya seperti dari Singapura, Malaysia dan Brunei.

Pertunjukan Koto Mahligai Burung-Burung

sriwijaya
Pertunjukan Migrasi Burung- Burung di Candi Koto Mahligai. (Foto: Chusnul C)

Agenda festival di Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muara Jambi dilakukan di dua tempat yakni Candi Kedaton dan Candi Koto Mahligai. Siang hari, agenda-agenda semacam simposium dan podium dilakukan di Kedaton, dan agenda lain setelahnya dilakukan di Candi Koto Mahligai salah satunya yakni Tarian Migrasi Burung-Burung yang diciptakan oleh seniman tari Sardono W. Kusumo. Dalam pidato kebudayaannya, Sardono menjelaskan perspektifnya terkait permasalahan ekologis. Tentang bagaimana ia terpesona dengan masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan alam sebagaimana masyarakat adat Mentawai, Dayak, dan Papua.

Pertemuannya dengan masyarakat adat, menjadi titik balik kehidupan Sardono. Jika sebelumnya ia sangat terpesona dengan modernisme Amerika, kini sebaliknya ia begitu takjub dengan hubungan intersubjektif makhluk hidup dengan alam sebagaimana kehidupan masyarakat adat. Ketakjuban Sardono, tampaknya termanifestasi pada Tarian Koto Mahligai Burung-Burung. Tarian ini menampilkan visualisasi puluhan burung dari berbagai jenis yang secara bersamaan berpindah tempat, bermigrasi. Mereka berpindah sembari meliuk-liuk menari, menyanyi dan sesekali bertengger di pohon-pohon sialang Candi Koto Mahligai. Betapa harmonis.

Revitalisasi Kawasan Cagar Budaya Nasional Muara Jambi

Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muara Jambi menyimpan kekayaan cagar budaya berupa ratusan candi. Didasarkan pada hasil penelitian para arkeolog, Candi Muara Jambi diperkirakan didirikan pada abad ke-7 hingga abad ke-13 Masehi, sezaman dengan keberadaan Kerajaan Sriwijaya. Dengan luas 3,981 hektar, kompleks Candi Muara Jambi menjadi kompleks percandian terluas di Asia Tenggara. Selain berstatus sebagai KCBN, Candi Muara Jambi juga terdaftar dalam Tentative List Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 2009. Untuk itu, keberadaan Candi Muara Jambi sangat penting sebagai salah satu warisan bersejarah dunia yang layak dijaga kelestariannya.

Status KCBN Muara Jambi ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 256/M/2013. Sementara itu proyek revitalisasi yang dilakukan merupakan tidak lanjut dari dikeluarkannya Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2017 yang menekankan pada ketahanan budaya serta kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia. Pada tahun 2022 lalu, pemugaran, penataan lingkungan dan normalisasi parit dilakukan. Namun, pembangunan kembali baru dilakukan secara besar-besaran sejak Maret 2024 dengan membangun museum dan memugar empat situs Candi yakni Candi Kotomahligai, Candi Parit Duku, Candi Sialang, dan Manapo Alun-Alun.

Baca Juga:  Makan

Anggaran proyek KCBN sebesar Rp600 miliar diambil dari anggaran tahun 2023, dan Rp850 miliar dari anggaran tahun 2024. Pendanaan tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dana Bendahara Umum Negara (BUN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Muara Jambi. Ke depan, proyek pembangunan KCBN Muara Jambi akan difokuskan pada perlindungan alam dan lingkungan setempat. Sebagaimana yang dilansir dari Katadata (13/8/24), KCBN Muara Jambi akan dijadikan sebagai pusat pendidikan, akan dilakukan penataan, serta penguatan ekosistem melalui ekonomi kerakyatan yang berbasiskan kebudayaan tak benda.

Proyek KCBN merupakan proyek revitalisasi terbesar kedua setelah Candi Borobudur. Selain nominal anggaran, proyek ini pun memiliki angan-angan yang tak kalah fantastis. Dalam lima tahun ke depan, KCBN Muara Jambi diharapkan bisa menjadi salah satu destinasi budaya global yang melebihi Angkor Wat di Kamboja. Terkait realistis tidaknya harapan yang disematkan pada proyek revitalisasi KCBN Muara Jambi bukan menjadi titik poin tulisan ini. Namun, dari berbagai puing-puing peninggalan yang ada, seperti halnya arca, prasasti, situs dan termasuk candi yang mengerucutkan pada peradaban Sriwijaya di Tanah Sumatra, rasanya harapan itu bukanlah mimpi di siang bolong. Hanya saja, anggaplah sebagai pengingat bahwa upaya pembangunan sering kali terjebak pada pembangunan fisik tanpa diimbangi dengan pembangunan komunitas. Padahal, komunitas adalah penopang utama dan sekaligus living museum itu sendiri. Selain itu, proyek pembangunan juga perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan sehingga tidak terkesan hanya milik segelintir elite semata.  

Menghubungkan Berbagai Elemen Budaya Lintas Sumatra, Memperkuat Ekosistem Budaya

Borobudur Writers and Cultural Festival ke-13, seperti halnya festival-festival lainnya yang pernah diselenggarakan di KCBN Muara Jambi, merupakan bentuk dukungan yang akan memperkuat ekosistem budaya di Bumi Sumatra. Masyarakat sekitar KCBN, komunitas-komunitas sastra, para seniman, budayawan, dan para pemangku kepentingan yang terlibat termasuk pemerintah daerah maupun pusat adalah elemen-elemen yang akan memperkuat ekosistem budaya hanya jika saling bertemu dan berkolaborasi.

KCBN Muara Jambi tidak sekadar milik masyarakat sekitar candi. Masyarakat perlu diberi ruang yang lebih luas sebab pada dasarnya mereka, termasuk tradisi sosial-religius di dalamnya adalah penopang utama eksistensi candi. Tujuan revitalisasi bukan sekadar menjadikan KCBN Muara Jambi sebagai destinasi wisata yang menciptakan pundi-pundi pendapatan. Namun, lebih dari itu, merupakan upaya visualisasi peradaban besar yang pernah ada di bumi Nusantara sehingga para generasi mendatang tidak mengalami amnesia terhadap sejarah negerinya.

Referensi:

Andhifani, Wahyu Rizky. 2024. “Prasasti Baturaja: Awal Kedatuan Sriwijaya.” Dalam Kedatuan Artefak, Jejaring & Sastra Sumatera. Depok: BWCF Society.

Laksmi, Ni Ketut Puji Astuti. 2024. “Mantra, Yantra, dan Sapatha pada Prasasti Timah Sumatera.” Dalam Kedatuan Artefak, Jejaring & Sastra Sumatera. Depok: BWCF Society.

Mahayana, Maman.S. 2024. “Dunia Mantra.” Dalam Kedatuan Artefak, Jejaring & Sastra Sumatera. Depok: BWCF Society.

Purwanti, Retno. 2024. “Destruksi Arca-arca Masa Sriwijaya.” Dalam Kedatuan, Artefak, Jejaring & Sastra Sumatera. Depok: BWCF Society.

Soedewo, Ery. 2024. “Situs Bongal dalam Perniagaan Global Abad ke-7 -Ke -10 Masehi.” Dalam Kedatuan Artefak, Jejaring & Sastra Sumatera. Depok: BWCF Society.

Sunliensyar, Hafiful Hadi. 2024. “Prasasti Tanduk Kerinci dan Literasi Masyarakat Jambi Kuno. Dalam Kedatuan Artefak, Jejaring & Sastra Sumatera. Depok: BWCF Society.

https://katadata.co.id/berita/nasional/66baf88f39193/kcbn-muarajambi-puzzle-sejarah-indonesia-yang-punya-potensi-besar diakses pada pukul 21.30, 5-12-2024.

KCBN Muarajambi: Mega Proyek Kebudayaan Menakjubkan, Bakal Jadi Sumber Inspirasi dan Pengetahuan | Halaman 2 diakses pada pukul 21.20, 5-12-2024.

Tulisan yang dimuat dalam rubrik Kolom adalah opini pribadi penulis. Opini ini menjadi tanggung jawab pribadi penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi serunai.co

Penulis: Chusnul C

Editor: Aris Setyawan

Related posts

Genjer-Genjer dan Beban Sejarah yang Menggelayutinya

Aris Setyawan

Turba

Aris Setyawan

Widodo, Jembatan Petani Pesisir Kulon Progo

Idha Saraswati

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy