Serunai.co
Ulasan

Kabuki untuk Abad 21: Ichikawa Ebizo

Catatan redaksi: artikel ini ditulis dengan ejaan Soewandi oleh penulis dengan maksud tertentu. Perihal ini sudah dikomunikasikan dan serunai.co mengapresiasi pilihan tersebut dengan tidak mengubahnya menjadi Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Untuk membaca alasan lengkap kenapa penulis menggunakan ejaan Soewandi, sila baca post-scriptum di bagian bawah tulisan.

***

Setiap tahunnja di bulan Djuli, diadaken pertundjukan besar Kabuki di gedung Kabuki-za, di kawasan Ginza, Tokyo. Momen ini tentu bersanding dengan djadwal umum pertundjukan di bulan April (saat musim sakura) dan Oktober (saat musim gugur).

Sebagai salah satu seni pertundjukan tradisional Djepun, Kabuki punja posisi penting dalem perkembangan budaja Djepun umumnja. Malah seringnja, Kabuki dianggep sebagai simbol budaja Djepun itu sendiri. Tak heran, Kabuki diterima oleh UNESCO sebagai salah satu “Warisan Budaja” peradaban manusia. Pertundjukan bulan Djuli kali ini agak luwar biasa. Kartjis pertundjukan malam perdana (4 Djuli 2019) sudah ludes terdjual djauh2 hari. Pula, meski pertundjukan digelar sampek tgl 28 Djuli 2019 nanti, kartjis VIP + kelas satu djuga udeh ludes. Shochiku sebagai perusahaan penjelenggara Kabuki sedjak tahun 1914, tentu tidak perlu chawatir!

Pasalnja, pentas lakon jang disadjiken adalah kisah pandjang lakon “Yoshitsune Senbon Zakura” (Yoshitsune dan Seribu Pohon Sakura). Ini satu lakon klasik jang menuntut dedikasi sang aktor en kesetiaan penonton. Djuga, ini lakon sudah dibawaken oleh banjak aktor kawakan.

Oleh sebab-sebab itu, sang aktor utama dalam pertundjukan ini punja tantangan baru. Ia adalah Ichikawa Ebizo XI. Siapakah ia ini? Mengapa ia membawaken lakon pandjang ini? En, apa jang mendjadiken pentas lakon kali ini luwar biasa?

L’enfant terrible du Kabuki

Dalam usia jang masih tergolong muda (41 tahun), Ebizo-san sudah masuk dalem deretan papan atas aktor Kabuki, Djepun. Memang tidak dapat disangkal, dia lahir dari dan dalam keluarga Kabuki.

Baik ajah dan kakeknja adalah aktor Kabuki utama, en nama keluarga mereka, Ichikawa, adalah salah satu keluarga besar dalam dunia Kabuki. Djadi, tidak heran Ebizo-san sudah mengenal Kabuki luwar-dalem sedari awal.

Namun, memikul nama besar keluarga bukan perkara gampang. Ebizo-san menjadari hal ini. Terlebih, Kabuki sebagai seni pentas tradisional punja tantangan tersendiri di abad 21 ini.

Baca Juga:  Teater yang ‘Bukan-Bukan’ ala Teater Garasi

Pertama, penduduk Djepun jang perlahan menjusut en djumlah orang usia landjut jang relatif stabil. Ini mendjadiken Kabuki hanja dinikmati oleh generasi tua belaka. Kedua, perkembangan tjepat teknologi en media jang meminggirkan seni pertundjukan. Ini mendjadiken publik agak segan menjaksikan pentas lakon Kabuki jang memakan banjak waktu.

Ketiga, harga kartjis Kabuki jang relatif lebih mahal daripada seni pertundjukan lainnja. Sebab, Kabuki memperkerdjaken banjak orang, baik di depan maupun di belakang lajar, baik di atas maupun di bawah panggung.

Ebizo-san sebagai pewaris nama keluarga Ichikawa tentu harus mampu menerusken tradisi pentas Kabuki. Namun, itu tidaklah tjukup. Ia djuga mesti mampu mendjawab en beradaptasi dengan tantangan2 chas abad 21 ini.

Ebizo-san sudah berpengalaman naik pentas bersama-sama dengan ajahnja langsung. Ini tentu didahului dengan banjak latihan. Saat berusia 8 tahun, ia resmi masuk sebagai anggota pentas Kabuki.

Di usia remadja, ia mulai masuk ke dunia drama televisi. Ini tentu berbeda dari generasi-generasi sebelumnja jang semata2 berlatih di atas pentas Kabuki. Lewat drama televisi, Ebizo-san melihat seni dan dinamika media di luwar pentas Kabuki. Ada teknik visual en dramatisasi jang berbeda dari pentas Kabuki jang selama ini dikenalnja.

Selain itu, Ebizo-san termasuk satu dari sedikit aktor Kabuki jang punja pengalaman pentas di luwar negeri. Dari pengalaman ini, ia didorong untuk memperkenalkan Kabuki untuk penonton mantja-negara, tidak semata2 untuk penonton Djepun seperti generasi-generasi sebelumnja. Pula, ini kesempatan baginja untuk melihat perkembangan pentas pertundjukan di luwar negeri jang berguna utk memperkaja pentas Kabuki.

Naritaya Senbon Zakura

Oleh Ebizo-san, lakon pandjang “Yoshitsune Senbon Zakura” (Yoshitsune dan Seribu Pohon Sakura) diberi nafas baru. Bahkan, ia berani “mengubah” djudulnja mendjadi “Naritaya Senbon Zakura” (Naritaya dan Seribu Pohon Sakura).

Naritaya adalah nama resmi kelompok Kabuki jang dipimpinnja, sebagai warisan keluarga Ichikawa. Ini berarti, lakon ini disadjiken dengan gaja chas Naritaya.

Asli lakon ini terdiri dari 15 adegan (5 babak). Mementaskan lakon ini apa adanja bisa memakan banjak waktu. Pada tahun 2003, bertepatan dengan perajaan 400 tahun lahirnja Kabuki, lakon ini dipentaskan keseluruhan apa adanja.

Baca Juga:  Jalan Sunyi Seorang Cadel

Pertundjukan aslinja memakan waktu selama 8 djam. Karena itu, seringnja lakon ini dipotong. Tidak semua adegan dipentaskan, en hanja adegan penting aza jang dipentasken. Itupun, umumnja selama 2,5 djam.

Memilih adegan apa jang “penting” dan apa jang hendak ditampilken tentu djuga bukan hal jang sederhana. Harus menimbang keselarasan alur tjerita agar penonton tidak bingung. Pula, ada hal-hal teknis, seperti ketersediaan kostum, latar panggung, dan berapa banjak aktor jang diperlukan.

Persis inilah jang mendjadi bukti kepiawaian Ebizo-san. Dalem pentas kali ini, lakon ini tampil lengkap selama 5 djam. Ini bukan sekedar keahlian memotong adegan. Namun, penonton dibawa menikmati adegan lakon seperti lajaknja menonton drama televisi. Penonton dibuai lewat dialog jang dinamis dan djuga gerak-tubuh aktor jang penuh simbolis. Karena itu, alur tjerita tetap terdjaga dan penonton tidak mendjadi bosan.

Selain itu, Ebizo-san tampil menakdjubkan dengan memerankan 13 tokoh sekaligus di dalam lakon ini. Tokoh-tokoh jang diperankannja beragam dari perempuan muda, ksatria paruh baja, kakek renta, dan sebagainja.

Ini adalah pertama kalinja dalam sedjarah seorang aktor Kabuki memerankan 13 tokoh sekaligus. Ia mesti mengubah kostum dengan tjepat. Djuga, menjesuaiken gerak tubuh dan intonasi suara dengan karakter jang dibawakennja.

Tidak hanja itu, Ebizo-san djuga menundjukkan kemahirannja lewat “mi-e” (見え). Jakni, pose beku-sesaat chas Kabuki jang menggambarken emosi dan perwatakan tokoh. Di dalam “mi-e”, Ebizo-san mampu memberiken penekanan lewat gerak mata dan djuga mulut (termasuk djuga, lidah!) dengan dramatis, namun tidak berlebihan.

Kita dan Kabuki

Menurut sedjarahnja, kelas menengah di Eropa dan Djepun punja andil dalem mendorong perkembangan seni budaja en djuga pembaharuan di dalamnja. Peran ini jang nampaknja tidak begitu njata di kalangan kelas menengah Indonesia.

Buktinja, menjaksiken Kabuki dirasa belom djadi agenda kebanjakan turis Indonesia saat melantjong ke Djepun. Nampaknja turis Indonesia masih ogah (kagak dojan?) menikmati seni budaja tradisional. Meski sak-benarnja, mereka kelas menengah (atao, karena mereka kelas menengah ngehek?).

Baca Juga:  Dari Pemuda E untuk Dea Anugrah: Sebuah Resensi yang Disadur

Tentu, tidak semua orang harus suka en menikmati Kabuki. Sami mawon, tidak semua orang suka en menikmati pentas Wajang Wong en Kethoprak. Wajang Wong, Kethoprak dan djuga seni pertundjukan tradisional lainnja memang perlu pembaharu2 muda ala Ebizo-san.

Namun, di samping masalah ini, ada soal jang lebih mendasar. Djangan2, ketidaktertarikan kita akan Kabuki adalah djuga tjermin dari ketidakpedulian kita atas pentas seni tradisional di tanah air sendiri?

***

Post-Scriptum:
Perihal edjaan kenapa saya (red: Jafar) menggunakan edjaan Soewandi, ada dua alasan utama:

Pertama, EYDiselewengken adalah edjaan ahistoris. Orde Ba(r)u menjusun EYDiselewengken agar anakmuda melupaken sedjarah. En pelan2, tidak tertarik ama sedjarah. Akibatnja, banjak anakmuda sekarang mengaku kesulitan batja dokumen2 sedjarah.

Karena itu, anakmuda dibikin tunduk en tidak akan menggugat saru-nja kisah sedjarah ala Orde Ba(r)u.

Dalem perkembangannja kemudian, Orde Ba(r)u bikin alasan tambahan: EYDiselewengken utk mengikat tali bahasa serumpun dgn Malaja, Singa-pura2, en Brunei. Dalem kenjataannja, sampek detik ini pun ke semua negara itu tiada menggunaken daripada EYDiselewengken itu. Pula, djarang sekali terdjadi kenal-mengenal en pertukaran karja sastra di antara negara2 jang ngakunja serumpun tersebut.

Dalem kenjataannja, perbintjangan di dalem ASEAN malah menggunaken daripada basa enggres jang kolonial.

Kedua, Tata penulisan kita punja sedjarah pandjang. Kakek-nenek kita menuangken ide, gagasan en gosip (!) dalem berbagai bentuk basa jang ada: Djawi, basa-basa lokal, kandji en Latin/Roman. Pertjampuran basa-basa itu semua memperkaja kita. Ini umumnja terdjadi lewat interaksi sosial-ekonomi (umumnja, di pasar!). Ini semua mendjadi akar daripada kita punja basa persatuan.

EYDiselewengken djustru menghambat (en menghentikan!) proses pertjampuran alami jang telah terdjadi berabad2 sebelumnja tsb. Ia membikin basa kita mendjadi kaku. Ini nampak djelas daripada gaja tulisan mulai dari taon 1980-an. Dokumen2 resmi ala EYDiselewengken terdengar hampa, tiada berbobot, en terkesan pura2.

Pula, masjarakat djuga tidak sepenuhnja menerima basa resmi ala EYD. Dalem kenjataannja, kita punja gaja berbasa lebih banjak dipengaruhi lewat utjapan2 lugas, non-resmi, en dalem bentuk udjaran (oral).

Tentu aza, Orde Ba(r)u bukan jang pertama melakuken pengkerdilan kita punja gaja berbasa. Balai Pusat-tjelaka didirikan gubermen djustru untuk mendisplinken kita punja gaja berbasa. Karja2 tulisan mesti mengikuti edjaan jang dibikin meneer van Ophuijsen. Biar bisa dianggep “sastra”, en biar diterima utk diterbitken. Karja2 tulisan laen dianggep “roman pitjisan” atau setidaknja, “sastra pasar”.

Dalem kenjataannja, djustru buku2 Balai Pusat-tjelaka itu tiada laku di pasar. Masjarakat kita lebih memilih batjaan jang emang harganja sepitjis itu. Bukankah buku jang paling laris pada masa itu adalah buku2 matjem “Kisah Patjar Merah” jang ogah tunduk pada opsir2 Minang di Balai Pusat-tjelaka itu?


Related posts

Kurun: Musik dan Politik Otentik

Aris Setyawan

Wong (Nom) Dermayu Ngomong: Bagaimana Ketercerabutan Dicatat oleh Tangan Pertama

Galih Nugraha Su

Pencarian Spiritual dalam Splitual

Aris Setyawan

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy