Mari langsung kita mulai dengan membahas musik dan kecerdasan buatan. Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence alias AI) telah lahir. Ya, AI telah muncul, dan eksistensinya tidak terelakkan. Meskipun pengembangannya telah dimulai jauh-jauh hari di masa lampau, tidak dapat dimungkiri bahwa sejak beberapa tahun terakhir pengembangan AI telah meningkat ke level tertinggi yang tidak terbayangkan sebelumnya. Termasuk di bidang musik.
Dataisme. Umat manusia di abad ini telah menggunakan dataisme di setiap lini kehidupan. Algoritma adalah senjata, dan big data adalah harta karun. Big Data bak cadangan besar minyak bumi yang diekplorasi, ditemukan, kemudian dieksploitasi dan dikumpulkan.
Tidak dapat dimungkiri, di zaman ini, mesin mengetahui manusia lebih baik dari manusia memahami diri mereka sendiri. Contoh termudah yang lekat dengan keseharian kita sekarang: Spotify dan algoritmanya yang cerdas mampu mengkurasi dan menyusun senarai (playlist) musik yang paling tepat untuk masing-masing pendengar.
Otomasi juga mengambil alih peran buruh di lini produksi pabrik. Mesin tak mudah lelah. Maka, mereka dengan mudah menggantikan manusia yang capek setelah delapan jam bekerja. Dan jangan lupakan fakta bahwa kemenangan Donald Trump dan duduknya pengusaha sayap kanan itu di tampuk kekuasaan Negeri Paman Sam disokong oleh mesin pengumpul big data dari Cambridge Analytica.
Beberapa pihak mungkin gembira dengan kelahiran AI ini. Karena AI dapat membantu dan mempermudah kehidupan manusia dalam banyak aspek. Di sisi lain, beberapa pihak mungkin ketakutan dengan imajinasi distopia bahwa suatu hari akan tiba saat Skynet atau The Matrix menjadi kenyataan: saat mesin dan AI lebih cerdas dari manusia, lalu menjadikan manusia menjadi budaknya. Siapa tuan, siapa budak, semuanya terbalik 180 derajat.
AI dan revolusi industri baru
Di dalam dua buku best seller-nya, Homo Deus dan 21 Lessons for the 21st Century, Yuval Noah Harari menjabarkan dengan komprehensif tentang revolusi industri baru yang disebabkan oleh kelahiran AI. Otomasi di segala aspek jelas tak terhindarkan, Di sini, Harari memprediksi bahwa revolusi industri baru ini akan melenyapkan satu kelas sosial, serta membuat dua kelas sosial baru: kelas pekerja (proletariat) akan muspra, hilang, ini karena lini pekerjaan di production line pabrik-pabrik yang sebelumnya mereka kerjakan akan diambil alih oleh otomasi, AI, dan mesin (robot). Maka, kelas pekerja atau proletariat ini akan malih rupa menjadi apa yang Harari sebut sebagai “useless class”.
Kelas tidak berguna ini akan muncul dalam skala yang luar biasa besar di seluruh penjuru dunia. Mereka tidak bisa bekerja lagi karena semua pekerjaan di pasar kerja telah dimonopoli AI. Secara spesifik, Harari memprediksi revolusi industri baru ini akan terjadi dalam waktu yang sangat dekat. Bahkan, sebenarnya ini sudah dimulai detik ini juga. Baik itu di production line pabrik, atau di meja kantor.
Kelas sosial kedua yang muncul adalah apa yang Harari sebut sebagai “new bourgeoisie”, kasta paling kaya yang mampu mengontrol segalanya. Dengan kekayaan dan kekuasaan tak terhingga yang mereka miliki, mereka mampu mengendalikan segalanya. Dan juga, mereka memiliki privilege (hak istimewa) menggunakan AI untuk agenda personal: algoritma untuk memprediksi kecenderungan pasar, mass surveillance (pengawasan massal) untuk mengontrol khalayak, dan lain sebagainya.
Tidak diragukan lagi, dalam revolusi industri baru ini, jurang segregasi atau pemisahan antara useless class dan wealthiest class akan menganga sangat lebar.
Kembali ke topik saat Harari menjabarkan bahwa semua lini pekerjaan akan diambil alih oleh AI dan mesin. Menurut pandangannya, pekerjaan yang dimaksud bukan hanya yang berada di assembly lines pabrik atau gedung perkantoran. Lebih lanjut, Harari menyatakan bahwa seiring berjalannya waktu, tidak akan lagi ada pekerjaan yang aman dari otomasi. Bahkan dalam dunia seni sekalipun, AI akan menimbulkan dampak luar biasa. Artist, atau lebih spesifik musisi, harus menaruh perhatian pada isu ini. Karena AI pun akan mengambil alih pekerjaan mengkomposisi musik yang mereka kerjakan.
AI dan music composing
Dalam kurun berabad-abad, manusia telah menganggap seni (musik) sebagai entitas yang paling adiluhung. Ini karena musik mampu mengeksplorasi, kemudian menjabarkan emosi, perasaan, akal budi umat manusia. Musik disimpulkan sebagai produk kebudayaan yang sangat berharga dan suci oleh umat manusia.
Tetapi, apakah iya musik dapat dianggap sehebat itu hanya karena ia mampu menjabarkan emosi? Sebab, jika kita menilik lebih dalam, emosi bukanlah sebuah fenomena yang mistis. Emosi adalah buah dari proses biochemical.
Maka, di masa depan yang tidak terlampau jauh algoritma dan mesin akan mampu menganalisa data biometric yang mengalir dari sensor yang berada dalam tubuh manusia, algoritma ini mampu menentukan tipe kepribadian, perubahan mood, dan kemudian menghitung hasil emosional dari sebuah musik dan lagu tertentu—bahkan akor musik spesifik—memengaruhi secara berbeda di masing-masing orang.
Dari semua bentuk seni, barangkali musik adalah salah satu cabang seni yang paling klop dengan ihwal analisis big data. Kenapa? Sederhana saja, sebenarnya musik adalah sejenis equation matematika. Di satu sisi, input dari musik adalah pola-pola proses electrochemical gelombang bunyi. Di sisi lain, output musik adalah pola-pola electrochemical badai neural. Maka, dalam beberapa dekade, Kecerdasan buatan (AI) dan algoritma canggihnya akan mampu menganalisis jutaan big data dari karya-karya musik yang telah manusia gubah selama berabad-abad, dan kemudian memprediksi bagaimana input musik menghasilkan output musik.
Saat kecerdasan buatan lahir, tampaknya mereka mampu mengambil alih pekerjaan menggubah musik. Logikanya, musik adalah matematika, kalkulasi algoritma. Maka, kecerdasan buatan akan dengan mudah mengambil alih pekerjaan musisi ini.
Sebenarnya kita tidak perlu melihat terlampau jauh di masa depan. Menilik ke belakang, sebenarnya proses kreatif pengkomposisian musik oleh AI ini sudah terjadi. Pada 2018, penyanyi-penggubah lagu Taryn Southern merilis albumnya dengan tajuk I AM AI. Yang menarik adalah, di samping lirik yang ditulis oleh Southern, musik untuk album ini ditulis atau dikomposisi oleh sebuah kecerdasan buatan bernama Amper.
Bentuk musik yang dikomposisi tentu saja merupakan padu-padan musik pop dan EDM. Artinya, bentuk musik yang Amper gubah adalah tipikal musik pop niaga yang easy listening dan tidak dapat dibandingkan dengan misalnya kompleksitas simfoni Debussy atau Mahler. Tetapi, album dengan single pertama bertajuk “Break Free” ini adalah bukti bahwa kita tidak akan dapat menghindari kebangkitan kecerdasan buatan dalam proses kreatif musikal.
Lagi, apabila kita menilik agak jauh ke belakang, seharusnya kita tidak terlalu terkejut dengan fakta bahwa AI telah lahir dan berperan dalam dunia komposisi musik. Sebagaimana peneliti Jose David Fernández dan Francisco Vico jabarkan dalam artikel akademik mereka bertajuk “AI Methods in Algorithmic Composition: A Comprehensive Survey”. Artikel ini terbit dalam Journal of Artificial Intelligence Research:
“Komposisi algoritma adalah otomasi baik sebagian atau total dalam proses komposisi musik melalui media komputer. Sejak 1950, teknik komputasi yang berbeda terkait AI telah digunakan untuk komposisi algoritma.
Dengan terbatasnya teknologi komputasi di masa baheula itu, kecerdasan buatan (AI), algoritma, dan mesin telah memiliki peran sentral dalam proses kreatif komposisi musik. Berkaca dari kasus Taryn Southern dan kolaborasinya dengan Amper, kita kemudian dapat membuat sebuah kesimpulan: sekarang AI telah menggubah musik easy listening padu-padan pop niaga dan EDM. Siapa tahu, dalam beberapa waktu ke depan, AI akan mampu menciptakan the next greatest symphony ever created?
Refleksi
Di samping cara konvensional untuk mendengarkan musik di format seperti cakram padat, piringan hitam, atau kaset, tidak dapat dimungkiri bahwa di masa sekarang kebanyakan orang mulai berpindah mendengarkan musik melalui layanan streaming musik. Sekali lagi, AI, big data, dan algoritma berperan penting di sini. Di titik ini, kita dapat secara langsung menyebut raksasa layanan streaming musik seperti Spotify, Apple Musix, Joox, Deezer, dan lain sebagainya. Tak diragukan lagi, layanan musik ini mengetahui diri kita lebih baik dari kita memahami diri kita sendiri.
Sebagai contoh, Spotify dan algoritma canggihnya mampu mengkurasi nada-nada yang paling tepat untuk setiap emosi manusia. Spotify memiliki senarai musik saat dirimu tengah dilanda gundah gulana setelah putus dengan pacar, atau musik rock untuk menggenjot mood. Atau, tentu masih segar di ingatan kita saat ada satu skandal terjadi: album Scorpion milik rapper Drake muncul di setiap senarai musik dan saran (suggestion) musik sebagai bentuk promosi masif. Artinya? Sekalipun dirimu tidak ingin mendengarkan Drake, albumnya akan tetap muncul di halaman muka Spotify-mu.
Scorpion bahkan menyusup masuk ke senarai musik yang sebenarnya nggak nyambung banget dengan jenis musik Drake. Ya, di tangan kuasa yang tepat (baca: label besar industri musik), Spotify dan algoritma cerdasnya dapat menjadi senjata pencetak selera.
Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari isu revolusi industri digital baru, kelahiran AI, dan bagaimana ihwal ini akan membentuk musik yang kita dengar di hari esok? Apakah kita harus ketakutan setengah mati karena AI akan mengambil alih peran kita dalam proses kreatif pengkaryaan seni (musik)?
Jawabannya adalah ya dan tidak. Ya, kita perlu cemas dan ketakutan jika kita tetap diam dan tidak berupaya memperluas perspektif kita, kemampuan dan bakat kita, dan selera musik kita. Tidak, kita tidak perlu ketakutan jika kita, umat manusia, selalu belajar, belajar, dan belajar hingga melampaui garis batas, kita sebagai manusia harus memperluas kemampuan dan bakat musikal kita, perspektif dan selera kita.
Bagaimanapun, AI dan mesin adalah karya kita, buah dari akal budi kita. Kita yang seharusnya mengendalikan mereka, bukan sebaliknya saat mesin berkuasa kemudian memperbudak manusia sebagai sumber energi mereka. Persis seperti apa yang digambarkan dalam dunia distopia The Matrix.
Ya, AI telah mengkomposisi musik pop-EDM yang easy listening untuk Taryn Southern. Tetapi, mari kita berpikiran optimistis bahwa AI tidak akan dapat melampaui karya megah dan sophisticated a la simfoni Tchaikovsky, atau world music nan eksotis dari gamelan Bali atau beat tribal dari musik pedalaman Afrika.
Tulisan yang dimuat dalam rubrik Kolom adalah opini pribadi penulis. Opini ini menjadi tanggungjawab pribadi penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi serunai.co
2 komentar
Big data memang mengerikan ya?
[…] Spotify dan algoritma canggihnya mampu mengkurasi nada-nada yang paling tepat untuk setiap emosi man…. Spotify memiliki senarai musik saat dirimu tengah dilanda gundah gulana setelah putus dengan pacar, atau musik rock untuk menggenjot mood. Spotify bisa tahu jika kamu sedang sedih. Atau, tentu masih segar di ingatan kita saat ada satu skandal terjadi: album Scorpion milik rapper Drake muncul di setiap senarai musik dan saran (suggestion) musik sebagai bentuk promosi masif. Artinya? Sekalipun dirimu tidak ingin mendengarkan Drake, albumnya akan tetap muncul di halaman muka Spotify-mu. […]