Serunai.co
Ulasan

Soleluna, Post-Rock, dan Imajinasi Penjelajahan dalam Album Jelajah

soleluna
Soleluna (Foto: Restu Aka)

Soleluna, duo post-rock asal Makassar telah menelurkan album dengan tajuk Jelajah yang mengeksplorasi impresi tentang luar angkasa. Dengan musik post-rock yang mampu membawa pendengar mulai dari suasana perkenalan lagu secara perlahan sampai dengan klimaks, Soleluna mengajak pendengar untuk mengejawantahkan imajinasi penjelajahan seantero kosmos. Karena kita manusia, sejatinya adalah pengembara di hamparan muka Bumi, dan keluasan semesta.

Bedhidhing wis teka“, bedhiding sudah datang, begitu kata orang tua dulu ketika menjumpai keadaan suhu di malam hari tiba-tiba terasa dingin, padahal di hari-hari sebelumnya tidak begitu. Itu adalah ungkapan untuk menandai awalan musim kemarau, orang Jawa mengenal sistem kalender tradional musim bernama Pranata Mangsa, keadaan tersebut merupakan ciri Mangsa Sada (Asuji) telah berlangsung, di ilmu modern disebut peralihan musim hujan ke musim kemarau atau secara jamak dikenal sebagai musim pancaroba. Di waktu inilah di awal mula sepanjang malam kita akan banyak menemukan bintang bertaburan di langit. Tentu jika kita memandang langit dari tempat yang minim polusi cahaya. Untuk urusan ini orang yang tinggal di kabupaten memiliki privilese, karena tempatnya cenderung mendukung aktivitas mengamati langit di sepanjang malam.

Bulan Juni biasanya adalah pintu dibukanya musim berburu Jalur Susu (Milky Way) atau sabuk Bimasakti di pulau Jawa. Ketika musim tersebut datang saya akan selalu ingat salah satu album musik yang selalu menemani saya menyambut momentum tersebut. Pada tengah malam saat sendiri memandang rasi bintang, saya selalu ditemani gawai yang memutar album karya Soleluna bertajuk Jelajah. Ketika sedang menulis tulisan ini pada 7 Juni 2025, album yang dirilis empat tahun lalu, tepatnya 4 April 2021 tersebut sudah tidak tersedia di platform streaming musik digital. Namun, untuk dapat menikmati musik mereka kalian masih bisa membelinya via laman Bandcamp, atau menggunakan cara konservatif untuk mendengarkan musik; berburu rilisan fisiknya.

Elevation Records sebagai label yang menaungi Soleluna memang mencabut katalog artis-artis mereka—tidak hanya Soleluna—dari Digital Service Provider (DSP). Menurut Elevation Records, meski streaming mempermudah pendengar mengakses musik para musisi, platform streaming tersebut tidak memberikan keuntungan finansial yang cukup untuk memberi kehidupan yang layak, baik untuk label maupun artisnya. Oleh karena itu, memburu rilisan fisik menjadi keputusan yang baik dalam rangka mendukung artis dalam berkaya, alih-alih hanya sebagai pajangan atau gengsi eksklusivitas penikmat musik kiwari. Atau bisa juga membeli produk digital langsung dari laman seperti Bandcamp, karena keuntungan royaltinya sebagian besar langsung masuk kantong para artis.

Soleluna berarti matahari dan bulan, perwujudan dari duo yang diisi Iqbal Abdi sebagai peramu synthesizer dan bebunyian program elektronik, sementara Randy Rajavi menggawangi gitar akustik maupun gitar elektronik yang akan kita dengarkan di sepanjang album ini. Dalam suatu diskusi virtual peluncuran album Jelajah, Iqbal menjelaskan ia lebih banyak terinspirasi musik dream-pop dan down-tempo sehingga Soleluna dianggap masuk dalam katalog genre tersebut. Namun, Randy selalu bilang album ini adalah musik ambiens.

Musik ambiens adalah genre musik yang lebih menekankan suasana dan pengalaman meditatif dalam menikmati musik ketimbang menjelajahi struktur, nada,  melodi, ritme yang biasa ada di musik pada umumnya. Dalam pengertian tersebut, Soleluna memang berhasil mengeksplorasi suasana luar angkasa. Namun, tambahan ekplorasi yang diramu, seperti memainkan gitar elektronik dalam memberikan efek dramatis, membunyikan gitar akustik untuk memberi kesan analog, memprogram bunyi-bunyian sampling elektronik membuat warna dan komposisi musik mereka bukan hanya sekadar ambiens. Eksplorasi tersebut menempatkan Soleluna masuk ke dalam kerangka musik post-rock, dengan nuansa menarik karena lekat sentuhan gitar akustik.

Post-rock sendiri merupakan bagian dari eksperimental rock yang lebih mengedepankan tekstur, timbre dan kesan atmosferik, ketimbang musik rock pada umumnya yang memiliki struktur lagu, vokal, power chord gitar, efek distorsi dan ritme yang kuat. Seperti ambiens, musik post-rock kebanyakan tidak disertai vokal.

Soleluna dan Imajinasi Penjelajahan

Soleluna membuka album Jelajah dengan lagu berjudul sama dengan albumnya. Lagu tersebut diawali dengan suara ambiens ala musik latar fiksi ilmiah bertema ruang angkasa, kemudian ceramah The Lord Carl Sagan masuk. Ceramah tersebut berbunyi “We were wanderers from the beginning, we knew every stand for tree for a hundred miles, when the fruits or nuts were ripe we were there…”. Ceramah ini diambil dari salah satu monolog yang disarikan dari bukunya berjudul Pale Blue Dot: A Vision of the Human Future in Space (1994). Ceramah yang dilakukan Carl Sagan dalam sepertiga awal lagu ini menjelaskan bahwa kita, homo sapiens yang sudah berevolusi sejauh ini awalnya adalah hewan-hewan pengembara di hamparan planet bumi. Pengembaraan itu akan tetap manusia lakukan sampai kapan pun dengan penemuan-penemuan baru seperti teknologi yang semakin maju dan membawa manusia pada penjelajahan tiada ujung.

Baca Juga:  Barisan Nisan di Tengah Pengetatan Anggaran dan Jor-Jor-an Keamanan

Setelah monolog Carl Sagan berhenti, kemudian masuklah petikan gitar akustik Randy, diselimuti alunan tipis synthesizer yang sebelumnya sudah menyertai ceramah Carl Sagan. Penjelajahan sudah mulai dilakukan. Sebagaimana musik post-rock pada umumnya, lagu ini akan mencapai puncak eargasm di bagian sepertiga lagu menuju akhir. Di akhir lagu menuju outro, suara Carl Sagan kembali terdengar mengucapkan kalimat “I’m tormented with an everlasting itch for things remote, I love to sail forbidden seas.” Ini adalah nukilan dari kalimat Herman Melville di novelnya Moby-Dick. Kemudian sound ambiens menuju fade-out hadir, menandakan penjelajahan yang sungguh menawan. Dalam satu lagu pembuka tersebut bisa dibayangkan begitu asyik jika mengaktifkan theater of mind, membiarkan isi kepala membangun cerita imajinasi berdasarkan lagu yang kita dengarkan pada album ini.

Lagu kedua berjudul “Nebula”. Track ini komposisinya tidak jauh berbeda dengan lagu “Jelajah”, diawali dengan suara ambiens dari synthesizer kemudian ditumpuk dengan petikan gitar akustik Randy yang lembut. Gebukan snare, tom-tom, dan bass drum mulai masuk diikuti bassline yang sound-nya dipertebal, menandakan lagu ini berubah ke suasana yang berbeda. Sembari mendengarkan lagu ini kita bisa sedikit berimajinasi serasa kita sedang mengawang-awang di luar angkasa dan dari kejauhan menyaksikan nebula sedang berdansa. Ada perpaduan gas, debu dan plasma yang berwarna-warni cantik dari jarak ribuan tahun cahaya. Namun, kita bisa memandang semuanya dengan mata telanjang. Namanya juga imajinasi.

Lagu ketiga dalam album ini berjudul “Ringkih”. Dari penamaan judulnya, lagu ini menyentil hal subtil dari dalam diri manusia: kerapuhan dan kelemahan. Saat album ini dirilis, dunia sedang dilanda pagebluk COVID-19. Setidaknya per 8 Juni 2025, 7.096.187 orang meninggal dunia karena pandemi COVID-19, dan “Ringkih” mengingatkan akan sisi kemanusiaan kita. Lagu berdurasi 6 menit 39 detik ini dimulai dengan petikan halus gitar akustik yang kemudian lambat laun diikuti suara ambiens dengan perpaduan suara menyerupai violin dan piano yang diprogram Iqbal. Semakin lama kita akan dibawa Soleluna untuk mengunjungi hal-hal yang tidak menakjubkan dari perjalanan dan penjelajahan manusia. The dark side of human: hilangnya habitat satwa karena kerusakan hutan yang disebabkan oleh manusia, perang yang tidak memenangkan siapa-siapa, pemanasan global dan krisis iklim, kantong-kantong mayat akibat serangan virus corona, semua terbayang di kepala ketika mendengarkan lagu ini. Dalam pencapaian-pencapaian kerja kolektif manusia yang menakjubkan selalu ada residu yang kadang kita acuh tak acuh dengan residu itu, dan itulah keringkihan kita sebagai manusia.

Menuju sepertiga akhir lagu terdengar gumaman semacam lirik yang diucapkan mengiringi klimaks lagu ini. Walaupun terdengar samar dan kemudian menjelma menjadi harmoni dan menyatu bersama melodi lagu. Saya bersusah payah untuk bisa menafsirkan apa gumaman yang diucapkan entah Iqbal atau Randy. Namun, dari semua rilisan fisik album ini, mulai kaset, cakram padat, dan piringan hitam, tidak satu pun disertai keterangan tentang apa makna gumaman yang termuat di lagu ini. Saya sebetulnya berekspektasi bahwa gumaman tersebut adalah benar sebuah lirik yang ditulis dalam bentuk kalimat, kemudian lebih lanjut bisa disertakan informasi lembaran lirik yang menerangkan isi gumaman tersebut dalam rilisan fisiknya. Namun, ekspektasi saya tidak terwujud. Penjelasan makna gumanan itu tidak ada.

Baca Juga:  Kurun: Musik dan Politik Otentik

Setelah diajak merenung, sekarang Soleluna menawarkan suasana baru di track keempat berjudul “New Ripple”. Lagu ini merupakan komposisi paling ceria di album ini. Seperti membawa harapan baru, semangat baru, dan suasana baru untuk menjadi riak-riak baru dalam penjelajahan berikutnya. Dalam lagu ini pula Soleluna terdengar seperti band elektronik sepenuhnya. Dominasi akustik yang terdengar di tiga lagu sebelumnya sirna. Tempo yang dimainkan dalam lagu ini pun mengajak kita untuk berlari. Namun, cara Soleluna mengakhiri lagu ini sangat kasar dan lumayan mengganggu, seperti tergesa untuk diakhiri, fade-out yang diramu tiba-tiba terdengar patah, kemudian lagu sudah selesai dan berganti ke track selanjutnya, membuat pendengar kaget. Menuju akhir dari penjelajahan album ini, kita bertemu dengan lagu berjudul “Sky Fall”. Lagu dengan durasi paling panjang di album ini yaitu 11 menit 40 detik. Sama dengan “New Ripple”, di “Sky Fall” kita tidak akan menemukan sentuhan akustik seperti di tiga lagu awal.

Suasana penjelajahan pada album ini diperkuat dengan rilisan fisik yang menampilkan visual sampul depan yang sungguh menawan dibuat oleh Aditia Wardhana. Sampul depan ini memperlihatkan potret dua astronaut sedang berhadapan punggung seakan bersiap melakukan sebuah misi penjelajahan. Sementara sampul belakang memperlihatkan foto penemuan arkeologi oleh Maxime Aubert, salah satu tim arkeolog dari Griffith University yang bekerja sama dengan Universitas Hasanuddin serta Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan. Foto itu menampilkan lukisan gua tertua sedunia yang ada di gua Leang Tedongnge yang berada di Sulawesi Selatan, yang mana diperkirakan sudah ada sejak 45.500 tahun lalu.

Ada hal yang mengganjal setelah beberapa kali mendengarkan album ini. Saya awalnya mengira track ke-1, “Jelajah” dengan track ke-2, “Nebula” merupakan dua lagu yang menyambung. Namun, setelah saya mendengarkan ulang antara outro “Jelajah” dan intro “Nebula”ternyata patah atau tidak nyambung. Mungkin sebenarnya memang menyatu, tapi terdengar patah karena ada sunyisekian detik di antara selesainya lagu “Jelajah” dan sebelum musik kembali terdengar di awal lagu “Nebula”. Tapi sebenarnya album ini memang tidak dirancang sebagai album konseptual yang mana lagu pertama sampai terakhir menyatu. Saya membayangkan bahwa album dengan tema yang jarang disentuh musisi post-rock Indonesia yaitu impresi luar angkasa akan terdengar lebih khusyuk apabila seluruh lagunya berkesinambungan atau tidak berjeda. Seperti yang dilakukan Explosions In The Sky pada album mini The Earth is Not a Cold Dead Place (2004).

Membicarakan album dengan tema luar angkasa tentu tidak afdal kalau absen menyebut bagaimana Brian Eno meramu album Apollo (1983). Album tersebut merupakan salah satu pionir cikal bakal musik ambiens tentang impresi luar angkasa. Soleluna sendiri terinspirasi dari kerja-kerja Brian Eno, mengingat dalam sampul penjualan CD album Jelajah terdapat tulisan “Brian Eno Inspired Masterwork. Five Year In The Making”.

Hal-Hal seputar Rekaman dan Penjelajahan

soleluna
Voyager Golden Record (Foto: Fity Club)

Hal pertama yang saya lakukan setelah mendengarkan album ini pertama kali secara penuh adalah melihat report Voyager I dan Voyager II. Membicarakan luar angkasa yang berkaitan dengan rekaman musik tidak lengkap apabila melewatkan untuk mengunjungi ingatan tentang Voyager I dan Voyager II, wahana antariksa tanpa awak yang diluncurkan NASA pada tahun 1977 ini merupakan aktualisasi dari eksplorasi manusia yang Carl Sagan sebutkan di awal album ini. Wahana antariksa tanpa awak ini awalnya membawa misi utama untuk sampai pada Planet Jupiter dan Saturnus dan terbang di sekitarnya sembari mengumpulkan data kemudian dikirimkan kembali ke Bumi. Namun, dua wahana tanpa awak tersebut melampaui misi utamanya dan hingga hari ini sudah berada di luar tata surya kita sehingga menjadi salah dua objek buatan manusia yang melanglang buana paling jauh dari Bumi.

Baca Juga:  Don’t Look Up: Ilustrasi Apokaliptik yang Rasional

Selain itu, dua wahana antariksa tanpa awak tersebut dibekali sebuah Golden Record yang dipasang di sisi panel bagian utama. Pelat ini merupakan sebuah piringan emas berisi rekaman suara-suara yang ada di Bumi. Tujuan utama menanam Golden Record di dua wahana antariksa tanpa awak tersebut adalah membawa informasi kapsul waktu dari Bumi dengan harapan di waktu yang entah kapan ada entitas non-human di kosmos dapat menemukan benda tersebut. Seperti kata Carl Sagan “The spacecraft will be encountered and the record played only if there are advanced spacefaring civilizations in interstellar space”. Selain rekaman suara, piringan emas ini membawa 116 gambar yang menjelaskan hal-hal yang ada di bumi. Walaupun dalam pikiran pesimistis, agak sulit membayangkan entitas non-human—kalau ada—yang tentu berbeda kultur lalu diharapkan bisa mengerti physical unit definition, atau mathematical definitions, atau solar system parameter, atau fetus diagram atau DNA structure yang ada di antara gambar-gambar tersebut.

Mendengarkan album Jelajah ini mengingatkan pada hal-hal yang pernah dan akan selalu dilakukan manusia untuk memenuhi sifat pengembara, baik dari zaman batu sampai menjadi manusia modern seperti sekarang. Saya membayangkan suatu saat Golden Record itu ditemukan entitas non-human—lagi-lagi jika ada—yang kemudian mengetahui keberadaan Bumi, lalu di waktu yang entah kapan mereka mendatangi kita (tentu saja dengan anggapan bahwa mereka sudah berhasil memutar piringan emas tersebut). Ketika mereka bisa pelesiran ke Bumi dengan mudah atau sebaliknya, maka merekomendasikan album Jelajah milik Soleluna kepada entitas non-human merupakan ide yang tidak buruk-buruk amat.

Makassar dan Post-rock

 Hal yang tidak saya sangka kemudian adalah Soleluna lahir di Kota “Anging Mamiri”. Makassar adalah kota pesisir dengan bau asin dan matahari tercium setiap hari. Karena dalam kepala saya musik post-rock terasosiasi dengan cuaca dingin dan band-band pengusungnya berasal dari wilayah dengan cuaca dingin. Misalnya Sigur Rós dengan bentang alam berselimut salju Islandia, Mono dengan musim dingin Jepang, Explosions In The Sky dengan salju Texas. Bahkan untuk band post-rock di Indonesia saya akan membayangkan mereka lahir di Bandung seperti Under The Big Bright Yellow Sun dan Echolight. Karena asosiasi tersebut yang kadung melekat di kepala, saya bahkan berharap ada band post-rock yang lahir dari daratan Dieng atau daerah Bromo. Walaupun kemudian ada pula yang lahir dan tumbuh di Lampung seperti Alaskaeight dan Semiotika dari Jambi, atau Niskala, Buktu dan Individual Life yang lahir di Yogyakarta, dalam konteks ini ketiga kota tersebut bersuhu panas. Meski begitu, tak pernah terlintas dalam pikiran saya sebelumnya bahwa musik post-rock akan mulai tumbuh mengagumkan di Pulau Sulawesi.

Dalam keilmuan Geografi Musik, salah satu cabang keilmuan yang mempelajari kaitan musik dengan ruang (spasial), disebutkan bahwa ada pengaruh lanskap geografis atau pengalaman spasial yang membentuk musik di daerah tersebut. Seperti yang dikemukakan Ray Hudson dalam penelitiannya berjudul Regions and place: music, identity and place (2006), “No doubt that music—in both its production and consumption—can be an important influence in shaping the typically hybrid identities of people and places, of engendering a sense of place and deep attachment to place”.  Karena musik tidak diproduksi di ruang hampa, sehingga musik tidak mungkin dipisahkan dengan ruang. Bentang alam, lingkungan yang beragam, pengalaman spasial seseorang, dapat memengaruhi gaya musik yang berkembang di tempat tersebut, lebih jauh lagi dapat menciptakan sebuah identitas suatu tempat.

Tidak ada penjelasan pasti mengapa band post-rock punya kecenderungan tumbuh di kondisi geografis tertentu. Memang sudah saatnya asosiasi semacam itu dihilangkan dari kepala, dan kita nikmati saja janin-janin post-rock yang mulai tumbuh di sepanjang kepulauan Indonesia ini.

Selamat menjelajah dan memburu potret benda-benda langit, kemarau is coming, kawan!

Penulis: Restu Aka

Editor: Aris Setyawan

Related posts

Kabut Putih hara dan frau: Daya Tumbuh dan Harap yang Berlipat

Michael H.B. Raditya

Stambul Arkipelagia, Vol. 1: Simulakra di Negeri Porak Poranda

Isma Swastiningrum

Orang-Orang Gembel Perumahan dan Pujian atas Karya DOM 65

Falah Rahmanda

Tinggalkan komentar

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy