Sebuah rap atau hip hop sopan? Apa yang dapat dibayangkan mengenai sebuah musik rap yang sopan? Susah bukan? Jika Anda membayangkan lagu-lagu rap yang terkenal seperti “Online”-nya Saykoji atau “Ya Sudahlah”-nya Bondan & Fade2Black, Anda harus bertanya kepada diri sendiri: apa yang sopan dalam lagu rap?, kemudian menggelinding menjadi: kesopanan seperti apa yang dilanggar dalam lagu rap?
Mungkin, pertanyaan-pertanyaan itu malah akan menghasilkan pertanyaan lain. Memangnya, ada rap sopan? Apabila berkaca dari kelahiran hip hop dengan elemen-elemen pengusungnya dari Bronx di New York, Amerika Serikat, rasanya hampir tidak mungkin. Sebagai sebuah kebudayaan yang dilahirkan orang-orang Afro-Amerika di daerah kumuh dan pinggiran (ghetto), hip hop dan musik rap muncul sebagai medium untuk keresahan, perlawanan, dan ketidakadilan yang mereka alami. Susah untuk membayangkan manusia yang hidup dalam keadaan terjepit untuk berlaku dan mengaku bahwa keadaan baik-baik saja. Situasi sulit bagaimanapun harus diungkapkan sekeras-kerasnya.
Lalu, bagaimana dengan rap sopan?
Buku tipis Rap Sopan: Menilik Hip Hop Indonesia Periode 1990-an karya William Yanko ini setidaknya bisa memberi jawaban. Terutama untuk konteks lagu-lagu rap Indonesia periode 1990-an atau setidaknya saat Orde Baru masih merajai.
Rezim otoriter Orde Baru menekan kebebasan, memberlakukan sensor, hingga yang terburuk melanggar hak asasi manusia (HAM). Kebebasan berekspresi dalam kesenian dan bersuara melalui media seperti surat kabar dan radio dibatasi. Satu-satunya stasiun televisi, Televisi Republik Indonesia (TVRI) dikuasai pemerintah. Konten-konten yang ditayangkan telah disaring sedemikian rupa. Beberapa jenis musik maupun lagu dilarang peredarannya agar sesuai selera penguasa.
Dalam lingkup suasana yang penuh sensor itu, pada awal 1990-an, hip hop sampai di Indonesia. Para pelaku yang didominasi anak-anak muda dengan dengan cepat memanfaatkan hip hop sebagai media untuk melawan dominasi Orde Baru yang mengatur segala lini kehidupan warga negara. Elemen-elemen dalam hip hop digunakan untuk melawan ketertiban yang yang dibangun rezim. Grafiti dan breakdance atau tari kejang, dan musik rapmenjadi wahana sekaligus simbol ketidakpuasan atau menolak kepatuhan yang mengungkung.
Segera, hip hop mendapatkan respons dari banyak kalangan. Seperti yang ditulis oleh Husein Abdulsalam di Tirto.id, banyak pejabat di Indonesia yang menilai breakdance dengan negatif. Mulai dari menganggap breakdance menunjukkan kemerosotan moral pemuda, budaya asing yang perlu dicegah, sampai usaha untuk mengatur penyelenggaraan breakdance secara ketat hingga pelarangan secara resmi. Sementara itu, Menteri Riset dan Teknologi B.J Habibie menganggap, sebagaimana ditulis oleh William, “tidak ada seni dalam genre rap dan menggunakan bahasa yang menjijikan serta vulgar tanpa nilai sastra di dalam liriknya (hlm. 33).”
Jika komentarnya sepedas yang dilayangkan B.J Habibie, bagaimana musik rap, atau lebih tepatnya lirik era 1990-an disusun?
Inilah inti dari buku tipis ini. Menurut William, lagu-lagu rap Indonesia tahun 1990-an cenderung menggunakan bahasa yang cukup sopan. Tidak ada frasa-frasa yang vulgar. Lirik dibuat bermain-main dan tema yang diambil tidak mengarah secara langsung menentang atau mengkritik kekuasaan. Penghindaran seolah dilakukan dengan sengaja agar suara yang disampaikan tetap ada dalam batas aman, tetapi sekaligus sebagai manifestasi dari keresahan, sehingga kritik sosial tetap ada dalam muatan lagu-lagu rap sopan.
Ada empat lagu dalam buku ini yang dijadikan objek ulasan. Pertama, ada “Bebas” dari Iwa-K. Lagu yang begitu populer dengan video klipnya yang khas ini dirilis pada 1994. Seperti judulnya, lagu ini membicarakan kebebasan yang ingin digapai. Topik seperti keluar dari masalah yang merepotkan, aturan tak beralasan yang mengikat, dan interaksi yang hangat dengan orang lain disinggung. Metafora sederhana digunakan untuk memperjelas maksud dari lagu ini. Sebagai contoh, gambaran anak kecil yang berlari telanjang sambil tertawa tanpa perlu khawatir. Soal lagu ini, William menyebut, “Di era ketika pemerintah mengatur semua bentuk media dan interaksi sosial, mengatakan bahwa seseorang ingin bebas dari peraturan dapat dianggap sebagai tindakan pembangkangan atau subversif (hlm. 37).”
Selanjutnya ada “Borju” dari grup rap Neo. “Borju” dalam lagu ini mengacu pada kelas borjuis. Dalam konteks Indonesia saat itu, borjuis lebih dekat dengan kelas menengah mapan dengan nilai-nilai materialistik dan sikap konvensional. Sebuah kelas yang tumbuh selama periode Orde Baru, sementara ketimpangan dan masalah kemiskinan tidak tertuntaskan. Dalam lagu ini, Neo mengisahkan seorang borjuis dengan kehidupannya yang mewah. Penuh pernak-pernik yang melekat dalam kesehariannya. Dalam satu kesempatan, Neo mengatakan, kelas borjuis yang disinggung di dalam lagu itu adalah mereka sendiri. Namun, Neo melakukan kritik diri demi kesopanan, karena membicarakan orang lain terutama kejelekannya adalah bentuk ketidaksopanan di Indonesia. Secara halus, Neo melakukan kritik sosial dan ekonomi dengan membicarakan keberadaan orang lain, yakni kelas “borju”, melalui diri mereka.
Lagu “Mati Lampu” dari Paper Clip berbicara mengenai kritik infrastruktur era Orde Baru. Lagu yang dapat ditemukan dalam album Pesta Rap 2 ini, bercerita tentang keluarga yang sedang menonton film di televisi, tetapi tiba-tiba listrik padam. Keluarga itu lalu menyalakan lilin dan tidak melakukan apapun, hanya berdoa berharap listrik hidup kembali. Lagu terkait erat dengan situasi infrastruktur kelistrikan yang belum merata. Pemadaman listrik yang sering terjadi di pelosok-pelosok karena gangguan cuaca. Paper Clip bermaksud mengeluhkan kesenjangan dan masalah infrastruktur secara implisit, tidak secara terang-terangan.
Terakhir ada “Anak Jalanan” oleh X-Crew yang berbicara tentang kehidupan anak jalanan. Lagu yang juga termuat dalam Pesta Rap 2 ini, tidak berbicara secara negatif, dalam arti menganggap anak jalanan sebagai benalu atau perusak pemandangan. X-Crew menceritakan anak jalanan dari kondisi sosial yang melingkupinya. Mulai dari kondisi anak jalanan dan optimisme yang dimiliki anak jalanan dalam keadaan yang terbatas untuk menjadi menteri—sesuatu yang sulit digapai karena akses pendidikan yang tidak ada. “Anak Jalanan” secara tidak langsung mengkritik minimnya peran negara dalam memberikan keadilan dan kesejahteraan.
Empat lagu yang menjadi contoh di atas menjadi pengingat untuk tidak dengan mudah mengabaikan lagu-lagu rap 1990-an. Bahwa lagu-lagu yang muncul harus dikaji sesuai dengan situasi sosial, politik, bahkan ekonomi yang mengitarinya. Tidak reaktif menganggap enteng tema-tema yang diusung sebelum menjelajah lebih jauh.
Satu-satunya kelemahan dari buku ini adalah ukurannya yang terlalu tipis sehingga membuat lagu-lagu yang dibedah di dalamnya menjadi terbatas. Kita, atau setidaknya saya, mengharapkan ukuran yang lebih besar. Saya berharap ada yang menghadirkan ulasan kritis atas album Pesta Rap 1, 2, dan 3 atau sebelum Reformasi 1998 yang jumlahnya belum menggunung seperti sekarang dalam buku yang populer atau medium yang mudah diakses.
Judul: Rap Sopan: Menilik Hip Hop Indonesia Periode 1990-an
Penulis: William Yanko
Penerbit: Semut Api
Tahun terbit: 2022
Tebal: x+66 halaman
ISBN: 978-623-97170-5-6
—
Penulis: Farras Pradana
Editor: Idha Saraswati