Tafsir untuk Stambul Arkipelagia, Vol. 1. Saya penikmat Silampukau sejak kuliah di Yogyakarta circa 2015. Teman-teman kuliah yang memperkenalkan saya dengan mereka. Puncak kesukaan saya dengan Silampukau muncul ketika bekerja sebagai jurnalis di Semarang. Kala itu, saya menikmati betul album Dosa, Kota, & Kenangan. Di sebuah masjid tak dikenal di Semarang atas, saya menghayati lagu-lagu dalam album tersebut sampai menangis. “Keren betul ‘kawanan kepodang’ ini!” saya merutuk. Tak cuma musik dan substansinya, tapi juga kedekatannya dengan kehidupan sehari-hari.
Tahun 2025, Silampukau mengeluarkan Extended Play (EP) terbaru. Saya pun senang bukan kepalang. Bagi saya, kehadiran EP ini seperti jawaban atas kerinduan panjang. Sepuluh tahun setelah album terakhir Silampukau bukan waktu sebentar, saya seperti menunggu kawan lama yang akhirnya kembali dan membawa cerita-cerita baru hasil eksplorasi musikal mereka.
EP Stambul Arkipelagia, Vol.1 diluncurkan Orkes Silampukau pada 4 Mei 2025 di berbagai platform streaming musik. Nama Silampukau diganti menjadi Orkes Silampukau dengan jumlah personel yang lebih banyak sebagaimana sebuah orkes. Alih-alih kritik, album yang akan digarap dalam tiga volume dengan total kurang lebih 12 lagu ini lebih mereka inginkan sebagai fiksi dan pakansi. Menurut Kharis Junandharu, vokalis dan penulis lirik Silampukau, album ini dibuat supaya para pendengar bisa menikmatinya perlahan sebagaimana tayangan series.
Tulisan berikut terbagi jadi beberapa bagian, sekeping di antara ribuan keping tafsir pendengar terhadap album terbaru Silampukau. Alih-alih menerbitkan album, Silampukau sepertinya lebih suka bermain di ranah album pendek (EP) dan single, seperti EP Sementara Ini (2009) serta single Si Pelanggan (2017), Dendang Sangsi (2021), dan Lantun Mustahil (2022).
Mooi Indie yang Cacat
Pertama-tama, saya tertarik membahas sampul Stambul Arkipelagia, Vol. 1 yang dibuat oleh seniman Redi Murti (Sinyo). Desain sampul ini mengingatkan saya dengan jenis-jenis lukisan yang dibuat dengan metode litografi yang dikenal sebagai cetak batu atau percetakan di atas permukaan licin. Teknik ini ditemukan aktor Jerman, Alois Senefelder pada 1796 sebagai metode murah dalam penerbitan karya teater. Kehidupan masyarakat Hindia Belanda banyak dilukiskan lewat metode ini, termasuk oleh pelukis Belanda, Auguste van Pers (1815-1871).
Pada 1854, Auguste van Pers mempublikasikan berbagai karya yang menunjukkan kehidupan masyarakat pribumi. Secara umum, lukisan-lukisan tersebut bercorak alam dan kehidupan rakyat seperti pedagang keliling yang menjual tuak, pedagang perempuan yang menjajakan mainan anak, proses belajar di sebuah kampung Jawa, masyarakat yang sedang jaga malam di sebuah kampung, hingga berbagai aktivitas lain terkait masyarakat Hindia Belanda.
Jika lewat album ini Orkes Silampukau hendak menawarkan kisah tentang Arkipelagia, sebuah negara fiksi maritim di lingkar tropis, bisakah Anda menebak cepat negari non-fiksi mana yang dimaksud? Ya, apa lagi jika bukan Indonesia. Namun, sebagai pendengar, kita bisa berimajinasi lain karena Orkes Silampukau menyebut Arkipelagia sebagai negara distopia. Negeri simulakra di mana kenyataan dan khayalan tak bisa dibedakan. Masa lalu dan masa depan terjadi bersamaan. Lebih berat lagi, negara tersebut tempat terburuk bagi peradaban manusia.
Menurut KBBI, “stambul” berarti “komidi yang biasanya dimainkan para bangsawan (sebangsa sandiwara keliling), atau jenis keroncong yang terdiri atas stambul satu, stambul dua, dan stambul tiga.” Stambul juga merujuk pada teater rakyat dengan unsur Timur Tengah, India, dan Melayu. Namun, stambul juga bisa berarti sebutan untuk salah satu jenis musik keroncong.
Diksi “stambul” berasal dari Istambul, Turki. Musik ini dikembangkan oleh musisi Indonesia yang akrab dengan kebudayaan Turki. Kekhasannya, musik stambul serupa musik padang pasir dari Timur Tengah. Itu sebabnya unsur ketimuran dengan pukulan drum yang renyah menjadi bagian khas dari album Stambul Arkipelagia.
Dalam sampul Stambul Arkipelagia, Vol. 1, kita bisa melihat keindahan Hindia Molek (Mooi Indie) yang kompleks, gabungan antara keindahan alam dengan kekacauan akibat ulah manusia. Terpampang barisan gunung yang dikuras sumber dayanya, mirip dengan yang terjadi di Papua dengan pasukan truknya. Ada pula empat cerobong pabrik dengan asap pekat yang memenuhi atmosfer. Di dekat cerobong, tergambar beberapa pabrik yang saya duga sebagai pabrik gula.
Mubyarto dalam penelitian berjudul The Sugar Industry (1960) menjelaskan bagaimana pabrik gula sempat mendominasi Indonesia awal abad 20. Sampul album turut mengilustrasikan kondisi tanah gersang dengan pepohonan tanpa daun. Satu-satunya kesuburan barangkali tampak pada pohon kelapa yang melambung melebihi tinggi gunung-gunung. Para buruh mengangkut hasil produksi. Tak pelak lagi, sampul ini menggambarkan Mooi Indie yang cacat.
Pada bagian selanjutnya, saya akan menganalisis lagu demi lagu Stambul Arkipelagia, Vol. 1.
Sejoli: Drama Panjang Bobby dan Erika
Apa dosa besar yang dilakukan dua pemuda ketika menjalin cinta? Ya, accident yang membuat perempuan bergaris dua. Ini yang terjadi pada sejoli Erika dan Bobby. Dalam benak saya, “Sejoli” merupakan variasi kisah Surti dan Tejo yang disuarakan Jamrud, alih-alih Joni dan Susi yang bermotif ekonomi-politik seperti dikisahkan Majelis Lidah Berduri atau Si Putri dan Si Fulan, dua demonstran yang saling jatuh cinta sebagaimana dilagukan Iwan Fals.
Lagu ini serupa cerpen. Siapa Bobby? Apa hubungannya dengan Bobby Kertanegara yang viral itu? Ah, menghubungkan anabul dengan sosok Bobby dalam lagu ini sepertinya terlalu jauh. Karakter Bobby dalam “Sejoli” dilukiskan sebagai orang yang “tak suka tanaman, pecandu tantangan, selihai Don Juan, sejenis siluman…” Seram sekali Bobby yang satu ini.
Dia sejenis pria red flag standar TikTok dan Bumble. Dia juga dikenal di semua binatang asmara yang pandai menyusup relung hati. Namun, karakter perempuannya juga tak kalah red flag. Namanya Erika. Dia digambarkan sebagai putik Kusuma Neraka, alih-alih Wijaya Kusuma. Putik merupakan bagian reproduksi betina dari bunga. Erika juga punya level “kebinalan” lainnya karena ia pecinta perkara, muasal awal prahara. Yang menurut saya menarik, Erika adalah “sutradara ahli cipta-situasi, arsitek adiksi, prosais tragedi kiwari.” Beliau sepertinya seorang penulis cum filsuf.
Beberapa purnama menjalin hubungan, keduanya melakukan dosa besar. Eksplorasi Kamasutra dilakukan di sudut asrama (sepertinya Erika dan Bobby anak sekolahan), menghidupi hasrat di labirin jiwa. Penggunaan diksi Kamasutra di sini juga menarik. Bagaimana tokohnya cukup intelektual, bagaimana hubungan antardua makhluk biologis ini tak hanya sekadar posisi tapi juga perkara keterhubungan jiwa. Sampailah kemudian pada apa yang ditakutkan:
“… Amboi, garis dua!
Gesit betul berenangnya!
Amboi, nasib apa
yang sembunyi menantinya.
di neg’ri sengeri hari-hari ini,
di ambang tirani?”
Manis betul Orkes Silampukau menarasikan kehamilan dengan simbol garis dua. Kharis pandai memainkan metafora dan permainan kata: kompleks dan penuh risiko. Frasa “garis dua” sebenarnya sering saya dengar dalam konteks sebaliknya, yakni “pejuang garis dua” untuk menggambarkan situasi rumah tangga yang sulit dikaruniai momongan.
Di konteks lain, Erika dan Bobby seperti sedang mengejek para pejuang garis dua. Mengingat nama Erika dan Bobby yang cenderung urban, barangkali mereka memang hidup di kota besar. Kisah ini semakin menyayat dengan instrumen biola yang sangat padu dengan nuansa stambul.
Lirik “Lai, lalai, lai, lai” saya kira juga bukan pemanis belaka. Ada kata “lalai” di sini. Celakanya, keduanya hidup di negeri tirani, pemerintahan yang merebut kekuasaan dengan cara-cara ilegal, termasuk menyiasati undang-undang.
Sejauh ‘Ku Memandang (Paceklik Blues): Melawan Setan-Setan Desa
Saya kira, lagu “Paceklik Blues” menggambarkan tema besar dari sampul Stambul Arkipelagia, Vol. 1. Kita bisa merasakannya dari larik-larik awal lagu ini:
“Padi hampa tiada tinggi September ini,
bara cuaca memanggang segalanya:
ladang gemersang sejauh ‘ku memandang.
Kemarau t’lah menang, paceklik datang, paceklik panjang.”
Masih bergaya musik stambul, nomor ini menggambarkan penderitaan para petani karena paceklik panjang. Lirik-liriknya visual dibayangkan, ditambah nada blues bernuansa sedih dan putus asa. Petani di sini kehilangan orientasi ekonomi. Lirik “utang membayang sejauh ‘ku memandang” mengingatkan saya dengan petani-petani yang terjerat sistem ijon.
Mereka harus menjual hasil panen sebelum musimnya dengan harga murah demi mendapat dana tunai. Dana tersebut dipajak dengan bunga tinggi hingga petani tak mampu membayar. Petani kemudian diintimidasi. Para tuan tanah menyasar sisa tanah milik petani gurem untuk dibeli dengan harga murah. Ancaman perampasan alat produksi tak henti menghantui petani. Terang jika Orkes Silampukau bersuara, “Kemarau datang, paceklik menang, paceklik panjang”.
Petani tak hanya menderita karena sistem ijon tapi juga karena ulah para lintah darat dan tengkulak. Orkes Silampukau menulis, “Bila padi tunduk kian berisi di panen ini / iblis mengintai, mengincar segalanya”, bagaimana setan-setan desa menguasai hajat hidup petani.
Kisah ini sebenarnya sudah ditulis dengan baik oleh D.N. Aidit dalam laporan hasil risetnya selama tujuh minggu mengenai keadaan kaum tani dan gerakan tani di Jawa Barat berjudul Kaum Tani Mengganyang Setan-Setan Desa (1964). Aidit dengan jiwa revolusionernya menyusun perjuangan dan pengorganisasian para keluarga buruh tani, tani miskin, dan tani sedang melawan tujuh setan desa yaitu tuan tanah, lintah darat, tukang ijon, tengkulak, kapitalis, birokrat, dan petani kaya.
Saya juga menangkap krisis iklim yang terjadi saat ini. Saat bersekolah dulu, saya diajar bahwa bulan yang namanya berakhiran -ber (September, Oktober, November, Desember) mencerminkan sum-BER mata air yang sedang melimpah, tanda hadirnya musim penghujan. Namun, saat ini, musim hujan dan kemarau sudah tak bisa lagi dibedakan. Orkes Silampukau menulis, “padi mati penuh ironi Januari ini”. Padahal, Januari adalah puncaknya musim hujan. Musim dan iklim jadi tak menentu akibat kerusakan alam dan krisis iklim yang terjadi akibat ulah manusia.
Jurang Kemiskinan 1 (Dodoi): Di Bawah Rudapaksa Negara
Dodoi dikenal sebagai lagu tidur. Sixto Rodriguez, musikus balada asal Detroit, Amerika Serikat, yang karyanya lebih terkenal di Afrika Selatan juga punya lagu nina bobo berjudul “Sandrevan Lullaby – Lifestyles”. Tapi liriknya tak ada lulabi-lulabinya. Lagu ini menceritakan realita kehidupan keras mereka yang terpinggirkan dan terlupakan di Amerika Serikat. Rodriguez melukiskannya melalui berbagai citra seperti “judges with matermaid hearts“, “supermarket justice starts“, “frozen children inner city“, dan “idols and flags are slowly melting“.
Lagu “Jurang Kemiskinan 1 (Dodoi)” dari Orkes Silampukau mengingatkan saya dengan lagu Rodriguez. Bedanya, Rodriguez mengkritik sistem peradilan yang dingin dan tidak manusiawi dengan gambaran anak-anak yang terabaikan di kota-kota besar dan negara-negara yang semakin membebani dirinya sendiri dengan masalah sosial yang tak terselesaikan, sementara Orkes Silampukau menyajikan kritik sosial yang tajam terhadap kondisi demografi dan ketidakadilan struktural di Indonesia serta nasib generasi muda yang terpinggirkan.
“Nirdaya kala diperdaya negara;
pakan infernal invertebrata neraka.
Nirsuara kala dirudapksa negara;
‘Korban kolateral,’ sabda Kadal Asia.”
Jika sebelumnya Silampukau menggarap album Dosa, Kota, & Kenangan, barangkali bahasan ini lebih tepat digambarkan sebagai masalah Dosa, Kota, & Kenangan. Kita memiliki memori atau ingatan kompleks tentang bagaimana negara mem-bully rakyatnya lewat berbagai kebijakan yang menindas. Di saat yang sama, negara juga mencoba meninabobokan dan memperdaya masyarakat dengan mengumbar janji-janji yang tak akan ditepati. Generasi yang mewarisi kemiskinan pun terus berlanjut sebagai eksesnya.
Imaji negara maritim pun kuat tercermin dalam lagu ini: buih-buih (statistika), invertebrata (makhluk tak bertulang belakang di lautan), Saga Katulistiwa (cerita panjang di sepanjang garis ekuator), sampai bahaya dan dampak kolateral dari fenomena hidrometeorologi (alih-alih diksi properti yang merujuk pada jaminan aset berharga dalam transaksi pinjaman atau kredit).
Di pihak lain, saya merasa banyak istilah asing dalam lagu ini yang mungkin sulit dimengerti masyarakat umum yang belum terbiasa membaca banyak referensi. Saya mencatat penggunaan imbuhan depan “nir-” yang berarti “tidak” atau “bukan” pada nirdaya dan nirsuara. Dalam lagu “In Memoriam”, terhampar diksi nirkala, nirnama, nirpusara, nirwaktu, nirderita, dan nirbinasa. Ini tentu kosakata baru, sebab tak banyak musisi memilih imbuhan nir-. Yang pernah saya dengar adalah lagu dari Perunggu berjudul “33x” dengan lirik “Di antara pusaran nirfungsi…”
Sebagai pengantar tidur, barangkali lagu ini terlalu berat dan berpotensi menghasilkan mimpi buruk—apalagi turut menyinggung “Kadal Asia” yang bukan merujuk hewan reptil besar macam komodo tapi sindiran bagi elite kekuasaan atau birokrasi di Asia Tenggara. Kadal di sini mencerminkan sifat licin, berlidah panjang, dan licik. Imaji ini menambah lapisan ironi akan kesenjangan kekuasaan, juga berita-berita bombastis berbalut data demografi dan statistika.
Prelude Al-Muqawim: Awal Mula Perlawanan
Lagu “Prelude Al-Muqawim” tidak memiliki lirik. Judulnya bisa membuat pendengar bertanya-tanya. Prelude adalah semacam pendahuluan. Dalam bahasa Arab, Al-Muqawim (المقاوم) berarti tahan, berdiri, tegak, yang menegakkan, atau yang mempertahankan. Dalam dunia Arkipelagia, konteks yang cocok diterjemahkan dalam sikap resisten atau pemberontakan merujuk pada “yang melawan”. Sebuah bentuk perlawanan, pengantar semangat perlawanan. Lagu ini mencerminkan narasi individu atau kelompok yang berjuang menciptakan perubahan.
Anehnya, jika memang difungsikan sebagai prelude, mengapa ia ditaruh pada track nomor empat alih-alih pembuka album? Saya teringat pembicaraan dengan salah seorang ibu yang juga penyanyi lagu lama. Tak seperti era Digital Service Provider (DSP) yang memungkinkan kita menyetel lagu yang kita sukai dengan sangat cepat, zaman dulu, para pendengar musik perlu bersabar menunggu perputaran lagu hingga tiba pada lagu-lagu yang mereka sukai.
Sebelum sampai pada lagu-lagu yang disukai, terkadang pendengar harus melewati lagu-lagu yang tidak disukai, apalagi jika lagu-lagu favorit mereka bertengger pada urutan akhir.
Saya menarik kesimpulan bahwa proses tersebut menciptakan pengalaman mendengar yang lebih lambat, sekaligus memungkinkan pendengar terekspos kejutan dalam keseluruhan album. Mengapa Orkes Silampukau tidak menaruh Prelude di nomor pertama? Padahal ketika mendengar lagu ini secara saksama, penempatan pada bagian awal terasa cocok mengingat banyaknya citra yang terdengar menyatu: suara laut, gelombang, langkah kaki, serta detik jam yang bernuansa gelap – seperti mendung yang merupakan cikal-bakal badai besar.
Ibarat film, citra-citra yang ditampilkan Stambul Arkipelagia sangat tepat menjadi soundtrack pembuka film. Apalagi durasinya juga sangat singkat (1 menit 10 detik) dan tanpa lirik.
Tiba-tiba saya teringat novel The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway (1952) yang kisahnya beresonansi dengan “Prelude Al-Muqawim” mengingat nuansa maritimnya yang sangat kental. Saya menangkap pekatnya suasana laut yang membuka pintu bagi pendengar untuk merenungi hal yang lebih dari sekadar kehidupan di pesisir, tapi juga turut mendalaminya.
Serupa Santiago, nelayan tua berlayar sendiri di tengah laut untuk menangkap ikan besar. Dalam konteks Indonesia, kisah para nelayannya tentu lebih beragam. Nelayan di pantai selatan misalnya. Alih-alih detik dan jam, mereka mendengarkan gamelan. Atau nasib sunyi buruh-buruh kapal yang bekerja di bawah kondisi tidak layak. Atau Anak Buah Kapal (ABK) yang terpaksa menerima nasib menyaksikan setengah tubuh temannya dimangsa ikan ganas, atau menghadapi kematian dengan jenazah disembunyikan dalam peti es bersama ikan-ikan.
In Memoriam … (Halimun Rahasia): Elegi Kematian Misterius
Sepanjang Orde Baru, kasus-kasus penembakan misterius (petrus) dan mati misterius (matius) jadi momok mengerikan. Jenazah-jenazah mereka yang mati dibuang ke jalan-jalan untuk menakut-nakuti siapa pun yang berpotensi menjadi “pengacau negara”. Selain itu, pelanggaran HAM berat yang menimpa Widji Thukul, Marsinah, Munir, hingga wartawan Udin masih jelas terekam sebagai ingatan kolektif kita tentang kekerasan oleh negara hingga sekarang. Kekerasan negara ini meliputi praktik-praktik represi, penghilangan paksa, pembunuhan di luar hukum, kriminalisasi terhadap para pembela HAM, hingga pembungkaman kebebasan berekspresi.
Saya menangkap lagu “In Memoriam … (Halimun Rahasia)” sebagai persembahan untuk mereka yang meninggal misterius, juga bagi para pejuang keadilan yang dibunuh secara sadis. Dalam bahasa Latin, in memoriam berarti “untuk mengenang dan duka kehilangan”. Namun, dalam lagu ini, para pejuang abadi nirbinasa, sekuat apa pun sejarah menyangkalnya, sebagaimana muncul dalam lirik:
“Mekar kemboja
di kubur nirnama,
di halimun rahasia historia.
Nirpusara, ai, Kakanda!
Lae nirnyawa, nirderita;
nirbinasa!”
Kemboja adalah kembang senior dalam jagad pemakaman. Ia simbol dimulainya kehidupan baru dari mereka yang sudah meninggal. Orkes Silampukau tampaknya menulis ini sebagi ode bagi mereka yang gugur di tengah pergulatan ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang carut marut di Arkipelagia sekaligus mengembuskan harapan bahwa kematian mereka bukan akhir melainkan awal menuju wujud abadi: nirnama, nirnyawa, nirderita, dan nirbinasa.
Waktu pun tak bisa menghapus jejak perjuangan mereka sekalipun miliaran detik telah berlalu. Mereka bertindak sebagai “penyangkal gulita” dalam kegelapan menuju keabadian arah perjuangan di azimut nirkala. Suara Gen Z pun muncul (“Menyala, Kakanda!”) sebagai bentuk penghormatan pada sosok pejuang yang terus dirasakan sinarnya meski kisah mereka tidak dituliskan dalam sejarah resmi akibat tertutup halimun rahasia historia.
Mereka yang sering berkunjung ke makam tentu akan ngeh dengan makam-makam “tanpa nama” di Taman Makam Pahlawan. Yang bersemayam di sini adalah individu yang gugur dalam pertempuran yang identitasnya tak berhasil dikenali. Tentu banyak pahlawan yang tidak mendapat tempat dalam narasi resmi. Mereka mungkin tak berpangkat, tak masuk ideologi dominan, atau dipandang golongan minor saja. Lewat lagu ini, Orkes Silampukau melancarkan kritik halus terhadap pengaburan sejarah mereka yang terpinggirkan dari narasi mayor.
Stambul Arkipelagia Vol. 1 – Sebuah Lompatan yang Kaya
Secara umum, EP Stambul Arkipelagia, Vol. 1 merupakan loncatan estetik dan naratif dari Silampukau. Alih-alih menggambarkan keresahan tentang kota—khususnya Surabaya—dalam album sebelumnya yakni Dosa, Kota, & Kenangan, EP ini lebih kaya dengan kisah-kisah rakyat di negeri Arkipelagia. Ia menawarkan ensambel cerita rakyat, sejarah, dan kritik sosial dalam format musik modern. EP ini juga lebih eksperimental dan tetap merakyat dengan mengambil pendekatan stambul dalam sejarah Arkipelagia.
Informasi EP
Judul: Stambul Arkipelagia, Vol. 1
Musisi: Orkes Silampukau
Tahun: 2025
Durasi: 15 Menit 45 Detik
Gitar, Pianika & Vokal: Kharis Junandharu
Kontrabas: Rhesa Filbert
Piano: Ariefin “Mr. Piano Man”
Drums: Prasimansyah (Prasetyo Imansyah)
Vokalis latar: Eki Dimas Priagusta, Rhesa Filbert, Prasimansyah, Tommy Respati, “Mr. Piano Man”
Biola: Dika Chasmala
Produksi: Moso’iki Records dan Stoopa Music
Efek Suara & Synthesizer: Tommy Respati
Foley Artist: Bhagus Subadie
Mastering: Barry Junius (Studio Prapen)
Penyunting Video: Iqbal Tawakal
Ilustrator Sampul: Redi Murti
PS: Album ini dapat didengarkan di Spotify, YouTube Music, Apple Music, YouTube, dan Qobuz.
Penulis: Isma Swastiningrum
Editor Utama: Sylvie Tanaga
Editor Kedua: Aris Setyawan