Menutup gelaran Helateater Salihara 2019, Kelas Akting Salihara tingkat II menampilkan pertunjukan drama pada Minggu, 14 April 2019. Tiga lakon kisah kasih dipanggungkan dalam tajuk Rendezvous II: Tiga Kisah Cinta Tidak Biasa.
Tiga lakon yang dipentaskan adalah Citra karangan Usmar Ismail, Pagi Bening terjemahan dari A Sunny Morning karya Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero, serta Menunggu Kekasih karya Putut Buchori. Pertunjukan ini disutradarai oleh pelatih Kelas Akting Salihara, Rukman Rosadi, atau akrab disapa Rossa, dengan asisten sutradara Muhammad Khan
Sebagai kisah pembuka, pertunjukan lakon Citra terkesan seperti kisah yang belum selesai atau bersambung… Drama Citra terdiri atas tiga babak dengan latar sebuah pabrik tenun Jawa Timur. Sesudah lima bulan Jepang berkuasa di Jawa, pabrik tenun yang telah ditinggalkan oleh orang-orang Belanda itu dibuka kembali dan dipimpin oleh Sutopo. Pabrik itu merupakan warisan dari Suryowinoto, ayah kandung Harsono atau ayah tiri Sutopo.
Keberadaan tokoh Citra menjadi pusaran cerita. Citra adalah anak pungut keluarga Suryowinoto yang diasuh sejak kecil. Asal-usul Citra tidak diketahui, kecuali ditemukan oleh Pak Gondo, seorang mandor pabrik tenun tersebut, di depan rumahnya. Citra lalu dijadikan anak angkat oleh keluarga Suryowinoto.
Bermaksud memainkan lakon dengan kisah paling kompleks, sutradara Rukman Rosadi memilih untuk mementaskan babak kedua saja. Seperti dikatakannya, babak kedua di lakon Citra merupakan bagian kisah yang paling kompleks dengan konflik memuncak. Namun sayangnya, pilihan memainkan penggalan babak ini membuat persoalan dan latar kisah di seputar tokoh Citra terasa banyak yang tidak tuntas—alih-alih cuma disinggung sekilas.
Dalam pertunjukan berdurasi sekitar 46 menit ini, pokok hubungan percintaan nan pelik antara Harsono dan Citra menjadi premis lakon. Namun, alasan-alasan yang menjadi persoalan lain di sekitar hal itu tidak diutarakan dengan tuntas dan memuaskan. Beberapa pertanyaan tersisa bagi penonton di akhir lakon ini: Bagaimana mula-mula hubungan di antara Citra dan Harsono—siapa yang lebih menaruh hati? Bagaimana gambaran situasi persoalan di seputar pabrik tenun? Siapa saja yang bertanggung jawab secara struktural di situ?
Pada satu adegan, ada sebuah ketegangan yang terlukis dari situasi kecelakaan kerja di pabrik tenun. Ketegangan ini, sayangnya hanya tampak dari gerak-gerik Sutopo yang mengeluhkan lemahnya pengawasan keamanan kerja. Tak ada aksi lain yang cukup berarti untuk menguatkan situasi tegang tersebut. Dengan latar cerita dari sebuah keluarga beretnis Jawa, warna dialek tokoh Sutopo juga kurang “kental” mencirikan kedaerahan itu.
Abdul Aziz selaku pemeran Sutopo perlu lebih melatih cara ucap yang mendekati karakter medhok orang Jawa—sebagaimana ditunjukkan pemeran lainnya. Sementara volume vokal pemeran Citra (Andina Septia), terlalu kecil untuk dapat diterima jelas oleh kebanyakan penonton di dalam ruang Blackbox Salihara.
Menilik lakon Citra sebagai naskah drama lawas (ditulis dan dipentaskan pertama kali pada Desember 1943), pemanggungan lakon ini dalam Helateater Salihara menjadi catatan cukup penting. Sedikitnya, para peserta Kelas Akting Salihara yang sebagian besar beranggotakan bukan dari pelaku seni pertunjukan profesional itu telah menambah produksi pemanggungannya sebagai karya sastra dan, terutama, pertunjukan drama.
Pertunjukan lakon Citra secara umum bergulir lancar, tapi relatif datar dan kering. Selebihnya, jelas lantunan Sutopo yang memanggil-manggil nama Citra di awal dan akhir pertunjukan menggamit perhatian penonton. Tentu, itu pun menyimpan tanya yang cukup menggelisahkan: Setelah Citra ditinggalkan kekasihnya Harsono, berhasilkah Sutopo menikahi Citra, saudara tirinya itu?
*
Lakon Pagi Bening dan Menunggu Kekasih mengantarkan kenangan dan perasaan terdalam akan cinta bagi setiap penonton. Dengan kerangka kisah yang sama-sama berkutat pada perjalanan cinta di masa lalu yang hendak dijajaki kembali oleh tokoh-tokoh berusia lanjut, kedua lakon ini memiliki daya tarik komedi nan kuat.
Pagi Bening diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono dengan baik dan ciamik dari naskah aslinya, A Sunny Morning. Ia mengisahkan sepasang lelaki dan perempuan berusia 70-an tahun, Donna Laura (Sita Nursanti) dan Don Gonzalo (Reisky Handika), yang bercakap-cakap di taman. Dengan tata artistik yang tampak dipersiapkan baik, meliputi tata panggung dan properti, pencahayaan, serta tata kostum, penonton dibawa masuk dalam ruang imajinasi suatu taman di sebuah kota di Spanyol, Eropa Barat.
Ketahanan permainan akting Sita dan Reisky terkesan prima dan kuat sepanjang adegan. Mereka konsisten memainkan timbre, intonasi, gestur, dan laku fisik sebagai perempuan dan laki-laki uzur. Dalam percakapan di taman itu, tokoh Donna Laura dan Don Gonzalo menyingkap selapis demi selapis kisah cinta di antara mereka di masa lalu—tanpa mereka segera sadari di saat itu
Begitu pula relasi keduanya dengan asisten pribadi mereka masing-masing (diperankan Tisyan Fadhel dan Eliza Vitri Handayani) sudah dalam porsi yang pas. Kecakapan mereka berempat dalam berdialog, juga memainkan gestur dan properti kecil (seperti buku, kaca pembesar, topi, dan tas jinjing) menyempurnakan keutuhan karakter. Permainan akting keempatnya mengalir lancar, tedas, dan lengkap beserta gimmick dan bussiness act-nya.
Di pengujung kisah, ada rasa getir yang terselip. Meskipun Don Gonzalo dan Donna Laura tahu bahwa enam puluh tahun lalu mereka saling menyukai, keduanya tak ingin terbuka mengakui pribadi masing-masing. Kisah kasih terasa berat untuk dilanjutkan di masa kini.
*
Tempik dan sorak penonton cukup lama membahana di akhir lakon Pagi Bening. Melanjutkan sekaligus menutup rangkaian kisah cinta tidak biasa, lakon Menunggu Kekasih karangan mendiang seniman asal Yogyakarta, Putut Buchori, dipentaskan.
Menunggu kekasih berkisah tentang dua perempuan lansia di sebuah panti jompo, Diajeng Kusyarini (Fitria Sari) dan Nona Kumala (Eugenia Elina), menanti kedatangan kekasih lama mereka. Aktivitas mengisi hari-hari tua mereka kerap memunculkan kerepotan bagi Sutter Ika (Febri Sastiviani Putri), seorang pengasuh di panti itu.
Dengan menyajikan bentuk permainan drama yang kental dengan komedi, kisah Menunggu Kekasih menutup rapat-rapat kesenduan dari harapan janggal dua perempuan tua itu. Mereka berdua menunggu kekasih selama puluhan tahun, dan ternyata, kekasih mereka adalah seorang lelaki yang sama.
Masing-masing tokoh perempuan tampil dengan keunikannya. Non Kumala yang masih bergairah dengan keaktifan bersenam aerobik dalam tempo lambat-lambat, sementara Jeng Kus punya keasyikan merajut. Sejumlah percakapan di antara keduanya jelas memancing tawa penonton; baik lelucon bergaya ala srimulatan atau yang tergambar dari situasi konyol dari perselisihan di antara mereka yang ditengahi oleh Sutter Ika.
Keakraban Jeng Kus dan Non Kumala melukiskan bahwa di masa tua tak perlu ada sikap tertutup di antara mereka. Mereka dapat saling menegur, sindir, selain juga berbagi rasa dalam suka dan kesulitan-kesulitan mereka.
Begitu pula manakala mereka masing-masing perlahan-lahan menceritakan pengalaman dan kenangan manis yang lantas menjadi akar konflik. Apa lagi kalau bukan sang kekasih, Amat Sape’i, yang di suatu masa pernah berjanji akan menikahi mereka. Namun, alih-alih melecutkan pertengkaran hebat, muara konflik itu justru menjadikan keduanya luruh bersama, sama-sama menahan nelangsa.
Berbeda dengan pertunjukan lakon Pagi Bening yang berkesan dengan tata panggung yang bersahaja tapi estetik, tata musik dan lagu dalam Menunggu Kekasih membuat terngiang-ngiang hingga pentas usai.
Penonton seperti disengaja terbawa cukup lama menikmati ketukan musik senam aerobik yang diperdengarkan di awal babak. Ilustrasi suara lainnya turut membantu membangun suasana dan emosi alur cerita. Bahkan di akhir kisah, irama musik menemui timing yang pas dan selaras dengan rebahnya tubuh Nona Kumala pada sandaran bangku. Ada kesan kerelaan dan seulas haru dari sikap Jeng Kus dan Non Kumala. Mereka tampak pasrah menerima kenyataan bahwa Amat Sape’i kekasih mereka sudah lebih dulu berpulang.
Maka jelas ada satire tersirat yang tersimpan di akhir cerita: menunggu sang kekasih tak ubahnya menunggu si Godot. Sia-sia. Kesenduan ini menjadi antiklimaks dengan kelucuan-kelucuan yang bertabur mendominasi tubuh cerita. Penonton sudah lebih dahulu “tersilap” (atau rela untuk “khilaf”) dengan sajian pertunjukan komedi. Penonton sudah terbawa jauh asyik melihat kekenesan dan kejanggalan tokoh dua perempuan manula dengan kekonyolannya masing-masing. Kerap pikun, tapi mereka masih punya semangat anak muda. Meski melambat dan meleng jalan pikirannya, mereka masih saja kritis terhadap alam pikir anak muda zaman now.
*
Pementasan teater Rendezvous jilid kedua ini, menurut saya, menegaskan kepiawaian Rukman Rosadi dalam membumikan konsep dan praktik keaktoran kepada peserta Kelas Akting. Tujuan kreasi pertunjukan teater realisme yang diproses dengan menggeluti aku diri, aku aktor, dan aku tokoh berhasil tercermin dari pertunjukan malam itu.
Sebagai peserta Kelas Akting tahun 2018 yang juga diampu oleh Rossa, saya turut mengalami kesabaran sekaligus kemurahannya membagikan ilmu kepada kami yang berlatar belakang dan potensi berbeda-beda terkait keaktoran. Namun, seperti terungkap dalam spirit pentas Rendezvous yang mempertemukan berbagai kisah dalam ruang yang diliputi cinta, Rossa adalah guru yang melatih dengan penuh kasih. Ilmu keaktoran ia ajarkan secara menyenangkan, menantang, tapi cukup “mudah” dipahami dan dilakukan. Bahkan ia mendorong agar setiap peserta kelas memaksimalkan potensi diri sebagai bahan yang perlu dikembangkan dalam proses keaktoran.
Meskipun begitu, tentu, seperti dikatakannya, belajar teater adalah juga mengenali kehidupan manusia beserta kerumitan-kerumitannya.
Tahun lalu Rossa melatih dan menyutradarai pertunjukan teater Rendezvous: Empat Kisah Cinta. Berbeda dengan jilid keduanya, kala itu kami para peserta Kelas Akting Salihara tingkat II memainkan kisah cinta yang bernuansa manis-getir (bittersweet). Tawa yang tepercik dari bangku penonton, merupakan tanggapan spontan atas dialog dan pemeranan yang kental berisi satire di antara karakter pasangan-pasangan suami-istri.
Tahun ini, Rossa bersama tim Helateater Salihara sebagai pelaksana pertunjukan dua tahunan di Komunitas Salihara itu memilih untuk memainkan lakon-lakon cinta bersuasana lebih ceria. Rossa beralasan, hal ini untuk memberi jeda yang sejuk kepada publik penonton di tengah suasana tegang hiruk-pikuk politik jelang Pemilu 17 April 2019.
Dari ketiga lakon di atas, saya mencatat hanya Citra yang tidak cukup berhasil dipanggungkan dalam memaparkan pokok cerita. Dengan memilih mementaskan satu bagian saja, pentas ini sudah dipastikan kurang kuat membangun keutuhan kisah yang sesungguhnya memiliki nilai-nilai paradoks antara tradisi Jawa dan realitas yang dihadapi para tokohnya.
Pertunjukan Citra, dalam amatan saya, mengingatkan pentingnya keterampilan untuk memilah dan memilih sebagian dari keutuhan isi naskah. Secara khusus bila berorientasi produksi pertunjukan untuk dipertontonkan bagi khalayak luas dan berbayar, Citra wajib diberi sentuhan berbasis keterampilan teater yang khusus. Ia memerlukan tim produksi pertunjukan (produser, sutradara, pelakon, penata panggung, penata cahaya, penata kostum, dan sebagainya) yang lebih kapabel untuk menukangi isi naskah atau alur ceritanya demi menghadirkan kisah yang cukup lengkap, meskipun hanya memainkan sebagian babak.
Sebagai alternatifnya, juga agar tak menimbulkan kekecewaan penonton lantaran tak mendapati kisah yang gamblang dan utuh, mementaskan Citra harus lebih bersetia pada pokok-pokok gambaran konflik dan amanat ceritanya. Kalau mau menyajikan gambaran jalinan antartokoh, premis cerita, dan kepadatan informasi secara lengkap, semestinyalah lakon Citra dimainkan sesuai naskah utuhnya
Kendati begitu, Rossa cukup puas dengan permainan yang ditunjukkan peserta kelas, terlebih untuk lakon Menunggu Kekasih. Menurutnya, ketiga pemeran dalam Menunggu Kekasih telah melakonkan kisah dengan penuh penghayatan. Mereka juga dinilai berhasil melakukan penciptaan karakter yang unik.
Terhadap permainan akting Reisky dan Sita di Pagi Bening, Rossa terkesan dengan keduanya yang proporsional. Sita yang memiliki jam terbang tinggi dalam seni pertunjukan dapat bermain seni peran secara imbang dan asyik dengan Reisky yang baru pertama kali berpentas teater dengan dialog yang panjang.
“Tak terjadi under and over. Proporsional,” kata Rossa. Tokoh Don Gonzalo dan Donna Laura terlihat berhasil dimainkan dengan emosi yang tepat sebagai sepasang orangtua yang sungkan untuk meneruskan kisah kasih mereka di hari tua.
Ketiga lakon telah bersua di ruang pengharapan cinta yang menolak berhenti, alih-alih perlu terus diperjuangkan. Meskipun hanya sedikit optimisme, dengan merawat harapanlah masa hidup dapat diperpanjang. Tokoh-tokoh dalam tiga kisah cinta yang tidak biasa telah menunjukkan, setiap diri kita dibentuk oleh kisah di masa lalu. Namun seberapa buruk atau pahit masa lalu, kita semua tetap bernilai untuk memperjuangkan masa sekarang dan yang akan datang.[]