Membaca buku How Music Works membuat saya berpikir: David Byrne ini sekolahnya desain, ngeband di sebuah band punk legendaris Talking Heads, tapi bisa malih rupa menjadi seorang musikolog (atau etnomusikolog) yang menulis kajian etnomusikologi tentang musik tradisi dengan bagus.
Melalui buku ini Byrne menjabarkan narasi mengenai musik secara apik. Sepintas mirip kisah otobiografi perjalanan karir musiknya, namun sebenarnya buku ini sarat pengetahuan teori musik, antropologi, sejarah, bahkan etnomusikologi—jika kita pahami yang disebut terakhir adalah gabungan dari banyak disiplin ilmu lain.
Byrne membahas rupa-rupa musikal seperti akustika, teknologi rekaman, hingga perkara bumi-langit dalam musik saat menjabarkan keterkaitan gamelan Bali dengan upaya memuja Yang Maha, dan ritme-ritme ekstase tribal Afrika yang lantas dikonversi ke berbagai musik dunia modern.
Setali tiga uang dengan upaya Byrne mendokumentasikan musik dunia, Vincent Moon menurut saya adalah etnomusikolog keren.
Meski tak pernah menahbiskan diri sebagai etnomusikolog, senarai karya video filmmaker ini belakangan berisi dokumentasi video musik-musik dari berbagai belahan dunia. Mulai dari eksotisme samba di belahan bumi sana, mistisme jathilan tanah Jawa, prosesi pemanggilan Tuhan a la Senyawa, dan pergerakan retro a la White Shoes and The Couples Company di pergaulan urban. Padahal sebelumnya Moon lebih dikenal karena karya-karya video take-away-show ala La Blogotheque yang ‘indie banget’.
Pernyataan Moon di sebuah presentasi TED menegaskan alasan kenapa akhirnya ia layak saya nobatkan sebagai pakar etnomusikologi: “Saya hanya ingin generasi penerus saya tahu bahwa ada musik tradisi leluhur kita yang tidak kalah kerennya dengan Beyonce,” kata Moon.
Cara Moon menyajikan video dokumentasi sangat keren. Menurut saya videonya yang bergaya ‘tumblrish‘ sangat peka dengan selera ‘anaq-anaq’ muda masa kini. Jadi Moon menunjukkan ke-keren-an musik tradisi leluhur namun dalam tampilan kekinian.
Palmer Keen adalah sosok lain yang menarik. Pria kelahiran negeri Paman Sam ini sudah cukup lama menetap di Bandung, kemudian keliling nusantara dengan ongkos pribadi, untuk mendokumentasikan pelbagai musik-musik menarik, terkadang di wilayah marjinal dan bukan di pusat kebudayaan. Lalu menyusun dengan rapi dokumentasinya di laman Aural Archipelago. Tulisan, rekaman suara, dan video petualangannya tersaji di sana, menanti untuk dipelajari para penikmat pengetahuan. Palmer lahir dalam tradisi Amerika, bukan pula lulusan kuliah etnomusikologi.
Keen membuat Aural Archipelago karena paham benar bahwa situs internet adalah pilihan publikasi paling masuk akal. Situs itu murah, cepat dan populer. Toh kebanyakan orang kini lebih gemar mencolek layar gawai ketimbang membalik kertas koran nan lebar.
David Byrne, Vincent Moon dan Palmer Keen bukan sosok dari disiplin ilmu buah akal budi Bruno Nettl and the gank. Pun bukan manusia yang familiar dengan musik tradisi sejak kecil. Namun toh Byrne keluar dari zona nyamannya sebagai rock-star kehormatan Rock and Roll Hall of Fame, lalu melanglang buana menerabas pengkotakan musik tradisi-lah, modern-lah, pos-modern-lah.
Moon keliling dunia berbekal kamera video dan rasa ingin tahu yang tinggi. Sementara Keen, hasrat apa yang bisa memaksa seorang pria kebangsaan Amerika keliling Indonesia merekam musik tradisi yang bukan merupakan akarnya, jika bukan rasa ingin tahu dan semangat menghimpun pengetahuan?
Karena bahan bakarnya adalah rasa ingin tahu, dan tujuan utamanya adalah menghimpun pengetahuan untuk umat manusia.
Bukankah seharusnya semua sarjana dan pakar etnomusikologi di Indonesia menggunakan bahan bakar rasa ingin tahu yang sama, kemudian menetapkan satu tujuan sama: menghimpun pengetahuan, alih-alih menghabiskan energi berdebat “tradisi harus lestari, perubahan dalam bentuk apapun harus dibatasi”?
Pengetahuan adalah salah satu cara mengangkat derajat dan marwah bangsa, bukan? Jadi, mengapa kita tidak fokus menghimpun pengetahuan?
Barangkali, rasa ingin tahu yang memaksa Moon keliling dunia merekam musik bangsa-bangsa, membuat Byrne mempelajari musik di luar kebisingan CBGB dan memotivasi Keen belajar memainkan genggong. Barangkali di situlah mereka justru makin memahami hakikat musik (barat?) yang sebelumnya mereka lakoni.
Tapi bagaimana kalau ternyata sebenarnya hanya kita-kita, etnomusikolog Indonesia ini, yang bikin dikotomi timur-barat dalam memahami musik? Sementara bagi ketiga orang tersebut, musik adalah musik, tanpa perlu embel-embel arah mata angin.
Baiknya segenap etnomusikolog budiman se-Nusantara merenungkannya: jangan-jangan kita ini berada di zona nyaman yang menina-bobokan? Bikin kita cupet dan enggan dolan jauh-jauh memahami musik lain. Padahal, mana tahu saat kita memupuk rasa ingin tahu dan membuka pikiran kita pada berbagai bentuk musik dan pengetahuan lain, kita justru akan lebih memahami hakikat kesenian kita nan hakiki?
Setelah memahami hakikat kesenian kita nan hakiki, pada akhirnya kita jadi bisa mafhum bahwa kebudayaan bukan mengenai masa lalu, tapi juga masa kini dan masa depan. Etnomusikolog yang budiman baiknya lekat dengan perkara masa kini dan masa depan, bukan susah move on dari masa lalu.
Sederhananya begini, seni dan budaya (dalam hal ini musik) adalah cermin dari masyarakatnya. Tidak dapat berdiri sendiri sebagai entitas mandiri. Artinya, saat masyarakat berubah, otomatis bentuk keseniannya pun akan berubah. Saat terjadi pergeseran masyarakat dari agraris menjadi industrialis, model kebudayaan tentu berubah.
Alih-alih menghabiskan tenaga berdebat mana yang paling baik antara mengkaji tradisi atau modern, kenapa kita tidak menghormati dan menjaga musik tradisi dengan cara mengkajinya sesuai konteks masa kini?
Agar akademisi etnomusikologi Indonesia juga bisa berujar seperti Vincent Moon: “Saya hanya ingin generasi penerus saya tahu bahwa ada musik tradisi leluhur kita yang tidak kalah kerennya dengan Beyonce.”
*) Tulisan yang dimuat dalam rubrik Kolom adalah opini pribadi penulis. Opini ini menjadi tanggungjawab pribadi penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi serunai.co.